Ilustrasi: i.ytimg.com |
Begitu menapakkan kakinya di bumi Nusantara, Franciscus Xavierus, misionaris besar Portugis yang pernah datang ke Indonesia segera menjalankan misinya. Namun tidak ada bahasa pengikat paling cair dan terstruktur yang dapat diserap dengan cepat oleh penduduk lokal bahkan di gugus paling timur, Ambon, Ternate, dan Halmahera, selain bahasa Melayu.
Menurut catatan Arthur Hyman
dalam Philosophy in The Middle Ages: The
Christian, Islamic, and Jewish Traditions (New York: Harper & Row,
Publishers), sepanjang 1546 hingga 1547, Xavierus telah menyebarkan Katolikisme
di antara penduduk bagian timur Nusantara tersebut dengan menerjemahkan buku Credo, Confession Generalis, Pater Noster,
Ave Maria, Salve Regina, dan Sepuluh
Perintah Tuhan ke dalam bahasa Melayu.
Kitab-kitab berbahasa Melayu
seperti ini telah lebih cepat puluhan tahun ketika Hamzah Fansuri (1589–1604)
menulis Syair Burung Pungguk atau prosa
Asrar al-Arifin di bagian paling
barat pulau Sumatra. Justru tinggalan manuskrip Hamzah Fansuri, terus menjadi
pegangan empiris para pakar Bahasa dalam cakap-cakap superfisialitas tentang
asal mula Bahasa (Melayu) Indonesia.
Telah
disaksikan oleh dunia di abad pertengahan, bahwa Melaka yang berbahasa Melayu telah
menjadi episentrum ekonomi rempah global bahkan sebelum Eropa menurunkan
ekspedisinya. Melaka disebut Tome Pires (1515) mampu mengalahkan gemerlap Venezia,
sebuah bandar dagang dunia paling historical
tempat Marco Polo dilahirkan. Melaka adalah etalase bagi jantung perkebunan
rempah Maluku. Kemiripan nama antara keduanya bisa saja menjadi enigma.
Dibanding
betapa kecilnya peta Eropa, bahasa Melayu kala itu telah menjelajah lebih luas
dari apa yang pernah berlangsung atas Bahasa Inggris. Tapi sejarah selalu
ditulis oleh pemenang, sementara Melayu berada di luar atau tidak dicatat
sebagai pelaku dalam siklus Tatanan Dunia Baru (New World Order) atau Novus
Ordo Seclorum.
Saya
ingin menjauhkan istilah ini dari Teori Konspirasi yang berkaitan dengan Illuminati dan Fremasonry atau ramalan akhir zaman dan kemunculan Dajal. Tatanan
Dunia Baru di sini adalah tentang pola berulang atau siklus dalam bentukan
peradaban dunia.
Ini
adalah soal tumbang dan tumbuhnya sebuah imperium. Ketika rezim baru bangkit -biasanya
melalui revolusi- maka ia dengan sendirinya akan mengubah semua peradaban
mencakup hukum, budaya, bahasa, dan sistem finansial. New World Order adalah titik nol kilometer dengan pembersihan Tatanan
Dunia Lama.
Seperti
dipetakan oleh Ray Dalio, penulis buku The
Changing World Order. Ia telah meneliti periode ekonomi dan politik paling
bergejolak dalam sejarah untuk mengungkapkan mengapa zaman di depan kita
kemungkinan besar akan sangat berbeda dari yang pernah kita alami dalam hidup.
Dan untuk menawarkan saran praktis tentang cara menavigasinya dengan baik,
Dailo berhasil mengidentifikasi metrik dari sejarah itu yang dapat diterapkan
untuk dipahami hari ini.
Pola
New World Order, terjadi secara pasti
dan berulang setiap 100 tahun sekali dengan masa transisi 40 tahun, dan dalam
pengamatan siklus besar selama tiap 500 tahun. Dimulai dari bangkitnya
imperium, kerajaan atau negara baru yang keluar sebagai pemenang dalam sebuah
kompetisi global.
Kekuasaan
lama yang redup akan bersamaan dengan munculnya kekuatan baru di belahan dunia
lain. Sistem ini berjalan otomatis seperti rotasi bumi, dan kita harus tahu di
fase mana kita sedang berada. Kita harus siap, atau akan mengalami kejut budaya
dalam tidak lama lagi.
Ketika
Alexander membangun imperiumnya, tatanan dunia baru kala itu berbau Yunani.
Dilanjut dengan periode Helenistik, ketika separuh dunia menggunakan budaya,
bahasa, dan pola pikir orang Yunani. Demikian pula pada periode Romawi,
Khilafah Ottoman, dan di ambang periode modern dengan kemunculan Kerajaan
Spanyol di abad 16.
Spanyol
telah merampas emas dan perak dunia, dan pada 1521 mereka telah menjangkau
Maluku. Periode selanjutnya pada 1851 Belanda sebagai bekas jajahan Spanyol
bangkit dan mengambil alih semuanya sebagai penguasa tatanan dunia baru kala
itu, dengan VOC sebagai perusahaan publik dan multinasional terbesar di dunia. Maka bahasa dan budaya Belanda serta mata uang
Gulden ikut menjadi penguasa dunia.
Pada
1800-an giliran Belanda yang merosot, karena dibantai oleh Britania. Inggris
adalah kekuatan dominan selanjutnya. Di sini dapat terlihat bahwa peran bahasa
Inggris sebagai Lingua Franca di
bagian Asia telah didahului selama 300 tahun oleh bahasa Melayu.
Di
gerbang 1900-an, Inggris makin menjadi-jadi dengan tampil sebagai pemenang
Perang Dunia I. Bahasa Inggris pun mulai tampil di panggung dunia, dan tentu
saja diikuti dengan Pound Sterling sebagai mata uang nomor satu berikutnya.
Inggris
mulai bangkrut menjelang Perang Dunia II ketika Jerman dan Amerika Serikat segera
melompat ke panggung dunia. Dan Amerika lah yang menjadi pemegang tampuk New Word Order terakhir yang dapat kita
lihat hingga hari ini, dimulai dengan munculnya Dolar sebagai kekuatan uang
baru, disusul militer dan perdagangan, industri hiburan, dan tentu saja bahasa
Inggris Amerika.
Dalam
100 tahun sebuah siklus tatanan dunia, kini Amerika sedang menghadapi
senjakala. Dan di saat bersamaan China muncul sebagai pemain baru. Secara tak
terhindarkan, menjelang berakhirnya satu abad masa keemasan Amerika, dunia
harus bersiap menghadapi sebuah tatanan yang serba China.
Sebuah
kekuatan besar yang kita sembunyikan ada pada bahasa yang menghimpun Indonesia,
Malaysia, Singapura, Brunai, Mindanao Filipina dan Thailand Selatan: Bahasa
Melayu. Apa yang kemudian dapat kita lakukan dengan (hanya) ini?. ~
Comments