Nerdy

 

Ilustrasi: ocketcdn.me

Oleh Muhammad Natsir Tahar

Barangkali ada pembaca yang terjebak pada kesombongan epistemik. Membaca buku dengan sepele, berusaha mencari cacat logika dari penulisnya, dan berbantah-bantah dengan setiap premisnya.

Pembaca seperti ini akan selalu skeptik lagi sinis. Dia tidak bermaksud menimba ilmu dari bacaan-bacaannya, gelasnya tidak pernah dikosongkan. Yang ingin dilakukan hanyalah mengukur sejauh mana penulis buku itu mampu mematahkan pertahanan kognitifnya, atau menikmati pembiaran kedangkalan dan kesesatan yang ia sangkakan.

Dia menganggap kepalanya sudah sebesar British Library dan tak perlu membunuh waktunya dengan buku-buku marginal. Pembaca seperti ini tidak pernah down to earth, ia berusaha mematahkan mitos tentang seseorang bijak bestari berilmu padi yang makin berisi, makin merunduk.

Ada pula pembaca yang dahaga. Baginya semua buku bermutu adalah penting. Dia meletakkan buku-bukunya pada altar suci pengabdian ilmu, dan ingin mengirim salam takzim kepada penulisnya. Ia tak punya pembelaan yang kuat pada perspektifnya. Ia menelaah, memilah, dan batinnya bercakap-cakap dengan rendah hati.

Walaupun ia merasa isi kepalanya sudah sepenuh perpustakaan Aleksandria, ia menjadikan bacaan-bacaan terakhirnya sebagai catatan kaki. Bahkan bisa menggantikan atau me-reset ulang paradigma-paradigma usang yang selama ini ia genggam.

Ada lagi pembaca yang melihat buku sebagai beban hedonistik. Baginya buku hanyalah tugas-tugas akademik. Ia membaca setengah buku dengan setengah hati. Bahkan ia tak pernah membaca apapun, ia hanya mencuplik bagian-bagian penting untuk ditumpuk ke wadah yang lain.

Ada kejahatan yang lebih kejam daripada membakar buku. Salah satunya adalah tidak membacanya, kata Joseph Brodsky peraih Nobel Sastra (1987).

Beberapa orang tidak datang dari kaum pembaca. Ia hanya menenteng buku untuk berlagak. Berpose secara menyedihkan di depan susunan buku setebal batu bata untuk menakut-nakuti kebodohan, sembari meneriakkan kepada dunia bahwa dia adalah seorang patriot pembaca.

Ia seolah seorang intelektual bukan main yang telah menghabiskan buku-buku itu dengan mudahnya. Ia bahkan tak sungkan membawa buku-bukunya ke kedai kopi, tapi berbicara sekelas komik.

Ada juga yang sudah ketakutan melihat buku sejak bayi. Baginya buku adalah teror. Ia tidak dilahirkan sebagai pembaca, mungkin penonton televisi atau pemanjat tiang bendera. Sayangnya teror buku akan menghantuinya ketika makin terpesona oleh gelar-gelar akademik. Karena buku sejatinya menjadi maha penting dalam masa persekolahan.

Tapi secara ajaib ia sampai juga kepada gelar-gelar itu. Mungkin ia telah menemukan kampus yang membiarkan mahasiswanya tidak menyentuh buku dengan sedikit kedipan mata. Dan seperti yang lainnya ia secara benar-benar menyedihkan, berpose dengan toga dan baju kebesaran wisuda, di depan sederet buku setebal batu bata piramida Giza.

Dan terakhir, ada pembaca buku yang harus ditolong. Dia ingin sekali membaca. Mengoleksi banyak buku, sayangnya ia tak punya kemampuan membaca yang baik. Keningnya berkernyit sejak mukadimah.

Ia ingin sekali menyerap kuat-kuat ilmu pengetahuan yang tersimpan di dalam buku-buku itu. Daya tangkap kognitifnya terlalu lemah, tapi ia punya semangat, hatinya melonjak begitu melihat buku. Orang ini harus didoakan dan spiritnya harus dikuatkan.

Pertanyaannya kemudian, siapakah yang masih membaca buku di abad digital ini? Untuk tidak menyebut mereka hanyalah orang-orang sisa. Umat milenial dan Gen Y terlihat sedang jauh dari buku. Kecuali memenuhi tugas-tugas persekolahan belaka.

Generasi sekarang menertawakan buku-buku sebagai warisan Ptolemaios. Mereka sempat tergoda membaca buku-buku dalam format digital, tapi siapa yang dapat bertahan lama menatap layar selama itu.

Bila manusia-manusia renaisans sanggup membeli buku seharga Roll Royce atau menukarnya dengan sepetak ladang gandum, karena langka dan berharganya buku di kala itu, generasi sekarang diberi gratis pun, banyak yang membuang muka.

Generasi kini jago bermain kata kunci, mereka seolah berdiam di dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai data. Serta bebuahan informasi yang bisa langsung dipetik dari tangkainya.

Bila dari kita ada kaum pembaca yang teladan, pernah kah kita menghabiskan buku setebal batu bata, tanpa mengorban waktu-waktu penting dalam kesibukan repetitif dan kohesi sosial. Tidak banyak yang benar-benar menghabiskan buku-buku mereka, melebihi fungsinya sebagai penunggu rak-rak.

Ekstravaganza digitalisasi dan percakapan echo chamber di media sosial, telah merampas pembaca-pembaca dari buku-buku mereka. Apakah buku-buku di masa depan dan pembaca setianya akan punah, di tengah kedigdayaannya sebagai puncak dan pembuktian pencapaian intelektual bagi penulisnya.

Kabar gembiranya, buku tercetak dan terpajang di perpustakaan megah atau kedai-kedai buku mewah masih dianggap lebih agung dari format digital apapun. Atau itu hanya perasaan saya saja!. ~

 

 

 

 

Comments