Ilustrasi: uoguelph.ca |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Bumi yang tua renta harus memasuki usia senja dengan hari-hari terberat. Medio abad 20, manusia mulai memaksa bumi yang segar bugar untuk sakit.
Sains dan teknologi di fase ini melesat bak meteor, secepat itu pula bumi dirusak. Kita sedang berbicara tentang petaka masa depan, dengan penyebab yang paling diabaikan: pemanasan global.
Franklin D. Roosevelt (1882-1945), Negarawan dan Presiden Amerika Serikat berdiri di atas podium, satu abad sebelum isu-isu global warming diucapkan: Sebuah bangsa yang menghancurkan tanahnya (sekaligus) menghancurkan dirinya sendiri. Ucapannya, seperti sumpah yang tengah menagih pembuktian.
Manusia memang mesin biologis penghancur. Manusia-manusia primitif penghuni gua terlihat garang, karena harus menjadi penakluk belantara agar bisa bertahan. Tapi daya rusak mereka hanya gangguan-gangguan kecil.
Bahkan seperti lukisan yang terdapat di gua Lascaux dekat Dordogna, Prancis, manusia dari zaman Paleolitik membuat upacara untuk menghormati korban penaklukan mereka dari hewan dan tumbuhan.
Sedangkan manusia modern, tidak hanya punya daya rusak eksponensial, mereka bahkan tak peduli dengan tubuh lingkungan yang telah disakiti.
Di antara deru dan debu mesin-mesin perusak, para pejuang lingkungan pula berdiri sendirian melawan keganasan para kolonial ekologi, sekaligus pendangkalan yang dibuat orang-orang berkerah putih dengan segulung peta buta penyelamatan ekosistem, dan kerja-kerja kosmetik peremajaan lingkungan hidup.
Manusia perlu disadarkan dengan kata seru filosofis, untuk menutup jalan pikiran dengan tendensi superfisialitas. Fritjof Capra, seorang pemikir ekologis Austria dengan visi epistemologi tranformatif-nya coba menggabungkan jalan pikiran epistemik dengan metafisis.
Alam semesta tidak harus dipandang sebagai seunit mesin atau perkakas, yang tersusun atas sekumpulan objek yang terpisah, melainkan sebagai sebuah keseluruhan yang harmonis, yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Suatu jaringan hubungan dinamis yang meliputi manusia, pengamat, dan kesadarannya dengan cara yang sangat esensial.
Capra melihat, spesialisasi ekstrem dari pikiran rasional, kini tengah berhubungan dengan mistisisme, esensi dari agama dan manifestasi dari spesialisasi ekstrem pikiran intuitif, dengan begitu indahnya menunjukkan hakikat modus kesadaran rasional dan intuisi yang merupakan kesatuan dan saling melengkapi.
Manusia perlu disadarkan, salah satunya dengan menghapus gen penakluk dari zaman primitif, bahwa lingkungan atau bumi secara utuh adalah teman, bukan target penaklukan. Kita membutuhkan falsafah lingkungan yang di dalamnya merangkum ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Dalam konteks ini, muatan filosofis terus dibutuhkan bagi membicarakan lingkungan secara kritis, radikal, sampai menyentuh hal yang mendasar dalam hubungannya antara manusia dan lingkungan.
Pemanasan global terus terjadi, suhu bumi meningkat, dan gletser mencair. Jika ini tak bisa dihentikan detik ini, dalam hitungan mundur 30 tahun, sebagian daratan bumi akan lenyap disapu oleh pencairan es di kutub. Dan tanpa sadar kita semua adalah bagian dari penyebabnya.
Kita menyemprotkan emisi gas buang dari kenderaan bermotor tanpa henti, penggunaan energi listrik secara boros, penyebab polusi gas metana yang dihasilkan oleh sampah organik (Indonesia nomor dua terbanyak), konsumsi bensin berlebihan.
Demikian pula, prilaku konsumtif yang menyebabkan seluruh peralatan terus diproduksi yang prosesnya menghasilkan gas rumah kaca, sampah plastik, peralatan rumah tangga yang menghasilkan CFC, dan tentu saja penyempitan hutan. Semua itu adalah pemicu bumi terus memanas. Berlangsung detik per detik oleh lebih dari tujuh miliar manusia.
Ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos dan logos. Oikos berarti rumah. Bumi adalah rumah bersama yang harus kita rawat. Ada garis singgung antara kebutuhan untuk bertahan hidup yang tata caranya justru ironis. Kita bertahan hidup dengan cara membakar rumah bersama, di mana tidak ada lagi rumah selain ini. ~
Comments