Ilustrasi: cientificamerican.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Tersebutlah Kaisar Qin Shi Huang, pendiri Dinasti Qin sekaligus kaisar pertama Tiongkok bersatu. Reputasinya sebagai penakluk dibatalkan oleh ketakutan terbesarnya pada kematian. Ia mendanai tabib Xu Fu dalam armada besar yang dimuati 6.000 perawan sebagai tumbal, demi menemukan pulau yang memiliki ramuan keabadian.
Qin Shi Huang tak seorang diri, ada deretan kisah lama tentang manusia yang menolak punah. Kematian menjadi histeria massal, jeritan di dalam batin yang tertahan oleh kepasrahan kolektif, tak terjeritkan. Beberapa di antara kita memberontak. Pikir mereka, bila segala problema bisa diatasi, mengapa kematian tidak.
Di masa kini, ada yang membekukan tubuhnya lewat teknologi pendinginan yang disebut cryonics, lalu bangun pada tahun 2050 atau lebih lekas dari itu, begitu dunia siap. Tahun 2050 diyakini sebagai puncak teknologi untuk menciptakan manusia immortal.
Ada 300 orang di dunia yang saat ini dalam kondisi beku, beberapa dari mereka adalah ilmuan. Mungkin mereka terobsesi dengan Mr. Freeze yang berhasil hidup kembali untuk balas dendam dengan meneror kota Gotham.
Tak tertinggal Larry Page yang membapaki Google, atau Jeff Bezos yang perusahaan seraksasa Amazon ada dalam koceknya, disebut-sebut tengah mendanai sebuah proyek keabadian, tak sebatas menghambat penuaan, tapi abadi dalam arti tak mati-mati.
Belum lagi China, lewat Shandong Yinfeng Life Science Reasearch Institute, sebuah laboratorium yang memiliki teknologi canggih dalam pembekuan mayat manusia untuk dihidupkan kembali di masa depan.
Di tahun 2050 itu, segerombolan mayat hidup hasil pembekuan dari masa kita, akan bergabung dengan manusia abadi lainnya, terdiri dari kaum elit yang mampu membayar teknologi robot nano, untuk menggempur penyakit apa saja yang coba memasuki tubuh. Serta menyatukan dirinya dengan fitur-fitur robotika (singularity) untuk menjadi manusia super (cyborg).
Adalah kegelisahan bila hal-hal tersebut berhasil, ketika bumi sudah tak mampu menampung populasi manusia. Teknologi dipastikan akan menghambat seluruh proses kematian begitu sepenuh resiko pekerjaan dan aktivitas manusia diambil alih oleh kecerdasan buatan.
Infotech dan biotech akan melakukan perkawinan silang yang sempurna dalam mengambil alih tugas-tugas manusia. Namun dalam proposal peradaban masyarakat 5.0 (Society 5.0) yang sebentar lagi akan kita jemput, mesin-mesin pintar itu hanya bertugas sebagai pelengkap. Suatu gagasan utopia yang kontra dengan wajah tamak kapitalisme.
Ketika banyak manusia tak mati-mati sedangkan populasi meledak, problema kita makin serius. Manusia semakin berlimpah di saat bersamaan pekerjaan tradisional mereka sudah rata dengan tanah. Lepas dari apakah penahan kematian hanya dapat diakses kaum elit, teknologi yang mengambil alih pekerjaan berisiko, akan semakin mampu menekan angka kematian global.
Sebagai misal ketika seluruh mobil telah terotomasi dengan 0 persen kecelakaan, dunia mampu menahan sedikitnya 1,25 juta kematian per tahun (data Global Status Report on Road Safety, WHO, 2015), dan 50 juta lainnya yang mengalami luka berat. Itu baru satu bidang, tinggal merinci seluruh aktivitas berisiko lainnya.
Inilah tantangan yang akan dihadapi umat manusia, anak cucu kita di masa depan. Kita berharap ada formula yang mampu memberikan solusi jitu bagi umat manusia. Antara manusia “abadi”, manusia yang dipanjangkan umurnya berkat teknologi, manusia yang terhindar dari bahaya, dan manusia awam yang melimpah ruah lalu menghadapi kepunahan pelan-pelan karena kehabisan nutrisi, bahkan ruang.
Meski ada badai peradaban di depan sana, manusia hari ini masih disibukkan oleh kultur pop, tenggelam dalam aktivitas dangkal (shallow work), tinjauan pendek tentang peta sejarah peradaban, ahistoris sekaligus primordialis (denial pada kelindan dan tanggungjawab global), terjebak pada visi budaya yang sempit, serta membutakan diri terhadap prediksi-prediksi futurisme. ~
Comments