DNA: harvard.edu |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Nenek moyang kita bukan hanya seorang pelaut, tapi juga seorang pendobrak. Bersama hampir semua etnik di dunia, mereka melewati patahan-patahan adat dan budaya.
Adat yang kita kultuskan hari ini adalah hasil dari pelanggaran adat berkali-kali yang mereka lakukan. Mereka membangun bid’ah-bid’ah terhadap kultur, adat, dan identitas etnis sepanjang garis waktu. Kita tidak seberani itu.
Leluhur kita tidak turun dari langit serta merta (generatio spontania) dengan kelengkapan adat, sistem kepercayaan dan dialek semula jadi, dengan nilai-nilai kearifan lokal, yang kita sanjung pada hari ini.
Mereka telah melakukan banyak eksprimen, membuat bantahan-bantahan, secara kurang ajar membuang kelengkapan adat usang yang harusnya lebih luhur dan sakral dari yang mereka ada-adakan pada hari itu. Mereka juga melakukan perubahan pasif akibat adanya sejarah penaklukan (apokalypsis) yang menghanguskan peradaban aboriginal.
Seorang tradisionalis bisa saja memvonis generasi milenial sebagai pelanggar adat dan pantang larang, padahal mereka hanya ingin berani seperti pendahulunya. Adat yang kita junjung hari ini tidak akan pernah ada, jika pendahulu kita tidak seberani itu. Mematahkan mitos-mitos kuno dan menggantinya dengan mitos “baru”. Bila teknologi selalu terdisrupsi demikian pula adat istiadat (custom= kebiasaan atau tradisi) yang terdistoris oleh kekinian kita.
Tulisan ini tidak bermaksud memperkarakan proyek-proyek pelestarian adat dan melunturkan kebanggaan kita pada sejarah, identitas lokal dan etnik sendiri, hanya sebagai alert bahwa kita tak pernah berpisah dari rantai kosmos, membuka minda (berasal dari mind_mindset, kosa kata global) kita bahwa kita adalah produk global yang terus menerus berproses ke bentuk yang lebih baru.
Kita membutuhkan visi yang holistik untuk melihat kompleksitas kita. Kita perlu mundur, melakukan zoom out agar tubuh sejarah kita tidak terlihat kerdil. Tidak cukup dengan tinjauan 300 tahun, bila perlu 3.000 tahun.
Ini dianjurkan Goethe agar akal kosmos kita termanfaatkan dengan sempurna. Tanpa sadar, kita mungkin meneruskan semangat penguatan identitas etnik, melalui mitos-mitos rapuh yang dikontaminasi oleh virus devide et impera, ditularkan dari air liur kolonial Belanda.
Nenek moyang kita bukan hanya seorang pelaut, tapi adalah pembaharu yang progresif. Mereka memiliki kesadaran global, melakukan akulturasi dan asimilisi, mengimpor ide dan mode dari Eropa, Arabia, India dan Tiongkok, serta berbahasa lingua franca yang merupakan gabungan dari hampir semua bahasa populer yang pernah dituturkan oleh dunia.
Kesadaran global itu telah ada sejak silam, bahwa mereka tidak semacam satu umat Tasmania yang terisolasi selama 10.000 tahun di pulau paling selatan peta dunia. Lagi pula identitas kita hari ini hanyalah identitas semu. Sudah tidak ada etnis yang murni secara horizontal. Kita hanya diikat oleh lingkaran mitos yang ditandai oleh kesamaan dialek (mother tongue) dan ritual adat. Tidak lebih.
Soal garis keturunan, kita dapat mengklaim sepihak sebagai garis keturunan dari etnik tertentu. Tapi secara sains klaim ini sudah dipatahkan. Jati diri kita akan terbongkar melalui rantai molekul DNA (deoxyribonucleic acid) yang berisi materi genetik yang khas pada setiap orang.
Presenter Najwa Shihab sudah membuktikan ini. Di belakang namanya ada Shihab yang berarti berasal dari keturunan Arab. Nana sebutan akrabnya menyebut leluhurnya berasal dari Hadramaut, Yaman yang berlayar ke Batavia. Tapi sains berkata lain, Gen Arab Nana hanya 3,4 persen.
Nana terdaftar sebagai satu dari delapan tokoh publik yang menjadi relawan dalam Proyek DNA Historia. Bersama Ariel Noah dan sutradara Riri Riza, Nana menguji komposisi DNA di dalam tubuhnya dengan menggunakan uji sampel saliva (air liur). Hasilnya sangat mengejutkan.
Sebagaimana dirilis Historia, ahli genetika Herawati Sudoyo menjelaskan, Nana memiliki latar belakang genetik yang menarik. Karena ada sepuluh fragments (potongan) DNA yang berasal dari sepuluh moyang berbeda dalam tubuhnya. Paling banyak dan kompleks dibandingkan relawan lainnya.
Berturut-turut dari yang paling dominan: 48.54% berasal dari Asia Selatan (Nepal, India, Bangladesh, Tamil); 26.81% dari Afrika Utara (Maroko, Algerian, Aljazair, Berbers); 6.06% dari Afrika (Mozambik); 4.19% dari Asia Timur (Tiongkok); 4.15% dari Diaspora Afrika (Afrika-Amerika); 3.48% dari Timur Tengah (Arab); 2.20% dari Eropa Selatan (Portugis); 1.91% dari Eropa Utara (Dorset); 1.43% dari Diaspora Asia (Asia-Amerika); dan 1.22% dari Diaspora Eropa (Puerto Rico).
Demikian juga Ariel Noah yang mengaku berdarah Minang dan Batak, ternyata juga memiliki gen Siprus, Yunani. Dari hasil tes DNA. Ariel memiliki 79.78% gen Asia Selatan, 15.14% Asia Timur, 5.02% Asian Dispersed, dan 0.05% Timur Tengah.
Seperti responden lain, Ariel memiliki persentase DNA Asia Timur yang cukup tinggi, dideteksi berasal dari Guam, pulau kecil di Pasifik. Sementara, gen Asian Dispersed yang dimiliki Ariel menggambarkan migrasi orang-orang Asia Timur dan Selatan ke Amerika Utara. Moyang genetik Asian Dispersed sama seperti orang Indonesia namun umur gennya lebih muda.
Sementara, gen Asia Selatan yang dimiliki Ariel merujuk pada negara-negara seperti Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Maladewa, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka. Dalam DNA Ariel terdapat beragam varian India, yakni India secara umum, Golla, Bangladesh, Gope, Tamil, Rajput, Nepal, dan Bhutia.
“Sebagian besar DNA Ariel berasal dari Asia Selatan dengan beragam etnik atau suku yang ada di India. Tidak dijelaskan spesifik dari India mana, berarti yang ada di tubuh Ariel umum dimiliki oleh orang India,” kata Profesor Herawati Supolo Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman pada Historia.
Sepertinya kita harus bergabung dengan Proyek DNA semacam ini untuk mengetahui seglobal dan sebhinneka apa DNA kita. Agar lebih berani untuk keluar dari pulau “Tasmania” yang kita ciptakan, sehingga visi eksistensi kita tidak terus bergelayut pada satu mitos tertentu, di garis waktu tertentu. ~
Comments