Ilustrasi: i.ytimg.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Ketika dunia masih tergugu-gugu dalam era informasi 4.0, Jepang sudah mengumumkan kedatangan era Masyarakat 5.0 (Society 5.0). Bila sejauh ini dunia maya dan nyata bercabang dan jalan sendiri-sendiri, keduanya harus diikat dalam suatu perkawinan suci (konvergen). Apakah perkawinan ini akan rukun, tanpa sebelah pihak mendominasi atau bahkan menyakiti?
Sejak usai era 2.0 atau zaman Revolusi Pertanian, teknologi seperti dilepas dari kurungan. Mereka bergerak cepat tanpa menoleh ke belakang, siap atau tidak. Sehingga dapat kelihatan, teknologi hanya melayani kepada yang mampu beradaptasi. Yang lain tinggal memilih, tercecer dan hidup di zaman apa. Bahkan model peradaban 1.0, dan 2.0 masih banyak peminat. Sebagian lagi terdiri dari orang-orang pabrik, yang bekerja repetitif seperti zaman pertengahan, mereka para pelaku teknologi 3.0 yang masih eksis sampai kini.
Fajar peradaban dimulai oleh Masyarakat 1.0 (Hunter - gatherer Society), manusia berburu dan mengumpulkan cadangan makanan. Di era nomad (antara 70.000 sampai 100.000 tahun lalu) ini, manusia hidup tanpa mengenal batas teritorial.
Mereka berkarnaval dengan teknologi terdepan kala itu: kapak batu dan pemantik api. Mereka berwisata ke rimba-rimba yang terbakar dan mengunjungi galeri seni bergengsi berupa lukisan dan pahatan di dinding gua.
Matahari terbit bersamaan dengan bangkitnya Masyarakat 2.0 (Agrarian Society). Manusia mulai menetap, rumah menjadi penting dan tentu saja keluarga. Ada pembagian tugas, pria ke ladang dan wanita menyusui anak-anak, memasak, menjaga biji-bijian, mengurus ternak, serta saling mencabuti kutu rambut.
Kadang-kadang tidak ada pembagian tugas, semua pergi ke ladang pagi-pagi dan kembali petang. Petani Lithuania mulai mencangkul pukul tiga subuh, pria dan wanita. Bayi dan balita diikat di punggung.
Masyarakat 2.0 memulai revolusi pertanian sekaligus kognitif lewat bicara dan menulis (sekitar 9.000-10.000 tahun lalu). Di sini pula hukum Hamurrabi muncul. Manusia pemalas mencari akal, agar tak ke ladang susah-susah. Mereka membual tentang wakil dewa dewi di bumi, tentang siapa yang berhak menjadi raja dan memungut upeti.
Siapa yang layak melecut cambuk, siapa yang pantas menjadi budak, lalu siapa pula tetua adat, siapa yang harus berperang, serta siapa yang tetap bekerja di ladang dengan status baru: pekerja atau budak.
Kasta-kasta dibangun oleh para tukang bual penipu, sekaligus pemalas yang licik. Era 2.0 juga melahirkan tuan-tuan tanah tukang cambuk dengan cara yang busuk, Tuhan tidak menciptakan bumi untuk diaku-aku. Sejak kapan mereka membayar kepada Tuhan?
Era kognitif memang lahir di sistem 2.0, tapi hanya sebatas berbual, membuat syair, berseni, berjoget, atau mengasah senjata. Inovasi sangat lambat. Setengah manusia memilih tidak berpikir sejak mereka menemukan politik. Beberapa teknologi yang diusulkan oleh genius ditolak, tidak ditolak jika tujuannya untuk berperang.
Suatu hari William Lee ingin membebaskan bangsanya dari rutinitas merajut topi secara manual dan membosankan. Sayangnya alat pemintal otomatis bernama stocking frame itu dilihat sebelah mata oleh Ratu Elizabeth I (1558 – 1603). “Kau terlalu ambisius Tuan Lee. Coba bayangkan dampak yang ditimbulkan mesin buatanmu itu terhadap rakyatku yang hidup melarat. Mereka pasti makin sengsara sebab mesinmu itu jelas-jelas membuat mereka menganggur dan akhirnya menjadi peminta-minta”.
Era 2.0 sangat panjang, mulai matahari terbit hingga lewat waktu ashar. Ketika matahari sudah miring ke garis barat cakrawala, manusia baru mulai membangun peradaban 3.0 (Industrial Society) pada akhir abad ke-18 dengan apa yang kita namakan revolusi industri. Sebuah mesin uap berdentang pertama sekali di lembah penambangan batu bara bangsa Anglo Saxon. Ketika itulah manusia mulai berkawan dengan mesin.
Tahu waktu yang tersisa tidak banyak. Era 3.0 berlari secepat maling jemuran. Kata yang paling pantas untuk sebuah revolusi berlaku di sini. Semua yang tidak dibuat pada waktu bercocok tanam, selesai di sini. Jika mesin uap bisa diciptakan, semua mesin mengapa tidak. Dan apapun yang tidak disediakan oleh Tuhan. Bahkan mereka mencari akal untuk mengunci Tuhan di bilik penyembahan, agar tidak kemana-mana.
Matahari hampir terbenam ketika kita masuk ke peradaban 4.0 (Information Society). Ini adalah zaman yang kita alami dalam dua dekade terakhir. Seperti balik ke zaman 1.0, era ini menihilkan batas-batas, tidak penting tembok pembatas atau garis imajiner teritorial yang dikarang oleh para pembual. Manusia menuju ke peradaban kosmopolitan tanpa sekat, tanpa geopolitik naif peninggalan zaman kegelapan. Globalisasi adalah kata kunci, dan percakapan dalam dunia dan seluruh manifestasinya berlangsung secara waktu kini (real time).
Peradaban 5.0 telah dan sedang dimulai. Terjadi lompatan kuantum pada teknologi informasi sebagaimana telah diramal sebelumnya. Terjadi keterikatan penuh antara dunia maya (cyberspace - virtual space) dengan dunia nyata (real space). Ada empat industri maya yang memuncaki Peradaban 5.0, yakni Internet of Things (IoT), Big Data, Artificial intelligence (AI), dan kegiatan ekonomi digital (the sharing economy).
Pertanyaan akan muncul beruntun. Yang penting darinya seperti, bagaimana spesies manusia sebagai caliph di muka bumi dapat berbicara dengan menegakkan bahu atas nama humanisme di hadapan para pendekar AI, ketika segenap sejarah kita telah terdeteksi sebagai human error.
Di antara kemudahan yang dihadirkan oleh peradaban 5.0, kita semakin terikat, semakin terhisap, semakin bugil dalam sebuah operasi Big Data. Mereka para robotika AI punya kemampuan mengerkah data tersebut, mengelaborasinya dan menciptakan solusi. Mereka tahu sampai kapan jantung kita bisa bertahan, makanan apa yang tidak boleh, bahkan memilih ulang jodoh yang tepat untuk kita. Apakah ini masalah atau berkah?.
Era 5.0 seakan mengembalikan kita ke zaman nomad 1.0, manusia kosmo dapat mengembara tanpa sekat psikologis, tidak ada pekerjaan repetitif atau berulang-ulang karena telah digantikan oleh otomasi, mulai kaburnya kasta sosial, lenyapnya para atasan (unbossed), dan seterusnya. Sesungguhnya manusia adalah makhluk kosmo dan kembali ke kosmo, seperti sebelum para pembual dilahirkan. ~
Comments