Ilustrasi: ipinimg.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Setangkai bunga King Protea mekar di tengah benua hitam Afrika. Bunga ini seperti bohlam, saat mekar tampak bak bintang Sirius dengan mahkota yang rumit. Bunga cantik Afrika itu adalah Botswana. Untuk ukuran Afrika, ia adalah wacana kekaguman, dengan banyak langkah raksasa.
Pada tahun 1966, bila ada yang bertanya negara apa yang paling miskin di muka bumi ini, jawab saja Bostwana. Dulu negeri yang terkepung di antara rezim penguasa kulit putih Afrika Selatan ini disebut Bechuanaland dengan tiga kepala suku. Saat sekarat, ia dibuang begitu saja ke dalam tong sampah oleh kolonial Britania.
Bostwana harus tegak dengan kaki hitam kurus dan hampir patah _merdeka pada 30 September 1966_ tertatih di atas modal jalan aspal yang hanya sepanjang 12 kilometer. Hanya ada 22 sarjana dan 100 tamatan sekolah menengah yang bisa diajak berpikir. Sisanya lebih sibuk menyembah kepala suku. Tidak ada yang bisa menjamin, langit tidak runtuh di atas bumi Botswana. Hari-hari akan terlalu sulit. Orang-orang mulai menghitung mundur.
Tapi apa yang terjadi setelah 45 tahun, Bostwana adalah King Protea itu, bunga paling cantik di Afrika ini menyala seterang bintang Sirius. Sebagai negeri pendamba hujan yang mampu mencatat pendapatan perkapita tertinggi di semua zona Sub Sahara Afrika, menyamai Eropa Timur Estonia dan Hungaria, atau Kosta Rika di Amerika Latin.
Adakah King Protea lain di Afrika? Tidak. Walaupun tetangganya Afrika Selatan menjadikan King Protea sebagai bunga nasionalnya. Sejarah apartheid, pesona Nelson Mandela atau retorika Desmond Tutu tak mampu menyaingi lompatan besar Botswana.
Sekali lagi, untuk ukuran Afrika bagian selatan, Botswana telah melampaui ekspektasi yang dapat dikatakan logis. Botswana adalah sisi lain dari percakapan yang biasa didengar di benua ini: tragedi Blood Diamond. Cerita pilu tentang berlian berdarah.
Di sini senjata menjadi maha penting untuk membuat perang suku semakin epik. Demi mendapatkan senjata mereka menukarkannya dengan keringat para budak. Keringat yang dari tetes–tetesnya tercipta intan berlian. Benar, intan berlian _yang tanpa berkedip_ ditukar begitu saja dengan pucukan senjata pembunuh.
Sierra Leone, Liberia, Guinea Ghana, Zaire, Rwanda dan Pantai Gading adalah beberapa negara di benua Afrika yang nasibnya terangkum dalam tragedi berdarah, kebodohan dan papa.
Para pemberontak dan diktator mengibarkan pembantaian etnis, demi itu mereka memburu senjata sambil melupakan deposit kekayaan berlian yang mereka punya. Yang mestinya membuat mereka menjadi sultan satu negara.
Dengan kekayaan tak terbendung mereka bahkan sanggup melewati Inggris dan Perancis sekaligus. Tapi siapakah penduduk paling melarat di dunia? Mereka adalah bangsa yang sama.
Inilah simbiosis parasitisme sempurna antara orang–orang yang tak sekolah dengan petinggi bermoral rendah. Rantai kebodohan payah terputus di benua ini. Jangankan diantar ke sekolah, anak-anak mereka justru dijadikan perisai hidup dan algojo–algojo kecil. Anak–anak yang mestinya dibekali buku, disandangkan senjata otomatis untuk menembak musuh–musuh dewasa.
Neraka ini bukan milik Botswana, mereka bebas dari perang saudara, kudeta militer dan demokrasi pura-pura. Demokrasi di sini literally, bukan demokrasi seolah-olah. Peralihan kekuasaan berlangsung secara bermartabat. Jauh dari kekacauan yang dibangun kawanan oligarki.
Hasilnya, seperti dicatat ekonom Prof. Daron Acemoglu dari MIT University, demokrasi elektoral di Bostwana mampu melahirkan pemimpin utopis, dengan institusi ekonomi yang menghormati hak rakyat, terjaminnya stabilitias ekonomi makro, dan secara konsisten mendorong tumbuhnya mekanisme ekonomi pasar yang inklusif.
Di depan mata kita, Singapura sudah bangkrut ketika mendapatkan kemerdekaannya dari Inggris. Tak seorang pun yakin bahwa bumi Sang Nila Utama dengan postur kurcaci dan tak punya kekayaan alam itu akan bisa bertahan sebagai sebuah negara baru. Untuk minum saja susah, mereka tak punya mata air sehingga harus membeli dari Malaysia.
Tidak hanya bertahan, negeri kecil ini membuat lompatan perkasa. Ia seketika menjadi negara terdepan, tersukses dan paling makmur di atas bumi. Negeri ini memang nihil sumber daya alamnya _berbanding terbalik dengan Bostwana yang kaya intan_ tapi mampu mengekspor keunggulan strategi manajemen pengelolaan kotanya ke sejumlah negara maju.
Singapura secara resmi memperoleh kedaulatan pada 9 Agustus 1965. Putra Melayu Yusof bin Ishak disumpah sebagai presiden, dan Lee Kuan Yew menjadi perdana menteri pertama.
Lee ibarat mesin penyintas, di bawah komandonya, Singapura yang tergeletak tetiba punya kekuatan ekonomi pasar sangat maju, yang secara historis berputar di sekitar perdagangan entrepot. Bersama Hongkong, Korea Selatan dan Taiwan, Singapura adalah satu dari Empat Macan Asia.
Apa yang membuat Botswana dan Singapura menjadi wacana kekaguman dunia? Tak lain adalah pemimpinnya. Tidak soal, apakah mereka dinobatkan dengan cara demokrasi atau setengah diktator macam Singapura.
Botswana menerapkan demokrasi, dan Singapura meritokrasi. Tapi keduanya memiliki pemimpin yang punya imaji utopia. Seperti kata novelis Irlandia, Oscar Wilde: peta dunia yang tidak termasuk Utopia bahkan tidak layak untuk dilirik. ~
Comments