Ilustrasi: njlifehacks.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Socrates punya istri bernama Xantippe, wanita paling pemarah di Athena. Socrates bahkan menjadi sasaran kemarahan setengah Athena, tapi kemarahan istrinya melebihi Dewa Ares. Socrates tidak bereaksi, wajahnya sangat datar. Bahkan saat kematiannya tiba _dihukum meminum racun cemara_ ia tidak berekspresi. Tidak ada yang bisa menebak.
Socrates adalah cerminan kaum Stoa meski aliran filsafat ini dicetus oleh Zeno Citium tiga generasi setelahnya, seorang murid jauh Plato. Zeno sangat terinspirasi oleh Socrates yang menemui ajal sebagai martir, tapi tidak menghadapinya sebagai ketakutan terbesar manusia.
Stoa atau lebih dikenal sebagai Stoikisme, adalah satu filosofi yang memadukan etika dan logika secara sekaligus. Etika memilih sikap hidup pasrah atau tawakal menerima keadaan dunia (apatheia) dan sikap tersebut adalah proyeksi dari kemampuan tertinggi logika manusia.
Stoa adalah yang paling lama dibicarakan di atas dunia untuk mengukur derajat kebijaksanaan. Seorang Sophis (bijak) harus mampu menekan emosi-emosi negatif yang merusak kebahagiaan dengan reaksi berlebihan.
Seorang Stoik dapat mengisolasi dimensi internal dirinya dari semua pengaruh eksternal. Ia adalah tuan terhormat bagi dirinya sendiri. Apabila seseorang berbuat buruk terhadapnya, lalu ia bereaksi untuk membalas, berarti ia telah kalah. Ia telah tunduk, ia berada di posisi inferior, meski hanya ditunjukkan oleh perubahan ekspresi atau bahasa tubuh.
Maka tidak akan pernah mudah menjadi seorang Socrates, menjadi para nabi, atau menjadi seorang Budha. Bahkan aliran-aliran sunyi yang mirip setelahnya seperti sufisme, zenisme, determinisme, atau yang belakangan di antaranya aliran stoik modern dan Quantum Ikhlas yang dimodifikasi oleh Erbe Sentanu, harus dikerjakan dengan disiplin tinggi.
Tak apapun yang dapat memengaruhi suasana hati seorang Stoik kecuali ia lah yang menginginkannya. Bagi mereka, Tuhan sebagai Logos Universal telah menata keseluruhan gerak alam sebagai bagian dari tenunan estetik, senegatif apapun kelihatannya. Dan mereka sangat yakin, hukum kausalitas akan berbicara pada waktunya.
Selain Seneca, Cicero, tokoh Stoik yang amat dikenang adalah Marcus Aurelius, seorang Kaisar Romawi (161-180 M). Pikirannya sangat kontemplatif. Satu ujarannya yang dicatat adalah “Anda memiliki kekuatan atas pikiran Anda, bukan kejadian di luar. Sadarilah ini, dan Anda akan menemukan kekuatan (itu)".
Di tengah kecamuk dan kekacauan perang di seluruh Eropa, ia tetap bereaksi datar dan tabah, bahkan tidak menganggu usaha filsafatnya setiap malam, selama menulis buku berjudul Meditations hingga empat jilid. Buku ini berisi pentingnya seorang pejabat publik melakukan perenungan diri supaya dalam memerintah ia memiliki ketenangan batin, dan berjiwa pengorbanan.
Bagi Seneca, Cicero, dan Marcus Aurelius, seperti ditulis dalam Great Books of the Western World (London: Encyclopedia Britannica, Inc., 2003), seseorang yang memegang jabatan politik harus memiliki integritas diri. Pemerintahan yang baik seharusnya bukan hanya dihuni orang-orang yang tahu kebijaksanaan _seperti pernah digagas oleh Plato dalam sistem pemerintahan Aristokrasi_, melainkan harus juga seorang sophis, yaitu orang yang benar-benar melakukan kebijaksanaan (yang berbahaya bila kedua unsur ini bahkan tidak ada).
Pecahan (simpangan) dari stoik adalah sinisisme (sinicism). Mazhab ini tidak hanya membatu pada luaran yang negatif, bahkan yang terbaik sekalipun. Mereka menekankan bahwa kebahagiaan sejati merupakan ketidaktergantungan kepada sesuatu yang acak atau mengambang. Kaum Sinis menolak kebahagiaan dari kekayaan, kekuatan, kesehatan, dan kesohoran.
Sebagaimana telah dibuktikan dengan sangat mencengangkan oleh Diogenes, seorang filosof yang hidup di dalam tong. Siapa yang tak kenal Alexander Agung, seorang tiran yang menguasai separuh dunia, suatu hari mendatangi Diogenes, demi melihat filsuf besar ini dengan banyak hadiah.
Alexander datang pada saat yang tidak tepat. Diogenes sedang menikmati cahaya matahari, sebagai kemewahan terbesar bagi hidupnya. Alexander bertanya, apa yang dapat dilakukan untuknya. Diogenes menjawab, "Menyingkirlah dari cahayaku!", karena Sang Raja Agung menghalangi sinar matahari.
Di tengah kohesi sosial kekinian serba virtual yang nirbatas, ketika semua telah terhubung dengan interaksi serba klik, ketika semua informasi negatif melintas detik per detik, mampukah kita tetap setenang Socrates? dengan kata kunci tetap tenang dan anti panik. Adakah pendamba surga yang juga ingin memenangi dunia? Bila dunia tempat ujian menuju surga, nikmati saja kezaliman yang menimpa, tanpa berteriak, merintih, mengeluh, bahkan menghujat berlebihan.
Adakah pemimpin sejati seperti Marcus Aurelius yang bergelimang kebijaksanaan dan pengorbanan di antara para demagog? Adakah yang setegar Diogenes di tengah para pembungkuk yang mendambakan hadiah dari tuan raja.
Adakah kaki tangan politik elektoral yang menolak hadiah jabatan Komisaris BUMN meski mereka tahu, sebagian besar BUMN merupakan lembaga benalu, sapi perah, koruptif, dan tumpukan catatan historis kegagalan negara dalam mengurus perusahaan?, dan banyak lagi pertanyaan. ~
Comments