Ilustrasi: pinimg.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Polarisasi dalam tubuh keindonesiaan kita tengah menguat. Ada dua kutub yang saling menolak: Islamisme di satu sisi dan komunisme di sisi lain. Sebagai sebuah ideologi, komunisme belum tamat, ia tetap hidup sebagai laten. Jalan pedang? Tunggu dulu, masih ada jalan dialektika.
Islam dan komunis seperti musuh abadi, keduanya menyimpan dendam historis. Mengapa Islam? karena di Indonesia mayoritas Muslim. Akan beda di Soviet yang mayoritas Kristen dan Tiongkok yang dulu mayoritas Konfusius dan Budhis.
Ketika Belanda masih ada, Islam dan Komunis bahkan punya musuh yang sama: kolonialisme. Keduanya berjihad untuk mengusir penjajah. Bahkan pemikir-pemikir Indonesia, para murid Barat seperti Tan Malaka, Soekarno, Hatta, dan Semaun harus beraliran kiri agar sehaluan dengan tren global anti kolonial, yang dipicu oleh keberhasilan Revolusi Oktober 1917 di Rusia.
Tapi intelektual kita tidak menyerap seluruhnya Leninisme Soviet, mereka harus mengelaborasinya dengan kondisi Indonesia. Seperti juga yang dilakukan DR Sun Yat-sen di Tiongkok.
Hatta, Tan Malaka, dan Semaun, misalnya, harus menghadapi risiko pemecatan oleh Josef Stalin dari keanggotaan Komintern dengan tuduhan sebagai Marxist aliran revisionist, sebab mereka hendak menerapkan Marxisme tapi dengan nuansa khas Indonesia. Kepada Hatta, Tan Malaka bahkan pernah berkata, ‘punggung saya belum bisa bungkuk.’
Komunisme berasal dari manifesto Karl Marx plus Friedrich Engels, nabi para kaum Marxis. Ada misi suci untuk keadilan, kesetaraan dan penghapusan kelas. Serta mengangkat kaum proletar, yang sudah terhegemoni sangat kuat oleh kapitalisme borjuis.
Lalu mengapa Islam dan Komunis (baca: PKI) di Indonesia dalam posisi saling meniadakan? Sebab komunis selalu mengibarkan bendera revolusi, ingin melakukan lompatan besar dengan gegas.
Lalu membenarkan cara apa saja, the end justifies the means (tujuan membenarkan caranya). Dalam pemberontakan berdarah, sebagian besar korbannya adalah pemuka agama (Islam). Patut dicatat, korban komunis di Soviet, China, Albania, dan Kamboja bukan ulama.
Selama periode Stalinis, seperti ditulis dalam The Church in the Soviet Union 1917 - 1941 _Russian Review, pada 1930, komunis Soviet menghancurkan gedung-gedung gereja atau mengganti fungsi bangunan dalam penggunaan sekuler, seperti museum, bar atau fasilitas penyimpanan. Pendeta dieksekusi, melarang penerbitan materi keagamaan dan beberapa anggota kelompok agama dianiaya.
Islam dan Komunis di Indonesia sama-sama memperkuat stigma dan membunuh karakter. Islam dituduh sebagai penyimpan ideologi terorisme, dan komunis dicap sebagai penjahat sejarah dan anti Tuhan. Selebihnya adalah politik.
Orang awam menuduh pengikut komunis sebagai ateis (tidak bertuhan) meskipun Marx mengajarkan itu, namun mereka (kaum proletar tertindas) tidak cukup cerdas untuk itu. Ateisme sendiri lahir dari filosof materialisme dan pemikiran ‘cerdas’ para saintis sekuler yang gagal menemukan Tuhan dalam gelas kemungkinan.
Yang tepat untuk umat komunis adalah anti-teis, sebagai doktrin global komunisme untuk menghabisi penghambat terbesar tujuan mereka: agama. Agama terutama di Eropa terbukti sebagai alat penekan oleh penguasa berabad-abad, yang kemudian pecah berkeping-keping saat Revolusi Prancis.
Kendati PKI bubar (dengan klaim jutaan korban) dan ajaran Marxis dilarang di seluk beluk Indonesia, komunisme mungkin tetap hidup dan diturunkan secara biologis, bermetamorfosis dengan nama aliran kiri apapun.
Komunisme bisa saja disuburkan dalam rangka mencari muka oleh kaki tangan rezim terhadap toke baru dari Tiongkok, sebuah negara komunis. Sebelumnya dilakukan pendekatan berbeda untuk toke lainnya yakni Amerika Serikat.
Sehingga kita harus menyimpulkan bahwa dikotomi antara Islam dengan Komunisme (dalam tanda petik) akan tetap ada. Posisi ini akan berbahaya untuk keutuhan bangsa. Tidak ada jalan pedang yang baik untuk keduanya.
Islam dan Komunisme adalah sesama anak bangsa yang telah kalah. Yang perlu dilakukan adalah menarik benang merah, demi tugas utopia bagi bangsa ini.
Benang merah antara Islam dengan Komunisme adalah Sosialisme. Mekah sebelum Islam adalah kota paling kapitalis dan egaliter. Tidak ada yang tidak mereka jual, onta, permadani, kurma, dan orang sebagai budak. Bahkan Ka’bah dijual sebagai wisata religius bagi kaum pagan dan kafilah asing yang berkunjung saban tahun.
Ketika Nabi Muhammad mendapatkan kerasulannya, selain tauhid dan akhlak, beliau mengajarkan sosialisme, kesetaraan derajat, pembebasan budak, menghapus riba, membela fakir miskin dan anak yatim. Spirit demikan, pula terdapat dalam doktrin komunisme.
Sehingga kita tidak perlu terkejut bila di negara-negara Islam juga banyak tumbuh partai bermazhab komunis, sebutlah Popular Front for Liberation of Palestine di Palestina, Syrian Communist Party di Suriah, National Liberation Front – Bahrain, Communist Party of Afganistan, dan Egyptian Communist Party di Mesir, dan seterusnya.
Islam dan “hantu” komunisme tidak perlu terus bising. Keduanya harus sama-sama lihai untuk mengidentifikasi musuh bersama (public enemies), yang telah merusak bangsa ini dan mengadu domba. Musuh utama kita adalah kebodohan diri dan anasir-anasir perusak dalam negara: koruptor dan antek kepentingan asing.
Musuh utama kita adalah politik kekuasaan dan cara-caranya yang jahat. Politik kekuasaan pula yang telah merantai dan hampir memancung Imam Syafi’i, memenjarakan dan membunuh Imam Hanafi, menyambuk Imam Maliki, serta menyiksa Imam Hambali.
Jika para penegak khilafah ingin menuding rezim ini sebagai zalim terhadap ulama, bagaimana kemudian untuk menjelaskan hal-hal tersebut yang justru terjadi di zaman khilafah. Barangkali cara-cara framing diri sebagai kelompok yang paling terzalimi, tidak selalu tepat.
Musuh yang juga sangat penting adalah orang-orang di belakang perumusan anggaran negara dan daerah. Mereka menggemukkan anggaran untuk kepentingan kelompok dan lembaganya, lalu memposting sisanya untuk kepentingan publik. Publik yang telah menyumbangkan keringatnya demi pajak yang mereka nikmati.
Di sini gagasan negara ilmiah (scientific state) _di mana setiap kebijakan dan mata anggaran berasal dari riset dan fatwa ilmuan serta pemanfaatan teknologi tinggi_ menjadi sangat mendesak. ~MNT
Comments