Ilustrasi: tripadvisor.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Sejak memakai masker, senyuman sebagai satu-satunya kemewahan yang dimiliki manusia telah kehilangan fungsi. Senyum hangat adalah bahasa universal kebaikan, kata William Arthur Ward. Tersenyumlah pada rintangan, karena itu adalah jembatan, sebut Medusa. Tapi Joker juga tersenyum.
David J Schwartz dalam The Magic of Thinking Big menyuruh pembacanya untuk tersenyum lebar dan tulus. Senyum yang tulus bahkan mampu membatalkan kemarahan. Ia telah membuktikan sendiri ketika seseorang tersenyum lebar untuk meminta maaf setelah menabrak mobilnya dari belakang.
Senyum Medusa adalah senyum yang cemas. Ia adalah gadis cantik dalam mitologi yang dikutuk karena menjalin asmara dengan Poseidon _nenek moyang Aquaman_di dalam kuil Athena. Rambutnya menjadi ular dan siapapun yang melihat matanya, jadi batu. Medusa mampu merawat hari-harinya dengan senyuman.
Lalu apa senyum Mona Lisa? Leonardo da Vinci menitipkan misteri pada lukisan Mona Lisa. Mona Lisa dituduh melemparkan senyum palsu. Ahli saraf University of Cincinnati (UC) berkata, senyum Mona Lisa bisa jadi adalah senyum terpaksa karena bentuknya yang asimetris. Bukan sebuah senyum yang natural.
Joker yang berperangai sadis juga tersenyum, tapi itu dituduh sebagai senyuman teror, sebuah smilling depression seorang psikopat. Ihwal senyum, saya suka orang ini ketimbang Mona Lisa. Dia tidak sedang berpura-pura. Dalam depresi berat Joker tetap tersenyum, bahkan lukisan di wajahnya membuat senyuman itu abadi. Senyuman yang tak mungkin dibalas oleh Batman, apalagi Wonder Woman.
Sebuah episode memberikan kesempatan kepada Joker untuk menjelaskan bahwa dia menderita Pseudobulbar Affect (PBA), gangguan pada sistem saraf yang membuat seseorang tetiba tertawa atau menangis. Joker mengoceh, “Aku tidak politis. Aku hanya mencoba membuat orang tertawa”.
Seorang politisi mengendong bayi rakyat lalu melempar senyum dalam sesi foto. Sampai kemudian mendapatkan kursinya. Tidak ada yang peduli apakah ia sedang memasang senyum palsu asimetris seorang Mona Lisa atau seringai Joker.
Keduanya bukan contoh baik. Mona Lisa bisa jadi adalah refleksi sang genius Leonardo da Vinci yang sedang tidak berniat tersenyum. Sehingga senyum itu palsu. Pemalsuan di manapun adalah kejahatan. Tapi Joker adalah penjahat, dan satu-satunya kejujuran yang ia miliki adalah senyuman. Senyum bahkan jadi paradoks dari zaman Adam.
Hati kita punya fitur yang bisa mendeteksi senyuman, tulus, terpaksa atau menghina. Maka bila senyuman justru membuat keadaan memburuk, masker lebih baik untuknya. Phyllis Diller membuat metafora senyuman sebagai sebuah lengkungan yang meluruskan segalanya. Senyuman dicakap-cakap oleh permikir klasik sebutlah John Locke, Schopenhaur, Spencer, Descrates dan Hartley.
Senyum tulus itu ibadah, senyum itu sedekah. Nabi Muhammad tersenyum dan tersenyum lebar sampai terlihat giginya. Tapi hari-hari ini kita hanya tersenyum untuk diri sendiri. Dua orang yang melempar senyum di balik masker, telah menjalankan metode komunikasi yang gagal. Seperti pesan WA tanpa emoticon, kering dan misterius. Kita dipaksa mengaktifkan bahasa tubuh yang lain.
Sampai bila kisah ini akan usai, dunia tanpa senyum. Kita mulai seperti serangga yang tak punya bibir. Kita terjebak dalam gerak gerik serba salah. Lenyapnya kemewahan yang hanya dimiliki ras manusia di planet ini.
Terlalu banyak manfaat senyuman yang sekarang tidak lagi kita dapatkan. Kita mungkin terlahir karena ayah melempar senyum kepada emak, atau sebaliknya. David J Schwartz, batal murka kepada pengemudi di belakang mobilnya, dan itu pasti sulit terjadi di zaman masker. Apalagi manfaat senyuman, mulailah menghitung.
Virus Corona seperti Perseus yang telah membunuh Medusa. Kita tidak lagi melihat senyum Medusa. Senyum yang mampu membuatnya bertahan menghadapi dunia kutukan. Senyum yang mengingatkan kita tentang jembatan di balik rintangan.
Berharap bumi kembali tersenyum dengan berakhirnya tragedi ini. Senyuman di wajah adalah seharga satu juta dolar, masih kata Joker. Di mana lagi kita bisa mendapatkan satu juta dolar itu, ketika hari-hari ini kita justru seperti serangga. ~MNT
Comments