Aboriginal: pinterest.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Bila kita berpikir tentang Adam dan Hawa, artinya seluruh
penduduk bumi adalah hasil dari difusi global. Karena tidak satu individu pun
dapat muncul tetiba dari batu gua _generatio spontania_ seperti yang
dipikirkan Aristoteles. Saya harus memaksakan pikiran ini, atau kita percaya
Teori Evolusi. Dan bila kita percaya Darwin maka kita sedang keluar dari agama
langit (monoteisme).
Entah bagaimana ini menjadi tampak mudah, begitu saja
keturunan Adam memenuhi bumi, menggelinding dan menjadi asing satu sama lain.
Jika manusia bukan hasil modifikasi kera seperti kata Darwin, artinya dari
titik Adam dan Hawa, manusia telah melakukan perjalanan global melintasi
kedalaman palung, terjangan samudra, dan batas ketidakmungkinan apapun. Tanpa
navigasi dan terdampar ke sudut-sudut terjauh lalu menjadi aborigin.
Armada Kapten James Cook menemukan pulau Tasmania di
belakang benua Australia dengan penduduk asli yang sudah terisolasi selama
10.000 tahun. Bila ini valid, artinya setelah melakukan perjalanan terjauhnya,
keturunan Adam di Tasmania telah kehilangan daya jelajah.
Sebagai makhluk yang membaca fenomena alam, kita bisa
sepakat dengan teori evolusi sintesis modern terhadap hewan dan tumbuhan, dan
menjadi kecuali untuk manusia. Dogma akan begitu saja membatalkan timbunan
fakta yang dikumpulkan para saintis bila tak sesuai dengan perintah langit.
Itulah kekuatan iman.
Seperti kita menengadah ke langit dan percaya bahwa Tuhan
ada di atas, sedangkan kita melihat fakta astronomi, bahwa bumi terus berputar
dan mengelilingi bintang matahari dan bergabung bersama miliaran bintang
lainnya di himpunan galaksi Bima Sakti. Satu dari miliaran galaksi lainnya di
langit. Artinya langit adalah sesuatu yang jungkir balik. Tidak ada langit yang
selalu di atas.
"Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan
malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis
edarnya". (Yasin: 40). Dalam garis edarnya, langit siang dan langit malam
itu berbeda, dan terus berbeda ketika bumi berevolusi mengelilingi matahari, dan
bersama matahari pergi mengelilingi Lubang Hitam (Black Hole). Langit tidak
pernah sama.
Ahli biologi evolusioner dari Oxford University, Richard
Dawkins di salah satu kanal Youtube mendiskripsikan, bila umur bumi yang 4,6
miliar tahun diumpamakan sebagai lengan, maka manusia Sapiens mulai ada di
bagian kuku. Kita sekarang berada di ujung kuku yang biasanya dipotong bila
sudah memanjang.
Dawkins adalah seorang pembantah kreasionisme dan
perancangan cerdas yang terkemuka. Ia murid Darwin sejati, acap bersebati dengan
Lawrence Krauss seorang fisikawan teoretikal, kosmologis Amerika-Kanada dan
penulis buku Something from Nothing. Keduanya selalu tampil di Youtube untuk
sesekali menertawakan Tuhan.
Di lain pihak, para pembantah teori evolusi menegaskan
sebuah teori perancangan cerdas (intelligent design), bahwa manusia adalah
hasil dari suatu sebab yang intelijen, bukan oleh proses tak terbimbing seperti
seleksi alam. Perancangan cerdas merupakan bentuk modern dari argumen
teleologis akan keberadaan Tuhan, dan berusaha untuk secara mendasar
mendefinisikan ulang sains agar dapat menerima penjelasan supranatural.
Mau tidak mau tugas kita sebagai theis dari agama Samawi,
ketika teori evolusi secara seluruhnya ilmiah dan terlihat sulit dibantah akal,
adalah dengan menemukan tinggalan fakta bahwa Tuhan telah melakukan intervensi
terhadap proses ilmiah ciptaannya sendiri dengan mengirim Adam dan Hawa ke
bumi, mendepak mereka dari surga dalam “kerjasama terencana” bersama Iblis.
Tapi bukankah dogma selalu berada di atas rasionalitas? Kita
menjadi ambigu, suatu waktu epistemik di lain waktu dogmatik. Karena iman dan
sains lebih selalu memunggungi. Saintis Barat kerap menuding argumentasi ilmiah
yang disodorkan agama sebagai pseudo sign. Kita tak peduli, kita telah gugup
sejak pertama dalam upaya penyelamatan egois terhadap siksa neraka dan imaji
bidadari surga. Melampaui kecintaan kepada Tuhan.
Seperti pikiran primitif kita yang percaya langit selalu di
atas, demikian pula kita menilai Tuhan. Tuhan di mata kita adalah Tuhan parsial,
Tuhan sektarian, bahkan Tuhan partisan. Bagi kita, Tuhan dengan daya mahakuasa
(omnipotent) dan maha cerdas (omniscient) telah menciptakan seluruh umat manusia,
lalu bergabung kepada sekolompok kecil saja, yang terus kita bagi menjadi
racikan terkecil calon penghuni surga. Agama kita lalu dipenuhi
kontestasi, selebrasi dan alienasi.
Dalam upaya merengkuh surga-Nya, kita memenuhi teori gen
egois Richard Dawkins, bahwa telah berlangsungnya seleksi dan kompetensi
antargen untuk tetap eksis dan meneruskan (ke dimensi akhirat).
Suatu waktu kita merasa paling humanis, tapi tak pernah
peduli dengan anak Adam lainnya di pulau Tasmania, atau Aztec, Inca dan Maya di
belantara Amazon atau apapun yang terisolasi. Kita “masuk” surga, sedang mereka
dipanggang di neraka, karena tak sampai ayat- ayat langit kepada mereka.
Mereka sejak Adam, telah jauh terisolasi ribuan kilometer
dari kronologi kenabian yang hanya berpusat di lokus-lokus bangsa Semit.
Sepanjang ada, mereka diasuh agama-agama antropologis. Lalu dengan egois kita
bergumam, siapa suruh mereka terlahir dari rahim penyembah api, pohon, batu,
atau matahari? Dengan logika iman kita akan berpikir, iblis telah
melakukan pekerjaan sia-sia untuk umat ini, tanpa digoda pun sudah pasti masuk
neraka. ~MNT
Comments