Ilustrasi: mymodernmet.com |
Pancasila dapat
dimetaforakan sebagai lima orang penting yang duduk semeja. Mula sekali
kelimanya keras kepala, mudah sekali bertengkar. Mereka turun dari nenek moyang
berbeda yang kukuh ajaran asalinya. Sadar sedang berada di rumah besar bernama
Indonesia, mereka berbisik-bisik. Pertengkaran tak usai. Diskusi tak selesai.
Pancasila sudah final,
seru para penghapalnya. Pancasila memang final sebagai Dasar Negara, tapi tidak
pada esensinya. Pancasila adalah suatu dialektika, menuju titian sunyi utopia.
Seperti niskala di pelupuk.
Kelima butir Pancasila
dapat hidup serumah karena beberapa syaraf mereka harus dilumpuhkan. Jika
masing – masing tetap kuat dan bersuara lantang, mereka akan terus bergelut
dengan suara gaduh. Sedang negeri ini butuh kesenyapan, demi meneruskan tongkat
estafet peradaban.
Bila masing – masing
sila dikeraskan, itu akan jadi akar serabut bagi konflik multi dimensi.
Sehingga setiap sila dilengkapi penangkal di ujung kalimat. Pancasila kemudian
menjadi pusaka yang dilap-lap, dalam suara – suara lindap yang didiktekan.
Menjadi mono, menjadi hapalan dalam tamadun pop.
Sila pertama, Ketuhanan
yang Maha Esa. Ia memiliki sensor yang ketat terhadap kemanusiaan.
Aturan langit bersifat rigid, ayat-ayat tidak bisa dikompromikan. Penganut sila
pertama yang taat, akan kukuh digaris dogma, tidak ada hukum selain hukum
langit sebagaimana dirisalahkan para nabi dan manuskrip teologis. Agama –agama
pagan dan antropologis mungkin demikian adanya, ketika Tuhan didaulat sebagai
Sang Pengatur.
Jika kemudian sang theis
takluk kepada aturan Negara, maka itu adalah sebentuk pengorbanan, suatu
ketundukan demi kolektivitas. Terjadi pergeseran antara klausa hukum dogmatik
ke dalam ruang mitos bersama, kecuali ada kekosongan dalam hukum Tuhan.
Sila Kedua, Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab. Secara historis adalah koreksi total terhadap
hegemoni agama. Kemanusiaan atau humanisme, adalah antitesa dan aturan Tuhan
yang pernah digenggam oleh monarki absolut, yang lebih selalu berada di luar
kepentingan Tuhan.
Humanisme menjadi ujung
bagi pembebasan manusia dari semua rantai pengatur yang mengikat kemanusiaan.
Di zaman renaisans, humanisme tampak mesra dengan perangkat – perangkat religi,
belakangan semakin lepas, dalam suatu pranata eksistensialisme, bersama
mekarnya globalisasi, kapitalisme dan revolusi teknologi.
Humanisme memiliki sifat
keakuan yang kuat, didukung oleh empirisme yang gagal menemukan Tuhan dalam
sepak terjang laboratorium ilmu. Maka sila ketuhanan dan sila kemanusiaan
berpotensi untuk saling mengusir.
Sila Ketiga, Persatuan
Indonesia. Sila ini berpotensi membatalkan sila pertama dan
menjinakkan sila kemanusiaan. Tidak ada satu agama pun bisa disatukan, jika ada
yang mengatakan itu, mereka adalah agnostik, atau atheis yang mengendap-endap.
Terhadap sila persatuan, penganut agama harus menanggalkan ajaran Tuhan
masing-masing yang bersilang sengketa.
Sila persatuan
menyerupai kontrak sosial Thomas Hobbes. Hobbes menjelaskan bahwa kontrak sosial
adalah perjanjian dan kesepakatan antar individu untuk melepaskan hak-hak
individu mereka dan selanjutnya tunduk kepada negara. Persatuan dapat terjadi
bila altruisme mampu mengalahkan egoisme dalam kemanusiaan.
Sila Keempat, Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
. Ini adalah sila yang berhulu kepada filsafat demokrasi. Demokrasi
adalah ajaran bumi, manifestasi dari kegelisahan akan eksistensi kemanusiaan
yang diganyang feodalisme dan diktator dunia.
Sila ini tidak mampu
menjawab demokrasi secara utuh, untuk kemudian bertumpu pada utilitarianisme. Konsep
perwakilan dalam praktiknya, hanya menggeser kedaulatan rakyat menjadi
kedaulatan oligarki. Sila keempat harus dibayar mahal dengan uang dan
keletihan, sampai ada yang menemukan formula jitu.
Sila Kelima, Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ini adalah mimpi, imaji utopia,
dan sering menjadi dusta. Kita yang mengagung-agungkan Pancasila, hanyalah
seorang degil yang berdusta, bila tak mampu menjalankan sila ini. Jika sila
kemanusiaan dapat mengandung anasir kapitalisme, sila ini bersifat sosialisme.
Hampir serupa dengan Marxisme.
Soekarno mungkin
diilhami seorang petani Marhain lalu melahirkan Marhainisme, tapi dia juga
seorang pembaca Karl Marx. Ada yang salah? Tentu tidak, sepanjang sosialisme
dapat saling mengisi dengan sila kemanusiaan, yang memberi peluang kepada tiap
individu untuk mencapai derajat tertinggi kemanusiaannya. Melampaui konsep
keadilan dengan satu alat ukur, atau cara kacamata kuda.
Pancasila menjadi
semacam diorama, yang dapat diglorifikasikan bahwa ia digali dari bumi
Indonesia. Sedangkan akar-akar dalam setiap sila, tidak luput dari isme – isme
global, tidak hanya bumi tapi juga langit.
Lima sila duduk semeja,
dan debat tak usai, sebab mereka turun dari nenek moyang yang berbeda. Rupanya
sila kemanusiaan dan keadilan sosial kebanyakan minum. Dalam mabuk berat mereka lepas kendali. Salah satunya bergumam, “Dengar tuan Sila Pertama, Tuhan tidak ada. Lalu untuk apa Anda masih
duduk semeja dengan kami?”. ~MNT
Comments