Ilustrasi: www.latimes.com/ |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Abad 21 ditandai oleh lompatan kuantum bidang apa saja. Tapi tidak ada jejak sejarah yang purna, kita penyusun puzzle belaka. Abad ini adalah abad mozaik penuh, hampir tidak ada yang terluput. Dulu kala banyak temuan teknologi yang tak terlacak, tertolak, dan dilupakan. Seluruh buku kuno telah dibakar dan ditenggelamkan, sedikit saja yang lolos untuk menceritakan bocoran kisah silam.
Barangkali zaman renaisans bukanlah anak tunggal, ada zaman serupa itu yang tak memberi tahu dunia. Mungkin Athena bukanlah satu-satunya kota kuno yang menjadi tungku perapian filsafat Barat. Filsafat Timur yang lahir di Tiongkok kuno dan India yang sintetik dan sulit ditembus logika, membuktikan ada Plato lain di seberang lautan.
Filsafat Islam yang paling moderat pada zamannya, adalah pelepah kurma emas di kegersangan gurun kuno. Mereka mampu membangkitkan jasad Aristoteles menjadi lebih tegap, menghangatkannya dengan Platonisme dan mengharuminya dengan percikan pikiran Aleksandria-Plotinus, lalu menyempurnakannya dengan wahyu Islam. Di sinilah renaisans yang sebenarnya telah lahir, sebelum 500 tahun kemudian lahir kembali di Florensia atau Milan, Italia.
Sejak jadi orang kaya besar yang ditimbun emas hitam petro dolar, Arab menaruh sejarah abad letupan pikirannya ke dalam museum pengap, untuk tidak ditiru. Mereka tengah sibuk berbelanja dan membangun Burj Khalifa tandingan. Arab puritan pula, seperti kufur nikmat, ketika Barat masih sibuk mengagumi dan mendalami Ibnu Sina (Avicenna) lewat The Book of Healing dan The Canon of Medicine __satu dari sekian banyak ilmuan Islam tempo lama yang mereka catat__ orang gurun memilih shortcut ke surga dengan merakit roket yang selalu melenceng.
Andai pelepah kurma emas itu terus dirawat turun temurun hingga abad bedil Eropa, jazirah ini tak kan pernah terjajah__ karena harusnya tidak ada bedil di Eropa sebelum Arab meluncurkan peluru roket. Tapi selalu lebih mudah menyalahkan orang lain, ketimbang mengitung kealfaan diri, dan paling merasa dibela Tuhan.
Ilmu di depan revolusi kognitif sama pentingnya dengan api di zaman gua. Api adalah suatu megatren global zaman Pleistosen. Tidak ada yang tidak selesai dengan api. Seluruh hutan otomatis berada dalam kendali manusia. Semua raja rimba telah menyingkir atau hangus.
Sapiens sebagai moyang manusia mengintip bagaimana api dipercikkan dari batu oleh Neanderthal, suatu spesies purba yang amat mirip manusia. Neanderthal lebih dulu cerdas dengan volume otak 325 sentimeter kubik lebih besar dari kita.
Neanderthal dikenal cerdas tapi tidak selicik Sapiens. Jurnal Scientific Reports mengungkap bahwa Neanderthal menggunakan alat batu untuk membuat percikan api sejak 50.000 tahun lalu. Dalam Mausteriuan (suatu tradisi menciptakan alat-alat khas Neanderthal) mereka merancang gadget berupa batu yang bisa memercikkan api dengan cepat.
Sayangnya di tangan makhluk gua ini, alat tersebut hanya bersifat tren, bukan megatren. Megatren adalah suatu perubahan multidimensi berskala besar yang dapat dilakukan oleh manusia. Begitu mengenggam api, manusia tidak hanya diperbincangkan oleh sebelantara rimba sebagai makhluk tegak yang bisa bicara, tapi juga predator dengan bunga merah menyala.
Dengan api pula manusia dapat mengusir dewa Hefaistos yang dalam mitologi Yunani dikenal sebagai ahli teknologi, pandai besi, pengrajin, pemahat, logam, metalurgi, api, dan gunung berapi.
Dengan api, manusia melakukan pengusiran di lembah, perbukitan dan sepanjang bibir pantai. Api adalah pembuktian jejak otak reptil manusia yang cemas, tidak bijaksana dan fokus pada teritorial. Dengan api pula manusia membakar kota-kota dan buku-buku.
Dengan otak reptilnya Julius Caesar membakar perpustakaan Aleksandria, Nero membakar Roma dan Hulagu Khan membakar di Baghdad. Para pemimpin dunia modern yang berotak reptil, akan banyak berbicara tentang senjata nuklir dan pembakaran kota-kota dalam kendali jarak jauh.
Api adalah suatu megatren yang telah mencapai lapisan teratas penciptaannya dalam bentuk energi elektrifikasi yang mengantarkan kita untuk memenuhi keriangan era digital.
Selidik punya selidik, mengapa si cerdas Neanderthal punah padahal Sapiens tidak membakar penemunya. Para ahli berpendapat, periode dingin maksimal yang menerpa Eropa pada 40.000 tahun lalu menjadi faktor penting yang membuat kurangnya populasi Neanderthal hingga punah.
Neanderthal pada zamannya terlalu cerdas untuk menciptakan alat-alat, dan menganggap api bukanlah temuan terpenting. Padahal sepanjang terkungkung dalam periode dingin, api bisa menghangatkan tubuh mereka untuk tetap hidup.
Sedangkan Sapiens menjaganya seperti api olimpiade, mengembangkan unggun menjadi tungku api dan pendiangan sebagai lambang kemewahan musim dingin hingga abad pertengahan. Jika Neanderthal tiba-tiba muncul, apakah dia akan menyalahkan Sapiens?. MNT
Comments