Saya selalu menyukai paradoks. Mungkin banyak yang bosan, saya terus mengulang-ulang kata ini. Saya berpikir kita harus terus merawat dialektika. Setiap pikiran dan cara tindakan tidak layak divonis mati. Kali ini kita bicara tentang sistem bernegara.
Bukan sistem bernegara yang telah baku dan ideologis, lebih tepatnya cara merawat dan memulihkan Negara. Kita sedang tahu, negeri ini tidak baik-baik saja. Dinamika politik selalu menyerupai air yang dijerang, mendekati titik didih. Yang perlu dilakukan Negara adalah lebih banyak mendengar suara-suara di luar istana, ketimbang memukul mundur atau melumpuhkan.
Rakyat sedang butuh pembuktian, bukan tangkisan. Oposisi punya tabiat menyerang, maka yang dibutuhkan adalah mereduksi setiap alasan penyerangan. Sampai mereka tidak lagi punya alasan yang logis. Jadilah terus baik dan adil. Melakukan hal yang benar, dan lakukan dengan benar. Do the right thing and do the thing right.
Saatnya pula, oposisi meninggalkan kultur parlemen jalanan, show of force dengan kerumunan, dan jumawa sebagai orang langit yang suci bersih tanpa noda. Saatnya gunakan jalan elegan. Masuklah ke dalam parlemen dengan tertib melalui jalan yang ada: demokrasi elektoral. Lakukan perubahan dari dalam. Siapkan bibit bobot generasi pilih tanding dan naiki gelanggang cara konstitusional. Sampai mereka tidak lagi punya alasan yang logis.
Sekeras apapun teriakan di luar pagar, tetaplah sebuah teriakan. Kafilah tetap berlalu. Lakukan cara senyap, hukum positif punya logikanya sendiri. Ikuti logika itu dan fokus kepada musuh bersama (public enemies).
Siapa musuh bersama kita? Ialah kawanan oligarki yang membuat pengaturan bagi hanya kepentingan diri dan kelompoknya. Dengan taringnya mereka mengisap urat nadi Negara karena dua alasan: pertama haloba dan kedua, memenuhi pundi untuk belanja besar pada kenduri demokrasi periode berikutnya. Inilah lingkaran setan jahat para pekerja demokrasi. Cukup menjadi manusia untuk tidak berpihak kepada oligarki, atau Anda bagian dari mereka.
Secara teori, demokrasi adalah cara terbaik. Yakni memberikan kesempatan kepada setiap kepala untuk berpendapat dan memilih. Setiap individu punya nilai dan martabat sebagai manusia. Maka secara logika, demokrasi seperti abang kandung bagi kapitalisme, yakni suatu sistem yang memberikan hak penuh kepada setiap individu menjadi sangat kaya, dengan hak kepemilikan pribadi secara penuh pula. Sesuatu yang bertolak belakang dengan idelologi komunisme, di mana negara adalah otoriter sentralistik dan rakyat tidak memiliki kekayaan pribadi.
Ternyata demokrasi terlalu futuristik. Entah berapa ratus tahun lagi, rakyat bisa memakai kepalanya sendiri secara mandiri dan analitis, tanpa doktrin, hasutan, dan uang. Tanpa mengedepankan politik identitas dan feodalisme. Atau sistem dibuat sangat ketat, sehingga siapapun kandidat yang muncul, mereka adalah anak bangsa terbaik.
Jikapun kemudian rakyat salah tebak, siapapun yang kemudian terpilih pastilah figur terbaik. Jika Superman kalah, pasti pemenangnya Batman atau Thor, sama hebatnya. Mereka harus teruji secara ilmiah, bukan cara dongeng, rekayasa sosial, hiperbola dan kultus individu. Jika ada parpol yang mengirim maling ke dalam Negara, ketua partai dan yang berkompeten lainnya harus disanksi pidana, agar tidak terulang terus dan terus. Sanksinya akan dilipatgandakan, bila mereka sekaligus otak pelaku.
Komunisme yang penuh terlihat angker dan menyedihkan, seperti Korea Utara dan lingkaran Soviet. Komunisme memiliki sejarah pembangkangan berdarah terhadap kapitalisme sekaligus kolonialisme. Pada masanya, mereka cukup berguna. Sampai akhirnya komunisme runtuh dan dikucilkan.
Seperti gagasan awal tulisan ini, selalu ada paradoks. Demokrasi tidak benar-benar baik, dan komunisme tidak selalu buruk, atau dibalik saja kalimatnya bagi mereka yang berpaham kiri. China adalah negara berpaham komunis, tapi sekaligus disiplin yang level kesejahteraannya melejit. Mereka justru memenuhi seluruh standar yang dibutuhkan oleh kapitalisme. Bandingkan negara demokratis India, yang tetap kumuh, miskin, dan korup.
Amerika selaku panglima demokrasi di planet ini, bahkan sedang melewati hari - hari gelap, ketika pendukung Trump memanjat Gedung Capitol dan membuat kerusakan. Amerika menjadi sangat ironi dan gagal memberi contoh yang baik bagi transisi kekuasaan ala demokrasi, di musim ini.
Monarki absolut akan terus tertolak secara logika demokrasi, tapi negara Islam seperti Qatar, Uni Emirat Arab, dan Saudi atau paling dekat Brunai Darussalam tak butuh demokrasi. Bagi rakyatnya, demokrasi berada di luar kosa kata menyangkut uang dan privilese yang telah mereka miliki. Juga negara - negara Skandinavia yang berpaham welfare state tapi monarkis. Mereka adalah contoh terbaik di bumi.
Satu contoh lagi, Singapura adalah negara teknokrat yang efisien, bahkan sangat irit untuk membiayai pemilu. Negara dengan pendapatan per kapita tertinggi dunia ini, cenderung otoriter dan memahfumi politik dinasti. Tapi mantan Anggota Parlemen, seorang Melayu, Halimah Yacob langsung memenangkan pemilu setelah bakal calon presiden lainnya gugur karena terjegal peraturan baru.
Biarpun jabatan presiden di Singapura tampak bersifat seremonial, pengembannya punya hak veto pada sejumlah keputusan pemerintah seperti masalah keuangan yang menyentuh cadangan negara atau penunjukan pejabat penting di layanan publik.
Halimah Yacob bisa jadi presiden karena Singapura menganut sistem Meritokrasi. Ini adalah semacam sistem politik yang memberi penghargaan kepada orang berprestasi menempati jabatan tertentu, dan melewatkan politik ras. Meritokrasi oleh para pemikir dianggap sebagai kunci utama kemajuan negara ini. Hanya fokus pada kapasitas individu dan membabat habis korupsi, kolusi, dan nepostime yang sulit hilang di kita.
Sasaran utama meritokrasi Singapura ditujukan kepada generasi muda berprestasi. Sejak pertama, orang-orang pintar Singapura sudah diburu untuk ditempatkan sebagai pelayan masyarakat alias Pegawai Negeri Sipil (PNS). Negara ini bebas dari PNS yang bodoh, korup, pemalas, dan masuk karena menyuap atau disusupkan oleh kaki tangan oligarki.
Konsep meritokrasi pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles dan Plato yang percaya bahwa sebuah negara seharusnya dipimpin orang-orang yang paling pandai, paling baik dan paling berprestasi. Plato menegaskan ini dalam istilah aristokrasi __saya sudah selalu menulis ini sampai ada yang bosan, dan ternyata Singapura sejak pertama sudah mempraktikkannya. Jadi, tugas Indonesia sebenarnya adalah menggeser kawanan oligarki menjadi barisan aristokrat, itu saja. ~MNT
Comments