Oleh Muhammad Natsir Tahar
Bila kita melihat matahari, itu adalah matahari delapan menit yang lalu. Bila kita memandang kerlip bintang, kemungkinan kita melihat Alpha Cygni _bintang terjauh yang dapat disaksikan mata telanjang_ itu adalah bintang kuno 7.000 tahun lalu. Bila kita bermimpi menjadi kupu–kupu, maka kita adalah kupu-kupu itu, sampai kita terjaga.
Bila kita mengamati dunia dan mengelilingi bumi sampai tak sejengkal pun terlewati, kita tetaplah satu per tujuh koma tujuh miliar penduduk bumi dengan sudut pandang berbeda. Kita tidak melihat apapun, sampai ada cahaya yang dipantulkan dengan panjang gelombang tertentu.
Yang kita lihat sebagai dunia hanyalah spektrum warna parsial dengan suatu proses fisika sederhana, ditambah matematika dan geometri. Apa yang kita lihat tidak pernah hakiki sebagai dirinya.
Bintang-bintang yang kita amati di langit malam, mungkin sebagiannya telah punah bersama ledakan supernova. Telah lahir bintang baru dan rasi bintang Orion hanyalah kenangan yang sangat terlambat. Jika dibalik, katakan di dekat Alpha Cygni ada teknologi teropong antarbintang maha canggih dan mereka menyorot bumi saat ini, yang terlihat hanyalah tunas peradaban neolitikum di delta sungai Nil pada tahun 5000 SM.
Saat remaja, saya pernah bermimpi menjadi Spiderman dengan kostum lateks merah biru dan bisa menembakkan jaring laba-bala. Saya tidak dapat membedakan apa yang sebenarnya dirasakan nyata, sebagai Spiderman atau siswa berseragam putih biru dalam jarak beberapa jam.
Berbeda dengan Chuang Tzu. Filosof Tiongkok kuno ini pernah bermimpi menjadi kupu-kupu. Lalu kemudian membuat pertanyaan besar: "apakah aku Chuang Tzu yang bermimpi menjadi kupu-kupu, atau aku adalah kupu-kupu yang bermimpi sebagai Chuang Tzu?"
Kita bisa saja ngakak dengan pertanyaan aneh macam begitu. Karena kita terlalu mengandalkan kesadaran dan ingatan. Tapi kesadaran yang kita andalkan sebagai sepenuh kita, ianya demikian rapuh.
Seseorang bisa terjerembab di kamar mandi, mengambil contoh Scott Bolzan, kemudian siuman dari pingsan dengan dirinya yang baru. Seluruh memorinya terhapus seperti hardisk yang diformat. Sebuah robot dengan kecerdasan buatan, pun bahkan tidak bisa membedakan apakah dirinya manusia atau hanya mesin.
Mungkin Elon Musk benar, bahwa dunia hanya ilusi. Para ilmuwan kini sedang meneliti lebih lanjut mengenai pernyataannya bahwa kemungkinan kita hidup di dunia simulasi.
Sebut inovator populer ini, game pada akhirnya tidak dapat dibedakan dari kenyataan. Kita kemungkinan besar dalam simulasi. Dan seorang astrofisikawan bernama Neil de Grasse Tyson menyetujui pernyataan Elon Musk dan dia tak punya alasan untuk menolaknya.
Satu lagi, penulis sekaligus pembawa acara TV Closer to Truth, Robert Lawrence Kuhn menyabdakan, dunia nyata yang selama ini menjadi tempat tinggal manusia tidak pernah ada.
Meskipun terdengar halu, teori itu telah didukung oleh banyak ilmuwan dari universitas-universitas terkemuka dunia. Yang pertama adalah filosof Nick Bostrom dari Universitas Oxford, yang menyebut hidup kita tak ubahnya seperti film Matrix. Bedanya, manusia tidak butuh alat bantuan yang ditancapkan ke otak untuk bisa masuk dalam dunia ilusi 'Matrix', sebab seluruh tubuh manusia sejak awal sudah masuk dalam ilusi.
2,500 tahun lalu, penunggu Acropolis bernama Plato, pernah bilang bahwa yang kita lihat sebagai dunia hanyalah bayang-bayang di dalam gua. Dan 1.400 tahun lalu, al Quran menegaskannya dalam al Ankabuut (29): 64: “kehidupan dunia ini adalah senda gurau dan permainan (game) belaka. Kehidupan akhiratlah yang nyata kalau mereka mengetahui.”
Manusia pada hakikatnya adalah ruh yang sedang transit, bukan semata lompatan atom dan molekul serta reaksi kimia di antara mereka. Tubuh kita hanyalah susunan atom, dan alam semesta hanyalah vibrasi energi. "Apa yang kita sebut kenyataan sebenarnya adalah ilusi, meskipun berlangsung terus menerus," kata Albert Einstein.
Setidaknya kita sedang dalam ilusi besar dan simulasi berulang dengan pola yang sama. Bahkan dalam cara pandang Teori Konspirasi, bahwa kita sedang hidup dalam ilusi yang diciptakan segelintir orang. Dalam bernegara kita sedang dalam ilusi yang didramakan oleh oligarki, yang terus berulang dengan sirkus pemilu. Kita selalu berpikir bahwa demokrasi itu nyata. Mungkin secara teknis demikian adanya, tapi itu hanya ilusi yang entah sampai bila. ~MNT
Comments