Makalah: Jejak Bahasa Indonesia dari Kepulauan Riau (Tinjauan Akademis)
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Disampaikan dalam Diskusi Kelompok Terpumpun Asal Usul Bahasa Indonesia di Hotel Novotel, Jakarta pada 4 – 5 Desember 2020
Pembuka
Saya tidak dapat meragukan bahwa bahasa berasal dari imitasi dan
modifikasi, dibantu oleh isyarat dan gerakan, terhadap berbagai suara alam,
suara binatang lainnya, dan teriakan naluriah manusia sendiri. — Charles Darwin, 1871. The Descent of Man, and Selection in Relation to
Sex.
Kecuali sebelum dimulainya revolusi kognitif, bukanlah sesuatu yang mendesak untuk menyelidiki tonggak sejarah (milestone) sebuah bahasa.
Menurut Max Muller, bahasa adalah kata seru emosional dari rasa sakit,
terkejut, senang, dan apa saja. Tidak jauh berganjak dari itu, apakah
proto-bahasa kaum fosil hingga milenial.
Dan Noam
Chomsky dalam teori bahasa menyebut, satu-satunya perubahan yang dibutuhkan
adalah kemampuan kognitif untuk membentuk dan memproses struktur data rekursif
dalam pikiran. Hal ini
dikarenakan bahasa bukanlah sebuah adaptasi terpisah tapi sebuah aspek internal
yang lebih luas—dinamakan, kultur simbolis manusia secara keseluruhan. (Knight, C. 2010. The origins of symbolic culture. In Ulrich J. Frey,
Charlotte Störmer and Kai P. Willfuhr (eds) 2010.
Artinya
bukan soal di belahan bumi di mana mereka tinggal, karena setiap kosa kata yang
meluncur hanyalah tentang kesepakatan. Dan setiap kosa kata bisa melompat
bebas, dari satu negeri ke negeri lainnya, mengisi dan bertukar.
Berdasarkan
situs Ethnologue, ada 7.000 bahasa di dunia yang digunakan oleh tujuh miliar manusia.
Pemilik bahasa terbanyak adalah Papua Nugini dengan 839 bahasa, lalu Indonesia
700 bahasa dengan 127.000 kosa kata (2018), disusul Nigeria dengan 520 bahasa.
Ajaibnya apa? Indonesia disatukan oleh bahasa nasionalnya sendiri, sedangkan
dua lainnya meminjam legasi kolonial Britania Raya.
Sudah
selesai di sini, bahwa bahasa yang berfungsi sebagai perekat para umat itu
adalah Lingua Franca. Inggris dan Melayu adalah Lingua Franca.
Tidak akan selesai bila kita memulai pertanyaan sesiang ini, bahasa Melayu mana
yang digunakan sebagai bahan baku Bahasa Indonesia?
Sama
nadanya dengan bertanya dari mana munculnya bahasa Inggris pertama sekali?
Apakah Anglo-Saxon, Londoner Sungai Thames atau Frisia? Tidak ada jawaban setajam
matematika kecuali hanya mengantarkan
kita kepada proto-bahasa yang sudah memosil.
Menyepakati Charles Darwin bahwa
bahasa berasal dari imitasi dan modifikasi, siapa kemudian yang dapat secerdas Sherlock Holmes, apa yang sudah diimitasi, apa yang sudah
dimodifikasi dari bahasa dan oleh siapa?
Leon
Trotsky menulis beberapa saat sebelum ia dibunuh:
Jika kita mereduksi
materi menjadi sekadar pengalaman dalam makna empirik yang sempit, maka mustahillah bagi
kita untuk sampai pada penilaian apapun mengenai asal usul berbagai spesies atau, lebih muskil lagi, tentang bagaimana kerak
bumi terbentuk. Dengan cadas Trotsky berseru, peremehan kaum empiris terhadap silogisme adalah bentuk primitif dari
pemikiran dialektis.
Sebelum melanjutkan tulisan ini,
saya hanya ingin menggarisbawahi, apa yang kita sibukkan pada pertemuan ini
menjadi superfisial bila digerakkan oleh spirit geopolitik pada bahasa. Seperti ujaran Hans J. Morgenthau, geopolitik adalah teori yang tidak pernah didasarkan atas ilmu pengetahuan untuk tidak
mengatakan sebatas ilmu semu (pseudoscience).
Bila kita ingin sepakat bahwa
sejarah (bahasa) adalah bagian dari teori, maka kata Morgenthau, ia harus memenuhi uji ganda (dual test)
yakni empiris dan logis
Pendekatan Logika
Kita sedang berada di dalam
pendapat umum dari kaki tangan sejarah bahwa bahasa Indonesia berasal dari
bahasa Melayu Riau. Belum ada yang menegasikan teori ini, Riau __yang secara
historis adalah juga Kepulauan Riau__ merupakan bagian dari imperium Malaka
sebagai pusat Kesultanan Melayu terbesar dalam sejarah.
Bahasa Melayu Riau sebagai hulu
bahasa Indonesia telah diterima secara penalaran umum, melewati suatu proses
dialektika. Memenuhi suatu standar untuk masuk ke dalam logika dialetik. Bukan
pula mulanya orang Riau sendiri tersorong-sorong untuk mengumumkan kepada
dunia, bahwa bahasa Indonesia berasal mula darinya.
Ini adalah hasil hipotesis dari
pihak di luar sana, bertemu antara logika dan timbunan fakta empiris yang keras
kepala. Sangatlah penting
untuk mendapatkan pemahaman holistik atas objek sebagai satu sistem yang integral, bukan sekadar pecahan-pecahan yang saling terisolasi satu dari lainnya.
Logika dialektik adalah tangan terbuka
untuk silih bergantinya tesis dan antitesis. Namun bila ada sodoran fakta lain
untuk menegasikan teori sejarah secara hitam dan putih, maka artinya logika
dialektik yang menjadi wacana kekaguman para pemikir kontemporer sedang ingin
ditidurkan. Saya harus membuka kitab tua logika formal untuk mengimbanginya, semacam
kemunduran __atau bentuk primitif__dari logika dialektik.
Logika formal dengan penalarannya yang ketat menuntut segala sesuatu di bumi ini untuk diuji di hadapan Mahkamah Agung
Silogisme. Dalam aturan bakunya penalaran deduktif
harus mendahului penalaran induktif. Yang lebih awal muncul ke permukaan adalah
teori bahwa bahasa Indonesia berasal dari rumpun bahasa Melayu Riau.
Berdasarkan basis metode deduktif yang
bergerak dari silogisme yang lebih umum melalui sejumlah premis menuju satu
kesimpulan yang sewajarnya. Maka Malaka dan sekitarnya
sebagai episentrum bahasa Melayu adalah sebuah premis mayor.
Kemunculan fakta baru atau sesuatu
yang dianggap fakta, atau abtraksi empiris, mau tidak mau adalah sebuah bentuk
penalaran induktif. Penalaran induksi
memiliki korelasi yang rapuh
terhadap konklusi atau teori yang ingin dibangun. Dari
serangkaian fakta, betapapun banyak dan besarnya fakta tersebut, namun sesungguhnya tetap tidak pernah diperoleh
atau disimpulkan suatu kebenaran umum (general truth).
Merunut kepada rantai silogisme serta kompleksitas
linguistik yang mengiringinya, maka pendekatan yang paling
logis yang menjadi alasan bahasa Melayu Riau dipakai sebagai bahasa
Indonesia adalah karena ia
berfungsi sebagai lingua franca, atau bahasa
penghubung antar etnik.
Dari Peter
L Patrick dari Universitas of Essex (2014) disebutkan, lingua franca
berasal dari bahasa Latin yang artinya bahasa bangsa Franca. Adalah sebuah
istilah linguistik sebagai bahasa pengantar atau bahasa pergaulan di suatu
tempat di mana terdapat penutur bahasa yang berbeda-beda.
Bahasa Melayu Riau berada di tapal batas yang logis baik ditinjau dari pendekatan fonologis, morfologis, semantik dan sintaksis terhadap sebuah
bahasa terakhir sebelum ia bertransformasi ke dalam Bahasa Indonesia. Dari
pertama, bahasa itu terus dipakai hingga saat ini baik
secara teks dan verbal, tanpa melakukan penyempitan atau berganti dengan dealek
lainnya.
Bahasa Melayu Tinggi atau Melayu standar, telah menyebar
di Riau Pesisir dan Kepulauan Riau yang secara historis menyatu dengan
episentrum lingua franca yakni pusat dagang
abad pertengahan Malaka yang setanding dengan Venesia (sebelum dan sesudah
Alfonso Albuquerque) dan pusat dagang pra-modern Singapura (sebelum dan sesudah
Thomas Stamford Raffles).
Kedua
bandar dagang ini diakui secara internasional, tidak berdasarkan asumsi-asumsi
lokal, dan menempelkan kedigdayaan bahasa hanya kepada siklus historis sebuah
imperium atau aksioma-aksioma. Adalah sangat logis bila episentrum lingua franca adalah sepanjang jalur Selat Malaka.
Semua kontak dagang antara bangsa dan segala urusan perniagaan harus
dilakukan di kota Malaka. Siapapun yang mengusai kota Malaka pasti bisa
mengalahkan kehebatan Venesia. ___Duta Besar Portugal, Tome Pires dalam karya besarnya berjudul Suma Oriental (1515).
Lepas dari
rantai sejarahnya yang panjang, bahasa Inggris modern pertama sekali
dipopulerkan oleh William Shakespeare dan penulis ternama Abad Pertengahan
seperti Geoffrey Chaucer, dengan karyanya yang terkenal The Canterbury
Tales. Namun bukan ini penentu yang
mengantarkan bahasa Inggris menjadi lingua franca dunia.
Jauh ke belakang, Beowulf ditemukan
sebagai manuskript tertua bangsa Anglo Saxon yang ditulis dalam bahasa Inggris kuno, berkisah
tentang kepahlawan bangsa Skandinavia. Tidak
berarti bahwa bahasa Inggris dikembangkan dan dijadikan dasar lingua franca oleh bangsa Skandinavia.
Lipatan-lipatan sastra kuno tidak cukup kuat untuk mencampuri perkembangan alami sebuah bahasa.
Karya-karya mereka sangat terbatas dan hanya dibaca sangat sedikit manusia yang
punya kemampuan literasi. Karya sastra tetaplah jalan sunyi
dan bahkan ia adalah lorong sempit yang gelap, ketika Johannes Gutenberg belum menemukan mesin cetaknya.
Demikian
pula Hamzah Fansuri, seorang penyair sufistik abad 16 dari Barus, Sumatera
Utara (sebelumnya di bawah Aceh Darussalam). Kita bisa memulai sebuah
pertanyaan logis, siapa pembaca karya sastra ketika itu, atau lebih tepatnya
siapa yang bisa membaca? Apakah ia ada di setiap perahu yang berlayar? atau di
setiap pelana kuda para kelana?
Lingua Franca bekerja
secara pragmatis yang mengedepankan efektivitas untuk mengoneksi antar orang dengan cepat dan melibatkan banyak suku bangsa sebagai pengguna.
Mengamati syair-syair Hamzah Fansuri, beliau memang menggunakan
bahasa-bahasa Melayu tinggi atau Melayu standar, namun itu
tidak membuktikan bahwa bahasa tersebut tumbuh di sekitar dirinya, dengan mengingat bahwa bahasa Melayu tinggi adalah bahasa
kalangan penyair, terutama penyair di lingkar istana serta bahasa ilmu
pengetahuan.
Kemudian Bukhari al-Jauhari dari
Kerajaan Pasai yang antara lain menulis kitab Mahkota Segala Raja (1603) dedikasikan
sebagai kitab pegangan para raja-raja Islam di Nusantara. Atau kitab fikih Sirat
al Mustaqim karya Nuruddin ar-Raniri yang kemudian tersebar luas hingga ke
Semananjung Tanah Melayu. Semua ini mempersyaratkan penulisan naskah tersebut
dalam bahasa Melayu Tinggi.
Saya belum
tahu apakah bahasa syair Hamzah Fansuri dkk juga dulunya digunakan di Aceh Darussalam atau Barus, dan apakah masih
sama? Bila tidak, berarti Hamzah Fansuri ketika itu sedang menggunakan lingua franca, bukan bahasa
setempat. Hamzah Fansuri bukanlah antitesis, tapi justru bagian dari tesis. Karena
menurut pakar bahasa Noam Chomsky, setiap
bahasa akan memenuhi teori keberlanjutan, sebagai bahasa ibu lewat pola asuh (nurture)
maupun interaksi lingkungan secara alami (nature).
Bagi kami masyarakat Riau __dalam
legal formal disebut Kepulauan Riau__, hampir tidak ada bedanya antara bahasa
Melayu yang kami gunakan (mother tongue), dengan bahasa Indonesia. Yang
membedakannya hanyalah dealek, sama halnya dengan aksen British dengan aksen
Amerika atau Australia. Bahwa ia tetap saja bahasa Inggris.
Bahasa Indonesia telah menemukan
jejaknya di terlalu banyak tempat di Riau baik kepulauan, pesisir timur maupun
sebagian kecil daratan Sumatera. Bahasa Indonesia dengan mengabaikan perbedaan
aksen telah digunakan secara tradisional maupun resmi di lima negara serumpun,
Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunai, dan Thailand Selatan.
Dengan ini
kami mengaku menyokong dan menggunakan bahasa Melayu dalam segala lapangan,
serta akan mengembangkan bahasa Melayu dengan apa cara jua untuk menunjukkan
kasih dan taat setia kami kepada Sultan dan Negara. Dengan itu, maka kami
berikrar akan membuktikan sokongan – sokongan kami dengan sebenar-benarnya
dengan tidak berbelah bahagi. ___Dilafazkan serentak di seluruh
tanah air oleh rakyat Brunai pada hari Isnin, 21 Safar 1382 bersamaan dengan 23
Julai 1962 pada pukul 4:50 petang. (DR. Haji Hashim Bin Haji Abd. Hamid, Universitas
Brunei).
Fakta ini memenuhi unsur logisnya
sebagai lingua franca yang sejalan dengan teori keberlangsungan dan
ketersebaran yang masif melingkari lokus awalnya, serta dinamika
keterjagaannya, sesuatu yang sulit terjadi di pesisir barat Sumatera seperti
Barus.
Saya ingin menegaskan, bukan gulungan-gulungan sastra kuno yang menciptakan lingua franca, tapi adalah mobilitas dan intermediasi antar ribuan manusia secara
alami. Seperti bahasa Inggris melewati dua fase penting yakni kolonialisasi
imperium Britania Raya ke separuh dunia dan Amerika Serikat sebagai ibukota
dunia.
Demikian
pula Melaka, ribuan manusia dari ras Asia sudah bertumpuk-tumpuk di sini sejak
abad 15, serta memiliki hubungan diplomatik yang sangat erat dengan Imperium
Usmani di Konstatinopel (Turki).
Selain itu,
pada abad ke-16, seorang ilmuan Belanda Jan Huygen van Linschoten,
yang berkunjung ke Nusantara menyebut “...die in Indie deze spraak niet kan,
die mag niet mee, gelijk bij ons het Fransch, yang artinya, “...siapa di
Hindiia (Indonesia) tidak tahu bahasa ini, dia tiada boleh mengikut, seperti
pada kita bahasa Perancis”__Sutan Takdir Alisjahbana (1933).
Menurut Ahwandi Syahri, penulis dan
peneliti arsip-arsip bersejarah di Kepri, bahasa Melayu telah memenuhi
sebagian Nusantara juga didorong peran kolonial Belanda yang menganjurkan
bahasa Melayu dialek Riau sebagai bahasa pengantar di ruang akademis, forum-forum
dan sekolah-sekolah.
Traktat London (1824) sebagai
perjanjian bilateral antara dua kolonial Inggris dan Belanda, memang mampu
memisahkan antara Indonesia, Malaka, dan Singapura namun tidak bahasanya. Hanya
terjadi sedikit utak atik lalu ia menjadi Bahasa Indonesia. Sementara bahasa
Malaysia dan Singapura pada perkembangan lanjutan lebih banyak dipengaruhi oleh
pengucapan cara British.
Dalam
pendekatan yang logis pula, saya coba menghindari penyebutan jejak bahasa
Indonesia di Kepulauan Riau di
belakang tahun 1928, atau ketika nama Indonesia pertama kali muncul hasil
temuan James
Richardson Logan dan George Samuel Windsor Earl pada 1850, di sebuah majalah ilmiah
tahunan, Journal of the Indian
Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang terbit di Singapura.
Pendekatan Empiris
Ketika Tome Pires menulis Suma Oriental (1515) yang
membuktikan kebesaran bandar Malaka melebihi Venesia, Venesia sedang redup dan berakhir sebagai museum sejarah oleh
gelombang politik tak tentu. Sejak 1050 Venesia telah berkembang dalam satu
abad yang cepat menjadi kota sebesar Paris dan tiga kali lebih besar daripada
London.
Menurut
James A Robinson (2012), pada 1082 Venesia memiliki hubungan dagang yang sangat
erat dengan Imperium Ottoman (Usmani), yang dalam waktu singkat di
Konstantinofel (Turki) telah dibangun pemukiman Venesia yang dihuni sekitar 10 ribu warga.
Venesia
lalu melejit menjadi penguasa tunggal perdagangan rempah, budak dan manufaktur
berkualitas tinggi di sebentang Mediterania.
Kita dapat
mengatakan bahwa Venesia, Konstantinofel dan yang termuda Malaka, adalah
negeri-negeri jaya di masa lalu. Bila laju sejarah bergerak secara linier, maka
ketiga kota ini akan berada di puncak peradaban dunia. Dapat dibayangkan
seberapa besar dan sibuknya Malaka ketika itu, sehingga Tome Pires menyebutnya
bisa mengalahkan Venesia yang sebesar Paris.
Malaka
adalah negeri yang paling dirindu pada Abad Pertengahan. Sebelum disebut-sebut,
selain Ibnu Batutah dari Maroko yang menjangkau Samudra Pasai (1345), hanya
Marco Polo pada 1292 -kebetulan orang
Venesia- yang sempat bersinggungan dengan Malaka ketika menyusuri Jalur Sutra
menuju Tiongkok.
Bartolomeus
Diaz seorang penjelajah Spanyol hanya sampai ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan
pada 1488. Sedang armada Portugal Vasco da Gama hanya bertapak di India pada
1498.
Malaka
adalah bandar etalase rempah. Tujuan utama misi Eropa sebenarnya adalah hulu
rempah dunia yakni Maluku dan Kepulauan Banda. Hanya Dinasti Ottoman yang
memiliki akses ke sana, lalu menjadikan Malaka sebagai pangkalan dagang Asia
dan Venesia untuk Eropa.
Begitu
kekuasaan Ottoman berakhir, Eropa memutuskan untuk mencarinya sendiri. Armada
pencarian rempah pun dimulai. Alfonso de Albuquerque dari Portugal berlayar ke
Timur, tapi Christoper Columbus dari Italia -dengan doktrin bumi bulat- memulai
pelayaran ke Barat.
Dalam buku Why
Nation Fail (2012) yang ditulis Daron Acemoglu disebutkan, Columbus tiba di
Amerika pada 12 Oktober 1492 dan sepanjang hayatnya menduga bahwa Amerika
adalah Malaka atau Kepulauan Rempah. Ia didanai Ratu Isabella dari Kastilia
Spanyol setelah sang ratu berhasil merampas Andalusia dari imperium Ottoman.
Sementara Alfonso tiba di Malaka pada 1511 dan merampas daulat Sultan Mahmud
Syah.
Di Malaka
lah bahasa Melayu pesisir menjadi lingua franca. Selain sebagai kota
kapitalis klasik, Malaka sekaligus segitiga antara India dan Tiongkok.
Jika bangsa
India dan Tionghoa bertemu, mereka akan berbicara dalam bahasa Melayu Semenanjung. Bila kini Bahasa Inggris sebagai lingua franca berlaku masif di
lintas lima benua, dahulu berlaku secara regional, kawasan Asia Tenggara
dipegang oleh bahasa Melayu.
Seperti dikutip dari Prof. DR.
Teuku Hj. Ibrahim Alfian dari Universitas Gajah Mada, melalui suatu proses yang
memakan waktu berabad-abad lamanya terbentuklah bahasa perhubungan di Kepulauan
Nusantara yang memungkinkan orang untuk berkomunikasi antar sesama suku bangsa
di Nusantara dan antara suku-suku bangsa itu dengan bangsa-bangsa asing melalui
lingua franca yang kemudian dikenal dengan nama bahasa Melayu.
Menurut Ch.
A. van Ophuijsen (1910), Mees (1957,16), dan Collins (2011, xvii), bahasa
Melayu telah lama dikenal dan memainkan peran istimewanya sebagai bahasa
internasional, sekurang-kurangnya sejak abab ke-7 pada masa Kemaharajaan
Sriwijaya dan terus meningkat sampai masa Kesultanan Riau Lingga (1824-1913).
Keistimewaan itu menurut Peneliti Bahasa Melayu DR Abdul Malik, MPd, disebabkan
oleh pesebarannya sangat luas di Asia, khasnya Asia Tenggara, sehingga menjadi
satu dari lima bahasa yang memiliki jumlah penutur terbanyak di dunia.
Selain itu,
Abdul Malik menyebut, faktor yang paling menentukan adalah bahasa Melayu Tinggi
memiliki kewibawaan sebagai bahasa diplomasi utama dan satu-satunya digunakan
oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Secara
intrabahasa, bahasa Melayu menarik perhatian bangsa asing karena bunyinya yang
merdu. Kemerduan bunyi itu disokong oleh kesantunan pengucapannya (van
Ophuijsen). Setiap bahasa yang santun memang menghasilkan bunyi yang indah.
Karena terpikat oleh keindahannya itu pulalah, seorang pakar bahasa Universitas
Beijing, China, menyediakan dirinya untuk mempelajari bahasa Melayu sampai 50
tahun tanpa henti. Kegiatan belajar dimulai dengan mendengarkan radio siaran
Indonesia dan Malaysia sehingga mengantarkan beliau menjadi pakar (profesor)
bahasa Melayu. __Abdul Malik, Memartabatkan Bahasa Melayu ke Persada Dunia (2018).
Bahasa Melayu yang jadi cikal
bakal bahasa Indonesia berakar dari rumpun bahasa Austronesia. Menurut
sejarawan Leonard Y. Andaya, teori asal-usul bahasa Melayu dan penuturnya yang
paling masyhur dikemukakan oleh arkeolog Peter Bellwood dan linguis Robert Blust.
Bentuk paling purba bahasa ini yang disebut Proto Melayu-Polinesia diperkirakan
mulai berkembang di Filipina sekitar 2500 tahun sebelum masehi.
Sekitar 2000 SM, bahasa Proto
Melayu-Polinesia berkembang jadi cabang-cabang bahasa baru seiring dengan migrasi
para penuturnya ke Nusantara. Lalu sekitar 1500-500 SM, di Kalimantan bagian
barat berkembang lagi rumpun bahasa Melayu-Cham yang diperkirakan sebagai nenek
moyang langsung bahasa Melayu. Beberapa ratus tahun sebelum era Masehi,
orang-orang berbahasa Melayu-Cham ini lantas bermigrasi ke daerah Semenanjung
Malaya melalui Kepulauan Riau.
“Dari Semenanjung Malaya, satu
kelompok menyeberang ke Sumatra Tenggara dan menjadi nenek moyang para penutur
bahasa Melayu, sedangkan kelompok lain bermigrasi ke Vietnam lantas menjadi
nenek moyang para penutur bahasa Cham,” tulis Andaya dalam Selat Malaka: Sejarah Perdagangan dan Etnisitas (2019, hlm. 3-4).
Bahasa Melayu yang paling kuno
berkembang seiring dengan tumbuhnya kebudayaan maritim para penuturnya. Mereka
membangun komunitas di pesisir dan tepian sungai. Selama berabad-abad,
komunitas penutur ini saling berjejaring dan menjadikan bahasa Melayu Kuno
sebagai basantara (bahasa perantara) untuk berkomunikasi. Oleh karena itu,
bahasa ini juga berkait erat dengan geografi persebaran penuturnya.
Wilayah interaksi para penutur
bahasa Melayu Kuno ini disebut Andaya sebagai Laut Melayu. Istilah ini mengacu
pada sebuah kronik Arab bertarikh sekitar 1000 M. Kronik itu menyebut tentang
“Laut Melayu, yang mendekati Cina”. Lalu, sebuah kronik lain dari abad ke-17
menyebut lagi bahwa Laut Melayu adalah laut di antara Semenanjung Melayu dan
Sumatera, sehingga bisa diinterpretasikan sebagai Selat Malaka.
Keterangan-keterangan ini
jelas menunjukkan hubungan erat antara komunitas penutur bahasa Melayu dengan
dunia kelautan. Oleh karena itu, Andaya memberi pengertian bahwa Laut Melayu
mengacu pada serangkaian komunitas yang terhubung melalui jaringan ekonomi dan
budaya yang intens.
Lingua Franca di Hulu Riau, Sungai Carang
Setelah Malaka redup, episentrum lingua franca pernah bergeser ke Hulu Riau, Sungai Carang, yang kini berada dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Menurut Budayawan Rida K Liamsi, Sungai Carang adalah harta karun sejarah kerajaan Melayu Riau-Lingga. Rida yang menginisiasi helat tahunan Festival Sungai Carang (2014) berseru, Sungai Carang menyimpan jejak kebesaran peradaban Melayu Riau pada masanya. Di sini pulalah bahasa Melayu Riau membuktikan kedigdayaannya.
Dedi Arman dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri, mengangkat tulisan berjudul Sungai
Carang dalam Historiografi Indonesia. Disebutkan, ada sejumlah
historiografi tentang Hulu Riau (Sungai Carang) yang dapat mengambarkan
bagaimana kondisi dan kegemilangan Hulu Riau pada masanya.
Buku Sejarah Indonesia Modern
1200-2008 (edisi revisi 2008) ditulis M.C Ricklefs menjadi buku bacaan wajib
mahasiswa Sejarah dan siapa saja yang ingin mengetahui sejarah Indonesia dari
masa ke masa. Dalam buku ini, Ricklefs juga menulis tentang Sungai Carang yang
dalam bukunya disebut dengan nama: Riau. Pada halaman 15 ditulis tentang
Indonesia Bagian Barat 1640 - 1800.
Pada tahun 1687 terlihat ada 500 - 600
kapal dagang ada di Riau (Hulu Riau). Kapal dagang itu berasal dari Siam, Aceh,
Inggris, Portugis dan Cina. Riau pelabuhan dagang yang menjanjikan. VOC Belanda
membutuhkan Riau yang makmur. Eskpor timah dan lada maju begitu pesat.
Banyak cara agar pelabuhan Riau maju.
Kapal-kapal Cina dan Jawa yang menuju Malaka dipaksa pihak kesultanan merapat
ke Riau. Riau terus menjadi pusat perdagangan yang maju dan VOC tak bisa
mengontrol. Meski tak banyak, dalam buku Sejarah Indonesia Modern ini tergambar
ramainya Hulu Riau sebagai pusat perdagangan yang terbukti dengan banyaknya
kapal dagang yang bersandar di sana.
Karya lain yang bercerita tentang
Hulu Riau adalah Buku Sejarah Johor tulisan Haji Buyong Adil (1971). Dalam
bukunya disebutkan, Laksamana Tun Abdul Jamil membuka Sungai Carang di Pulau
Bentan dan dinamakan Riau. Keterangan orang Belanda, Pieter Willemz dan Jan
Meine, laksamana sangat disayangi sultan. Laksamana yang membantu Belanda dalam
melawan Portugis di Malaka.
Pesatnya perdagangan di Riau
digambarkan Gubernur Thomas Slicher yang menulis surat ke Betawi (Jakarta)
tahun 1687. Pelabuhan Riau saat itu sulit dilewati karena banyaknya kapal
dagang yang berlabuh di sana. (hal.51). Sultan menggunakan orang laut sebagai
pasukan yang setia. Melindungi kapal-kapal yang berlayar ke Riau. Orang laut
juga setia dan bisa digunakan untuk menyerang kapal asing yang mencurigakan di
Selat Malaka. Selain itu, pedagang tertarik ke Riau karena menjual menjual
timah diganti setengah uang dan setengahnya lagi kain.
Leonard Y Andaya dalam
bukunya Sejarah Johor juga banyak mengupas tentang Riau. Disebutkan,
Riau mulai berperan dalam aktivitas perdagangan sejak ramainya perdagangan di
Kerajaan Johor tahun 1687. Kerajaan Johor berdiri tahun 1641, saat berhasilnya
penaklukan atas Malaka yang dikuasai oleh Portugis. Dengan bantuan Belanda,
Malaka dapat direbut dan saat itu mulai dibentuk pemerintahan baru dengan nama
Kerajaan Johor. Saat itu pusat pemerintahan terletak di Sungai Johor.
Pada tahun 1687,
kota-kota di sepanjang Sungai Johor dan Riau, yang pada masa itu merupakan
wilayah dari Kerajaan Johor ramai dengan kegiatan perdagangan. Gubernur Thomas
Slicher Malaka dalam suratnya ke Betawi pada bulan Mei 1687 memberikan gambaran
di atas sebagai berikut:
“Bilangan kapal yang berlayar ke Riau begitu besar sehingga sungai itu
sukar untuk dilalui akibat dari pada terlalu banyaknya kapal-kapal dagang.
Pedagang-pedagang tertarik ke Riau disebabkan oleh Managierse Aequipagenya.
Disini para pedagang timah dibayar setengah dengan duit content dan setengfah
lagi dibayar dengan kain, sedangkan di Malaka mereka itu diberikan apa saja
jenis kain yang ada dan bukannya jenis kain dengan corak yang terbaru seperti
di Riau.
Bahasa Melayu Riau yang Bermula di Pulau Penyengat
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), DR. Abdul Malik. M.Pd menegaskan, Pulau Penyengat sebagai tempat lahirnya bahasa Indonesia, dan Bahasa Melayu yang menjadi akar bahasa persatuan,
Yang
dinamakan bahasa persatuan itu, bukanlah bahasa sembarangan. Sehingga
memerlukan standarisasi bahasa, yang sudah lebih dulu dilakukan oleh Raja Ali
Haji bersama para intelektualnya, sebutnya.
Menurut
Malik, Raja Ali Haji yang tahun 2004 ditetapkan sebagai Pahlawan Bahasa
Indonesia berasal dari Pulau Penyengat. Raja Ali Haji telah melakukan
kodifikasi Bahasa Melayu sehingga dikenal luas seperti sekarang ini.
Malik yang
juga budayawan dan penulis beberapa buku tentang Melayu tersebut mengaku, bukti
kodifikasi atau pembinaan bahasa Melayu yang dilakukan Raja Ali Haji bersama
para intelektualnya di Pulau Penyengat tampak dari beberapa buku karya Raja Ali
Haji itu sendiri.
Seperti Bustanul
Katibin yang berisi tentang tata bahasa Melayu, Kitab Penyatuan Bahasa
atau kamus. Kemudian diikuti oleh Haji Ibrahim yang menulis buku tentang asal
usul kata (etimologi). Raja Ali Kelana dengan karya berupa buku tentang bentuk
kata (morfologi) dan makna kata (semantik). Serta karangan Abu Muhammad Adnan
tentang pengajaran bahasa.
Selain itu,
beragam surat dari Pakar Bahasa Belanda, Von De Wall kepada Raja Ali Haji juga
ditemukan di pulau Penyengat. Selain
ditemukannya surat, Pemerintah Belanda pada waktu itu juga mengirim pakar
bahasa Belanda seperti Von de Wall ke Penyengat menjumpai Raja Ali Haji untuk
membuat kamus bahasa Belanda – Melayu dan Melayu Belanda serta tata bahasanya.
Diikuti
dengan datangnya H. C. Klinkert untuk memperbaiki bahasa Melayu Injil, lalu menurut
Malik, Guru besar bahasa berkebangsaan Belanda, Ch. A. van Ophuijsen menyatakan
bahasa Melayu yang baik itu dari Pulau Penyengat.
Menurut Malik van Ophuijsen mengatakan bahwa Bahasa Melayu yang paling baik dan benar
itu berasal dari Penyengat dan Lingga, sehingga kemudian beberapa tokoh Belanda datang ke Penyengat untuk mempelajari Bahasa
Melayu.
Dukungan
yang sama kata Malik, juga diungkapkan mantan Presiden RI ke-4 Abdurrahman
Wahid yang mengatakan “Tanpa jasa Raja Ali Haji kita tidak akan mungkin jadi
bangsa yang bersatu”.
Malik berpendapat, bahasa Melayu itu bermacam-macam, namun untuk bahasa Melayu tinggi
atau bahasa Melayu yang digunakan menjadi bahasa Indonesia itu adalah bahasa
Melayu yang telah dibakukan oleh Raja Ali Haji di Pulau Penyengat.
Hal ini
membuktikan bahwa, Bahasa Melayu yang kini digunakan menjadi Bahasa Indonesia,
merupakan Bahasa Melayu yang di bina oleh Raja Ali Haji di Pulau Penyengat dan
bukti-bukti terkait bahasa Melayu di Pulau Penyengat itu masih ada.
Lingua Franca dari Perspektif Sutan Takdir Alisjahbana
Seperti termuat dalam National
Geographic, bahasa Melayu diketahui
sebagai akar dari lingua franca Indonesia. Sutan Takdir Alisjahbana,
dalam bukunya mengutarakan bahasa Melayu memiliki kekuatan untuk merangkul kepentingan
bersama sehingga untuk dipakai di Nusantara.
Menurut
Alisjahbana, persebarannya juga luas karena bahasa Melayu dihidupi oleh para
pelaut pengembara dan saudagar yang merantau ke mana-mana. “Bahasa itu adalah
bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh di kalangan penduduk Asia Selatan,”
tulisnya. Faktor lain, bahasa Melayu adalah bahasa yang mudah dipelajari.
Pada era
pemeritahan Belanda di Hindia, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi
kedua dalam korespondensi dengan orang lokal. Persaingan antara bahasa Melayu
dan bahasa Belanda pun semakin ketat. Gubernur Jenderal Roshussen mengusulkan
bahasa melayu dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat.
Meski
demikian, ada pihak-pihak yang gigih menolak bahasa Melayu di Indonesia. Van
der Chijs, seorang berkebangsaan Belanda, menyarankan supaya sekolah
memfasilitasi ajaran bahasa Belanda. JH Abendanon yang saat itu Direktur
Departemen Pengajaran, berhasil memasukkan bahasa Belanda ke dalam mata
pelajaran wajib di sekolah rakyat dan sekolah pendidikan guru pada 1900.
Akhirnya
persaingan bahasa ini nampak dimenangkan oleh bahasa Melayu. Bagaimanapun
bahasa Belanda ternyata hanya dapat dikuasai oleh segelintir orang. Kemudian di
Kongres Pemuda I tahun 1926, bahasa Melayu menjadi wacana untuk dikembangakan
sebagai bahasa dan sastra Indonesia.
Pada
Kongres Pemuda II 1928, diikrarkan bahasa persatuan Indonesia dalam Sumpah
Pemuda. James Sneddon, penulis terbitan UNSW Press, Australia mencatat pula
kalau butir-butir Sumpah Pemuda tersebut merupakan bahasa Melayu Tinggi.
Sneddon menganalisis dari penggunakan kata ‘kami’, ‘putera’, ‘puteri’, serta
prefiks atau awalan men-.
20 Oktober
1942, didirikan Komisi Bahasa Indonesia yang bertugas menyusun tata bahasa
normatif, menentukan kata-kata umum dan istilah modern. Pada 1966, selepas
perpindahan kekuasaan ke tangan pemerintah Orde Baru, terbentuk Lembaga Bahasa
dan Budaya di bawah naungan Departemen Pendidikan Kebudayaan. Lembaga ini
berganti nama menjadi Lembaga Bahasa Nasional pada 1969, dan sekarang
berkembang dengan nama yang dikenal, Pusat Bahasa. Tanggung jawab kerja Pusat Bahasa antara lain meningkatkan mutu bahasa,
sarana, serta kepedulian masyarakat terhadap bahasa.
Autentikasi Manuskrip dan Keberlanjutan Bahasa Melayu Teks dan Verbal
Seperti dikemukakan Dekan Fakultas Lancang Kuning DR. Junaidi, SS, M. Hum dalam jurnal Naskah Kuno Melayu Riau Sebagai Sumber Penciptaan Karya Sastra Masa Kini (2010), naskah Melayu Riau masih banyak yang belum digarap dan diinventarisasi.
Penjelasan tentang
kegiatan inventarisasi naskah kuno Melayu dapat ditemukan dalam penjelasan UU
Hamidy. Pada tahun 1981 telah dilakukan pencatatan terhadap 166 dari 326 naskah
kuno di Masjid Raya Sultan Riau Pulau
Penyengat. Selanjutnya di tahun 1982 dicatat pula 108 naskah. Masih banyak
naskah yang belum diinventarisasi.
Menjadi rahasia umum sejumlah naskah Melayu kuno milik Indonesia sudah
beralih tangan ke negara tetangga Malaysia, yang dibeli dengan harga tinggi.
Namun pemerintah Indonesia seperti tidak ambil peduli soal pemboyongan cagar
budaya asli tersebut.
Budayawan Riau, Al Azhar mensinyalir,
persoalan pemboyongan naskah kuno Melayu ini sudah berlangsung lama yang
dilakukan warga negara Malaysia. Naskah budaya Melayu yang kini justru menjadi
milik negara Malaysia itu seperti syair, hikayat, dan puisi yang masih
bertuliskan Arab Melayu.
Pemboyongan naskah Melayu ini
kata Al Azhar dilakukan baik secara individu maupun dilakukan para
mahasiswa asal Malaysia. Mereka dengan sabar mencari naskah kuno yang memiliki
sejarah tinggi soal bukti akar budaya Melayu di wilayah Provinsi Kepri.
Pada 1886, Raja Muhammad Yusuf
Al-Ahmadi telah mendirikan sebuah perpustakaan umum di Pulau Penyengat yang
dikenal sebagai Khutub Kanah. Perpustakaan ini menampun 1.200 buku.
Riau (baca: Kepulauan Riau)
pernah menjadi pusat bahasa dan budaya Melayu dalam abad ke 19, yang tak dapat
dilepaskan dari peranan pustaka ini. Apalagi dulu di pulau ini berdiri
perkumpulan cendekiawan Melayu dengan nama Rusydiah Club dilengkapi mesin
percetakan.
Dibandingkan Budi Oetomo yang
berdiri pada 1908, perkumpulan ini telah lebih dulu berdiri pada 1890. Dulu
naskah-naskah ini tersimpan dalam Istana Al-Ahmadi, kediamannya. Namun, kondisi
bangunan istana yang kian memprihatinkan mengakibatkan naskah-naskah ini
dipindahkan ke dalam dua lemari dan diletakkan di Masjid Raya Sultan Riau
Penyengat.
Beberapa sastrawan dari Kepulauan Riau yang dianggap mewarnai sastra
Indonesia modern, antara lain Raja Ali Haji, Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau,
atau Aisyah Sulaiman Riau, yang menjadi pengarang-pengarang ulung. Karya mereka
dibaca, diteliti, dikaji, dan diperbincangkan hingga kini. Deretan nama lainnya
adalah Raja Ahmad, Raja Daud, Raja Hasan, Khalid Hitam, Abu Muhamad Adnan, dan
Raja Ali Kelana.
Dinamika literasi di Kepulauan Riau sejak berabad silam adalah bukti
otentik eksistensi dan keberlanjutan bahasa Melayu Tinggi secara tekstual. Demikian
pula secara verbal, masyarakat Kepulauan Riau nyaris tidak mengenal jenis
bahasa lain yang berbeda secara kosa kata dengan bahasa yang digunakan ke dalam
bahasa Indonesia.
Riau lah yang terus menerus merawat bahasa Melayu Tinggi sejak fase
embrio hingga saat ini. Walaupun bahasa Melayu tinggi sempat pula digunakan
oleh lain-lain negeri untuk kepentingan sastra serta bahasa buku dan keilmuan.
Riau menjadikan bahasa Melayu Tinggi baik untuk kepentingan kesusastraan, ilmu
pengetahuan, dan sekaligus sebagai bahasa keseharian.
Sebagaimana pula orang Melayu Riau, selain sebagai penutur bahasa Melayu
yang taat, di mana-mana dan kemana-mana mereka dengan teguh mengaku sebagai
pemangku adat tamadun Melayu. Tidak ada nama lain bagi Melayu Riau dan
Kepulauan Riau, selain Melayu dan Melayu.
Penutup
Rakyat Brunai Darussalam pada 1962 pernah secara serentak berikrar untuk menyokong dan menggunakan bahasa Melayu dalam segala lapangan serta membuktikan sokongan-sokongan tersebut dengan sebenar-benarnya, tapi etnik Melayu Riau tidak membutuhkan ikrar. Karena bahasa Melayu telah dan akan selalu melekat (inherent) di lidah tiap-tiap orang Melayu Riau.
Tidak ditemukan jejak bahwa rakyat Riau pernah
menggunakan bahasa lainnya yang amat tajam perbedannya, dan kemudian hanya
sesekali memakai bahasa Melayu tinggi untuk kepentingan penulisan naskah atau
bersyair.
Jejak – jejak bahasa Indonesia di Kepulauan Riau
telah dibuktikan secara otentik, dalam konteks keberlanjutan, masif dan
memenuhi teori logis dan empiris tentang tumbuh kembang sebuah bahasa. Riau
tidak membutuhkan serpihan-serpihan naskah parsial untuk membuktikan
kemelayuaannya dalam kontek kebahasaan.
Sebagai penutur setia bahasa Melayu dalam abad demi
abad yang panjang, bukanlah menjadi kerisauan bagi kami, bila sejarah bahasa
kami dicegat dan dibelokkan.Tanpa pengakuan siapa-siapa kami tetaplah penutur
dulu, kini dan nanti. Selamanya. ~MNT
Comments