Ilustrasi: Calmate |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Kita mengalir seperti sungai. Bayi, belia, tua bangka, dan punya batu nisan.
Mengisap puting, bermain tali, memikat pasangan, bersendawa, berdosa dan berupaya
menyogok Tuhan dengan ritual: sebatas takut jilatan api dengan bonus bidadari. Sesekali
mencari muka di hadapan-Nya dengan cara memarahi orang lain.
Tidak ada yang kembali ke jam tujuh tadi pagi, semua kita menuju matahari yang
pergi. Artinya kita mengalir seperti selokan. Kita berharap selokan itu buntu sehingga
ada penundaan. Tetapi tidak, air terus mengalir dan kita menua. Di sepanjang
garis waktu kita, ada kedatangan kekal yang berulang: duka, gembira, hari raya,
dan pemilu.
Ibarat hamster yang berputar di roda dan hanyut bersama sungai. Begitulah
kita, sampai kita bertanya. Tapi kita tidak bertanya. Kita melakukan. Melakukan
pengulangan itu. Sibuk dalam kotak sendiri. Berpeluh di dalam lingkaran
masing-masing. Kita tak peduli soal lingkaran lain, walaupun mereka bekerja bersama
iblis.
Para nenek sihir tenggelam dalam pembicaraan sapu terbang dan kutukan. Para
penebang kayu akan bercakap soal pohon gemuk dan pengasah kapak. Mereka tidak
berupaya menggugat modernitas, atau membongkar teori-teori cacat. Lalu di mana
kita? Apakah kita sebatas binatang ekonomi yang berburu di rimba hedonisme dan sesi
foto di akhir pekan untuk menagih suka di ladang Mark Zuckerberg.
Memangnya kita sempat melacak kemana perginya pajak yang kita bayar. Seorang
pengisap rokok, lebih peduli kepada kenikmatan absurd yang mereka dapat
ketimbang berhitung berapa yang sudah mereka bayar untuk Philip Morris dan
kawan-kawan, serta berapa cukai tembakau yang sudah masuk ke kas Negara.
Perokok berat sebagai misal saja, adalah pemegang saham terbesar di
republik ini, karena mereka adalah pembayar pajak terbesar pula. Mereka paling
berhak untuk mengatur jalannya Negara, mengatur orang-orang yang telah mereka
bayar untuk mengurus negeri ini, sekaligus mengurung semua koruptor yang telah mencuri
uang itu dan semua uang dari laci negara.
Jangan dikira konglomerat lah sebagai pembayar pajak terbesar, justru
mereka telah membebankannya kepada karyawan dan konsumen akhir yakni kita. Atau
semisal pengeruk harta karun milik rakyat dari perut Indonesia dengan bagi
hasil termurah, apa yang kemudian membuat mereka berbeda dari Belanda. Kita yang
asyik memotret makanan, selalu taat membayar pajak restoran dengan tawa ringan seorang
pengecut.
Apakah kita tak ingin bertanya untuk apa pemilu. Untuk apa ritual lima
tahunan dalam demokrasi. Apakah itu pesta demokrasi atau kenduri bagi oligarki.
Demokrasi adalah misi suci yang diapit kapitalisme. There ain't no such thing as a free lunch. Jika mau jadi kandidat, akan
ada ongkos sekian miliar untuk tiap kenderaan partai yang Anda naiki. Levelnya
berjenjang mulai tingkat bupati hingga kandidat presiden. Ingin keluar dari kutukan ini, jadilah ketua atau bikin partai sendiri.
Anda boleh sebaik nabi dan secemerlang Isaac Newton, tapi jika berkantong
kempis dan tak pernah viral, tetaplah di tempat sampai ada keajaiban bak Alice in Wonderland.
Lalu siapa yang sanggup membayar, berikut semua biaya selama proses? Hanya cukong
dan koruptor, kecuali sang kandidat sudah kaya dari sana. Di sini akan terjawab
mengapa demokrasi seiring dengan kapitalisme cukong. Akan terjawab mengapa
kemudian kebijakan – kebijakan lebih
condong kepada pembentangan karpet merah bagi kapitalisme atas nama investasi.
Lalu negeri ini ada dan telah lama ada di dalam genggaman oligarki. Bila
kita bicara tentang lingkaran nenek sihir atau penebang kayu barusan, di sini
ada lingkaran jahat oligarki. Ialah segelingtir saja orang yang berkuasa yang
bicara tentang pengaturan dan pengutamaan jatah kawanan.
Kita tak selalu peduli, bahkan ikut menggelinjang dalam kaos pemilu dan
pesta semu untuk mereka yang kita biayai sendiri sebilang puluhan triliun. Dari
keringat kita sendiri, dari pajak para penghisap rokok. Dari utang turunan yang
ditanggung bayi-bayi.
Entah hingga bila siklus pemilu akan usai dengan membiarkan demokrasi melahirkan
anak kandungnya sendiri. Atau bilakah masa itu akan tiba, sistem ini dikendalikan
secara robotik, dan kita dipimpin oleh kecerdasan buatan dari mesin-mesin
budiman yang tak bisa disuap, dan disuruh-suruh oligarki.
Sebab kita sendiri yang telah menggagalkan sejarah kemanusiaan kita. Kita
lena dalam hanyut yang sama. Kita tak kembali ke jam tujuh tadi pagi, kita menunggu
matahari terbenam, sampai matahari itu padam, menuju ledakan supernova.
Tunggu dulu, memangnya bila matahari padam, kita akan bergegas ke dalam pertobatan pikiran. Tidak, kita hanya akan adu cepat mengirim foto dan videonya ke media sosial, berkabar ke belahan dunia lain yang sedang malam, demi satu kata aneh: viral. ~MNT
Comments