Oleh Muhammad Natsir Tahar
Disebutkan, pikiran manusia melewati tiga fase. Fase teologis adalah yang mula-mula, kemudian menyeberang ke fase metafisis, di sini saat filsafat pertama kali muncul. Lalu kita masuk ke fase positif. Fase yang menolak seluruh teorema yang tidak bisa dijelaskan dengan fakta.
Fase positif disebut juga positivisme, tangan – tangannya seperti tentakel untuk mematahkan semua mitos dan postulat yang gagal menemukan landasan logikanya. Ini sepertinya tidak baik, karena bermaksud memblokade pikiran manusia, dari hal yang transendetal secara teologis dan yang substansial lewat pintu metafisika.
Lalu di mana posisi politik. Disebutkan pula, politik adalah sesuatu yang telah menggantikan filsafat, sesuatu yang dengan sendirinya menjadi paradoks dari filsafat politik. Artinya secara kronologis, politik berada di fase positivisme, walau sempat diasuh sekejap oleh filsafat.
Bila politik adalah tentang kekuasaan, maka pada fase teologis, penguasa adalah mereka yang mendapat mandat langit. Di luar nabi dan para rasul, raja-raja nepotis menyangkutkan dirinya kepada sabda Tuhan, juga kepada dewa-dewi Babilonia dan Olimpus. Di fase ini politik tidak bekerja sampai mereka berdusta soal daulat langit itu.
Di fase filsafat, para filosof klasik menginginkan adanya aristokrasi, yakni kumpulan filosof dan cerdik cendikia untuk mengurus negara, sebagai interupsi langsung terhadap transformasi pikiran dari monarki menuju demokrasi. Demokrasi dianggap menyimpan titik lemah dan memang terbukti kini. Demokrasi tak mampu memperisai dirinya untuk tidak diperalat. Kendati pada fase filsafat, politik sempat bertahan di wilayah esensial, bertema kebebasan dan keadilan.
Di fase positif, politik adalah sebuah piranti untuk melakukan berbagai manipulasi sosial dalam tujuan kekuasaan. Demokrasi hanyalah kijang kencana yang ditunggangi para oligarki. Kekuasaan digapai dan dipertahankan, dengan membuang bab etika ke tong sampah. Dalam politik macam ini, absurditas bukanlah cacat.
Sepanjang tidak melawan hukum positif, dinasti politik sebagai legasi abad feodal misalnya, bukanlah pelanggaran kode etik. Politik kini adalah sebuah industri, dan politik dinasti adalah industri rumahan atau bisnis keluarga. Menjadi lumrah dalam politik yang pragmatif.
Politik bukan lagi soal menemukan pemimpin, tapi telah beralih kepada apa yang laku di jual di panggung rakyat. Sukar membedakan mana calon pemimpin, mana manekin yang dicetak lewat printer 3D. Ini adalah soal kemasan.
Para calon pemimpin sekarang sedang berbaris di etalase. Menunggu rakyat singgah dan memilih. Di sini ada transaksi. Apapun judulnya, uang harus keluar. Politik adalah sebuah industri, ada investasi dan kalkulasi.
Bicara positivisme, dalam demokrasi non-etik, kemenangan akan digapai dengan segala disipilin ilmu. Sebutlah statistik, rekayasa sosial, linguistik, digital marketing, psikologi massa, public speaking, retorika, teknologi informasi, akuntansi, managemen strategi, budaya, eksakta, dan ilmu politik itu sendiri.
Ditilik dari pragmatisme, pelaksanaan pilkada adalah aspirin pereda panas, di ambang resesi. Di luar pembiayaan resmi dari Negara, dana politik akan mengalir sampai jauh. Menggerakkan unit – unit industri, papan reklame, kaos partai, alat alat peraga serta media massa. Pekerja – pekerja politik direkrut dengan logo relawan. Sebuah istilah absurd dalam pendekatan The Moral Limits of Markets-nya Michael Sandel.
Dibutuhkan dana politik miliaran rupiah atau belasan, dan itu tidak datang dari kantong petahana dengan gaji pokok dan tunjangan resmi, atau pelaku politik murni, apa lagi pejuang jalan lengang idealisme berkantong kempis.
Ada satu skema kapitalisasi kekuasaan padat modal, dan mereka menempati partisi khusus di ruang pengap oligarki. Mereka kelak akan bicara tentang titik balik modal lalu menagih pembagian deviden.
Politik mungkin telah berhasil memblokade pikiran kita, tentang trasendental dan substansial, tapi seperti kata Plato, harga yang dibayar oleh orang baik untuk ketidakpedulian pada urusan publik adalah mereka akan dikuasai oleh orang jahat. ~MNT
Comments