Ilustrasi: https://siyli.org/ |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Jangan ajukan pertanyaan yang salah kepada calon pemimpin Anda. Satu petikan elaboratif dari Henry Ford saya bunyikan seperti ini: saya mungkin orang bodoh tapi dengan hanya memencet satu tombol, saya bisa mendatangkan sejumlah orang untuk menjawab seluruh pertanyaan yang Anda ajukan.
Kepemimpinan melampaui manajemen. Pemimpin tidak melakukan hal yang teknis dan taktis, tapi gol – gol yang strategis. Pemimpin bukan ensiklopedia atau pelaksana teknis dengan gestur pekerja. Publik, konstituen, bahkan media massa sebaiknya berhenti mengajukan ekspekstasi bias, di luar domain seorang pemimpin.
Management is doing things right, leadership is doing the right things, kata Peter Drucker. Manajemen perlu memastikan dirinya bekerja dengan benar, tapi pemimpin melakukan hal yang _diyakini_ benar. Yang perlu dikejar dari seorang pemimpin adalah visinya. Seorang pemimpin adalah visioner, bukan pelaksana. Cermati lema “leadership”, ada kata leader dan ship.
Tanyakan kepada sang nakhoda, mau berlabuh di mana kapal ini? Bukan cara kerja sistem navigasi, mualim, masinis apalagi koki. Kerja-kerja manajerial seperti meningkatkan kinerja operasional, memaksimalkan PAD, efisiensi anggaran, mengatasi banjir, macet, listrik padam, atau siswa gagal masuk sekolah, itu sudah ada yang mengurus.
Tugas pemimpin adalah memencet tombol seperti Henry Ford, dan tetap fokus pada gambaran besar.
Leadership berada di dalam zona penetapan skala prioritas, pengalokasian SDM dan fiskal untuk memenuhi dan menuju visi lembaga. Juga visi dirinya saat kampanye. Menjadi seorang pemimpin bukan hanya tentang menjalankan prosedur. Kepemimpinan jauh lebih dalam dari manajemen.
Peter Drucker adalah bapak manajemen modern yang meletakkan tiang penunjuk penting, yang dikutip secara lengkap dalam The Essential Drucker (Taylor & Francis Ltd, 2000). Yen Makabenta, seorang analis dalam tulisannya di The Manila Times bahkan menyebut, ahli teori manajemen dan guru kepemimpinan lainnya telah dengan sia-sia mencoba menciptakan kutipan mereka sendiri pada sains dan seni organisasi terkemuka.
Drucker mengajarkan bahwa dalam beberapa tahun, para pemimpin kehilangan pandangan tentang misi dan peran penting mereka dan menjadi lebih fokus pada metode atau efisiensi, daripada tetap fokus pada tujuan utama.
Pemimpin sejati harus menunjukkan bahwa dia adalah orang yang harus tetap fokus pada tujuan. Pemimpin melakukan visi sementara manajemen melaksanakan proses.
Seorang pemimpin dengan maknanya adalah orang yang pergi pertama dan memimpin dengan contoh, sehingga orang lain akan termotivasi untuk mengikutinya. “Dalam hal itu, untuk menjadi seorang pemimpin yang hebat, Anda harus menyadari hal-hal yang benar untuk dilakukan, daripada prosedur dan proses,” tulis Yen.
Doing things right pada dasarnya bukanlah cara terbaik untuk melakukan sesuatu karena seseorang hanya akan mengikuti prosedur, sementara doing the right things umumnya bertujuan mengidentifikasi dan memodifikasi efisiensi dan efektivitas lembaga.
Dalam dilema demokrasi elektoral kita, calon pemimpin terjun ke publik dengan serangkaian janji, tersering melupakan substansi dan kadang berlagak seperti segala tahu. Ketika calon pemimpin sedang genit-genitnya, mereka akan menjawab semua pertanyaan dengan retorika penuh, alih-alih seperti Henry Ford. Publik juga tidak tahu seorang pemimpin seharusnya apa, mengajukan pertanyaan teknis dan jamak ingin melihat gerak mekanis pemimpinnya, supaya kelihatan bekerja.
Tulisan ini tidak mendorong seorang pemimpin harus bertipe laissez-faire, yang acuh prosedur, otopilot atau mengandalkan cetak biru. Atau pemimpin platonik yang bertengger di awang-awang idealisme.
Tapi kita bisa membedakan antara misalnya efisiensi untuk manajemen dan efektivitas untuk kepemimpinan. Manajemen berpikir taktis, tapi pemimpin berpikir strategis. Pemimpin harus mampu menggerakkan semua sistem yang ada, bukan seolah-olah menjadi bagian yang parsial dari salah satu rantai sistem.
Yang kemudian menjadi pertanyaan, ketika “Henry Ford” sedang memencet tombol, apakah mereka akan datang dengan wajah gembira atau muram. Inilah seni memimpin, keberhasilan puncaknya, ketika bawahan datang karena gerakan dari batinnya, bukan karena takut digeser atau dipecat.
Quo vadis? Kemana engkau pergi? Kami akan mengikutimu karena kami termotivasi, kami terinspirasi, kami tergerakkan. Bukan karena kami paranoid atau semata ngejar duit. Untuk pemimpin publik, kami akan mengikutimu karena suara batin kita seirama dalam gagasan besar untuk membawa negeri ini menjadi lebih baik, bukan fatamorgana, bukan semata terbius oleh pesona. ~MNT
Comments