Ilustrasi: Google |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Dahulu
sosialisme ingin mengambil alih dunia melalui mesin uap dan listrik untuk
mengoreksi sisi hitam kapitalisme klasik. Nanti-nanti sekte pemuja tekno akan
menaklukkan dunia melalui algoritma dan gen-gen. Mereka akan menabur hadiah
yang sudah lama tertunda: kemakmuran, kebahagiaan, perdamaian, bahkan hidup
abadi.
Humanisme
sebagai aliran pemujaan terhadap martabat manusia tumbuh pada abad 19 dan 20,
ketika revolusi industri berjalan seperti kura-kura. Tapi tidak di era ini,
alasan-alasan yang dibuat sudah tidak cukup kuat, manusia yang diagungkan di
atas bumi adalah tempatnya silap, sedangkan teknologi berlari di belakang
cahaya.
Pula,
akibat dosa turunan berabad-abad ketika filsafat sekonyong-konyong diambil alih
oleh politik. Lalu demokrasi sebagai puncak karya humanisme – dan pada saat
bersamaan kapitalisme mengangkat demokrasi sebagai teman dalam selimut - akan
punah karena terbukti tidak mampu memilih apapun sebaik mesin pengerkah data. Tentu saja di samping sebagai akar perpecahan berbiaya
fantastis. Dan ketika nilai suara seorang profesor sama dengan manusia setengah
gila.
Yang
paling radikal dari aliran tekno adalah agama Data. Dalam satu ayatnya, agama
ini mendalilkan bahwa manusia telah menamatkan tugas kosmis mereka dan segera
memindahkan tongkat estafetnya kepada entitas robotik yang akan setingkat dewa.
Aliran
tekno memberi jalan kepada mesin kecerdasan buatan (super atrificial
intelligence) untuk memiliki kesadaran sendiri, dan yang paling tidak sabar
dari mereka, akan melakukan genosida terhadap ras manusia seperti yang
dilakukan Skynet dalam Terminator.
Tentunya
kita akan memihak kepada kredo lebih konservatif yang dipanggil sebagai
tekno-humanisme. Aliran ini akan memenangkan sisi humanisme dan menetapkan
dengan paksa agar teknologi selalu berada di bawah kendali manusia. Artinya
memaafkan ras manusia dan memicingkan mata atas semua kedaifannya sebagai
makhluk fana yang kikuk dan tertatih sekaligus perusak tatanan bumi.
Meski
aliran ini membenarkan bahwa manusia telah menghabiskan lintasan sejarahnya dan
tidak lagi releven di masa depan, tapi menyimpulkan bahwa teknologi itu dapat
diperalat untuk menciptakan manusia unggul yang tetap mempertahankan
fitur-fitur klasik kemanusiaanya.
Guru –
guru hi-tech di
Lembah Silikon sedang menyeduhkan untuk kita semua dan menuangkannya ke dalam
gelas kemungkinan yang dapat dilakukan oleh teknologi untuk memuaskan
angan-angan manusia. Teknologi sedang diberi waktu untuk memanjakan manusia
sepanjang sisi humanisme ini tetap bekerja.
Kegelisahan
klise akan lagi muncul, tidak mungkin teknologi mampu melayani miliaran manusia
sekaligus. Tekno-humanisme akan tetap diterjemahkan sebagai dongeng pengantar
lelap bagi mereka yang tidak untuknya. Ketika manusia-manusia beruntung usai
mentransformasi dirinya menjadi manusia super, dunia ini tetap seperti
sebongkah kapal Titanic.
Di atas
kapal di ruang pesta mereka berdansa dengan sihir melodius musik klasik
humanism. Di bawahnya, di ruang pembakaran mesin uap, manusia-manusia berdebu
penuh keringat bekerja keras untuk memastikan kapal mewah itu dapat melintasi
Atlantik. Atau mereka yang memakai baju sederhana di kabin kelas 3 dengan pesta
murah dan sesekali mendongak ke atas penuh selidik.
Bila
dunia ini ibarat Titanic, bagaimana dengan gelas kemungkinan. Manusia-manusia
itu bukan semut pekerja di bawah kaca pembesar, mereka punya harkat dan
kesadaran untuk menikmati masa depan dan mencicipi hadiah-hadiah yang tertunda
sangat lama, dengan satu tiket: mereka juga manusia dalam humanisme.
Orang-orang
puritan akan mengabaikan kelas dan penindasan, karena mereka percaya bahwa
dunia akan kiamat. Titanic sudah tersurat untuk menabrak gunung es dan
tenggelam. Tapi tidak yang lainnya, bila kesempatan tidak tiba sebelum gunung
es, mereka akan mengamini sebuah revolusi robotik terhadap kemanusiaan. ~MNT
Comments