The City Rises (Umberto Boccioni)
|
Oleh Muhammad
Natsir Tahar
Utopia dan distopia adalah dua
kosakata besar bagi tiap bangsa. Sebagai akhir dari sebuah cerita, apakah
tragedi atau komedi. Komedi? Benar dunia adalah komedi. Sekuat apapun untuk
memperindahnya, berbahagia-bahagia di atasnya, tetap ia punah.
Tapi kata pujangga
Romawi Horace (abad 7 SM), petiklah hari dan percayalah sedikit mungkin
akan hari esok. Carpe
diem, quam minimum credula postero. Frasa Carpe diem, sudah
menempel hampir tiga tahun di profil WhatsApp saya, tapi saya tidak merebut
atau memetik hari untuk ukuran Horace, seorang anak budak yang lepas sebagai
pesohor.
Saya akan makin percaya, kiamat
akan datang tiba-tiba apakah dalam ruang kosmos atau dalam bentuk kematian
individu. Tanda – tanda itu semakin nyata, bumi semakin ringkih. Punggungnya memikul
beban berat dari tumpukan pemanasan global, kerusakan ekosistem, kota-kota yang
akan tenggelam pada tahun 2050 dan hantaman benda-benda langit.
Manusia di atasnya pula menyerap
terlalu banyak tragedi, mereka berniat untuk berperang, mereka membantai,
menghasut, mengumpat dan memfitnah serta berada di bawah rezim yang tidak
berpikir kecuali untuk kelangsungan takhta dengan seluruh cara. Seluruh
kanal-kanal berita bicara tentang tragedi. Rusuh sudah di sembarang tempat,
kedatangan Covid-19 Corona mulai mengetuk pintu setiap rumah.
Ada 10 penyakit paling mematikan di
dunia, tapi Corona sedang di atas panggung dan memukul semuanya. WHO mencatat
152.000 kematian rata-rata per hari, dan penyebabnya hampir bukan Corona.
Mereka ada di dalam lemari pendingin kita, dari gaya hidup kita, dari
bencana-bencana dan tabiat manusia, dari alkohol, nikotin dan pil-pil ekstasi.
Masker disarankan kepada yang sakit
agar mudah diintifikasi dan tak menulari, tapi yang segar bugar juga merebutnya
sambil memborong makanan di supermarket. Tradegi The Black Death (1346)
yang disebabkan oleh pes membunuh seperti berondongan peluru dalam sekejap,
namun kala itu tidak ada media global. Corona hampir belum apa-apa dibanding
penyakit ini.
Apapun, Corona adalah bagian dari
skenerio Tuhan untuk memberi tanda-tanda kepada manusia. Kita adalah spesies
yang sedang berproses ke arah kepunahan. When suffering knocks
at your door and you say there’s no seat for him, he tells you do not worry
it’s because he has brought him stool__ Bila penderitaan mengetuk
pintumu dan kau berkata tak ada kursi baginya, dia berkata jangan risau sebab
dia membawa bangku sendiri. Ditulis oleh Chinua Achebe (1930 -2013), seorang
novelis Nigeria.
Saya dapatkan kalimat itu dari
Baidy Jeng seorang mahasiswa Gambia di WAG The Great Economist dalam
perbincangan soal Corona dan dampak ekonomi global.
Corona dianggap sebagai bagian dari
distopia global yang mampu melumpuhkan syaraf-syaraf ekonomi dunia. Dan semua
yang telah disebutkan akan mencapai puncaknya pada tahun 2050. Misal, akibat
pemanasan global yang tak mampu dicegah akan ada enam kota yang akan tenggelam
pada tahun 2050.
Mereka adalah Jakarta (Indonesia),
Houston (Texas), Dhaka (Bangladesh), Bangkok (Thailand), Rotterdam (Belanda),
dan Alexandria (Mesir). __ Nature
Communications (29 Oktober 2019) disebutkan pemanasan global menyebabkan
naiknya air laut dengan cepat selama beberapa tahun terakhir.
Namun pada saat bersamaan sains dan
teknologi telah siap adu balap untuk menghambat kepunahan manusia. Akan ada
obat untuk setiap penyakit. Akan ada cara untuk tetap bertahan hidup di ceruk
paling ekstrem.
Berbicara ke masa depan, melalui
rekayasa sains, manusia akan menabrak hukum alam lewat serangkaian tindakan
cerdas untuk memanipulasi kehidupan. Dijelaskan dalan Sapiens__NY
Harari, gen-gen paling cerdas dan terkuat akan dikumpulkan dalam satu tubuh
melalui rekayasa cyborg. Dengannya
akan tercipta manusia super. Manusia yang tidak percaya agama atau kiamat, akan
memeluk agama tekno yang menjanjikan keabadian.
Pada 2050 sebagian kecil manusia
sudah menjadi a-mortal. Di
dalam tubuhnya ditanamkan robot-robot nano atau supermikro yang akan
menghancurkan semua jenis penyakit dan apapun yang dapat menyebabkan kematian.
Memungkinkan manusia hidup terus menerus, kecuali terjadi kecelakaan fatal yang
merusak organ.
Lalu bagaimana Indonesia? Apakah
kita akan siap menghadapi seperangkat gejala-gejala distopia dalam 30 tahun ke
depan. Atau terus tenggelam dalam siklus demokrasi lima tahunan yang sakit? Carpe diem,
petiklah hari untuk melompat dari jalur distopia menuju utopia. Meski esensinya
komedi, tapi anak cucu kita punya hak untuk bahagia. ~MNT
Comments