Oleh Muhammad Natsir Tahar
Dialektika dalam
bernegara tidak pernah selesai. Negara harus menyodorkan cara berpikir
dialektis soal kebangsaan. Negara tidak bisa monolog dan memborong semua peran
protagonis. Karena kadang-kadang negara memainkan sebuah tesa yang antagonis.
Negara tetaplah
sebuah tesa, sesengit apapun frasa parsial yang ingin dibangun oleh politisi di
dalamnya. Tesa kata Hegel adalah sebentuk fenomena, problematika, kekusutan
bahkan kontraproduktif bagi gapaian utopia. Tanpa cita-cita untuk sampai ke
utopia, negara hanyalah ritual kecemasan.
Maka negara
membutuhkan antitesa agar ia tetap berada di laluan yang tepat: sebuah
ritual birokratis yang bergerak mendekat ke arah kemakmuran semua, bukan
sepilah-sepilah, bukan hanya untuk orang dalam dan membiarkan rakyat di luar
sana terus terimpit dan terhegemoni.
Antitesa yang
bergema di ruang publik harus dianalisis dalam logika formal. Hal ini hanya
bisa terlaksana dengan gerakan pikiran, bukan berpusat kepada kelumpuhan akal
para oligarki. Tersebutlah di sebuah negeri, ketika orang-orang bijak bestari
yang lolos dalam seleksi oligarki, tiba-tiba melupakan kenangan kecerdasan
mereka.
Kawanan oligarki
yang bercokol dalam negara dan semua elemen luaran yang menopangnya, tidak bisa
mengambil penuh dan menerjemahkan seluruh Pancasila sebagai falsafah negara
untuk diperalat menjadi perisai politik kekuasaan. Mereka harus membiarkan
publik tanpa kecuali menyodorkan terjemahan mereka.
Negara demokrasi
tidak berhak mengusir semua antitesa, kecuali mereka mampu membuktikan
sebaliknya. Tugas negara bukan menutup semua celah kritik, tapi membuat tidak
ada ruang tersisa untuk dikritik. Sepanjang masih ada kritik, mari kita bicara.
Tesa dan antitesa harus berunding sehingga lahir sintesa. Sintesa itu berupa
konsensus nasional untuk memenangkan rakyat.
Negara harus
memperkuat Pancasila dengan menolak semua proposal ideologi lainnya, katakanlah
liberalisme, sosialisme, komunisme, dan khilafah. Ideologi-ideologi ini akan
bungkam dengan sendirinya bila negara sudah mampu membuktikan bahwa Pancasila
adalah ideologi bernegara yang terbaik.
Negara tidak perlu
melabel semua gerakan berpikir sebagai radikal, barangkali mereka hanya
menawarkan alternatif karena melihat gejala Pancasila yang selama ini
dijalankan telah terkontaminasi ideologi-ideologi penyelinap dan tidak mampu
membawa bangsa ini kemana-mana selain sebagai penghapal sila satu sampai lima.
Sudahkah
penyelenggara negara menerapkan kelima prinsip dasar Pancasila itu? Di tengah
gemulainya pertahanan kita pada kapitalisme predatoris, serangan proksi, tabiat
otokrasi-koruptif dan keberpihakan kepada pasar-individualis yang kesemuanya
mengoyak peri kemanusiaan yang adil dan beradab serta peri keadilan sosial.
Sudahkah politik anggaran dilaksanakan dengan adil untuk rakyat, di tengah sangat dipentingkannya urusan ritual, fasilitas dan kemewahan penyelenggara negara, serta cara belanja yang boros dan korup ketimbang mengoptimalkan biaya publik.
Sudahkah politik anggaran dilaksanakan dengan adil untuk rakyat, di tengah sangat dipentingkannya urusan ritual, fasilitas dan kemewahan penyelenggara negara, serta cara belanja yang boros dan korup ketimbang mengoptimalkan biaya publik.
Lalu negara
mengumumkan kembali soal defisit anggaran, kemudian memijak rakyat, menagih dan
mengancam. Memindahkan beban kedunguan dalam mengelola pelayanan publik ke bahu
rakyat yang sudah terbebani dalam banyak hal oleh negara. Mana transparansi
anggaran, mana akuntabilitas publik? Saatnya kebijakan yang merugikan publik,
pelakunya dikriminalkan, agar adil.
Dalam hikmat
kebijaksanaan, sudahkah suara – suara rakyat dihormati dan tidak dicederai.
Lalu kemudian sudahkah penyelenggara negara berlaku adil atas dua jenis rongrongan
atas Pancasila? Jika cenderung melihat bahaya besar hanya datang dari chauvanis
atau radikalisme keagamaan tetapi membuta pada idelogi para penyelinap yang
berhasil disusupkan ke dalam tubuh Pancasila.
Sudahkah hukum berlaku
adil untuk semua, hanya tajam untuk jelata tapi tumpul pada transaksi politik,
uang atau tekanan kekuasaan. Hukum bisa diutak-atik dengan cara pandang yang
hanya baik untuk mereka tapi cacat dalam keadilan.
Pancasila bukan
sebatas hapalan sekolahan sebagai Dasar Negara, tapi
adalah solusi untuk menegah ancaman negatif globalisasi yang telah membelah
umat manusia menjadi dua golongan, yang menang dan yang tertindas. Jika
faktanya rakyat masih hidup dalam hegemoni, baik secara dalam negara maupun
internasional, mari berhitung sejauh mana Pancasila sudah dihadirkan oleh rezim
ini?
Negara mestinya
menutup wacana untuk mengganti ideologi Pancasila dengan memperbaiki cara mereka
memberlakukan Pancasila dari dalam, dari diri –Negara- sendiri. Sehingga tidak ada
lagi ruang untuk mendebat Pancasila sebagai ideologi bangsa dan dasar negara.
Aneka bentuk
kekerasan sosial berbasis fundamentalisme keagamaan, tribalisme, premanisme dan
sentimen kelas sosial adalah pantulan dari hilangnya bahkan tidak dikenalnya Pancasila
dalam tataran implementasi. Ketika negara tidak memberi contoh yang baik, bagaimana
mengamalkan Pancasila pada diri mereka terlebih dahulu.
Negara harus
menciptakan mekanisme sistematis dan testruktur agar Pancasila mampu menjadi
solusi bagi bangsa ini. Dimulai dari satu pertanyaan: sudahkah penyelenggara
negara menerapkan Pancasila dengan benar atau hanya bagian dari kerumunan
penghafal hedonis atau pendaku tiba-tiba? ~MNT
Comments