Oleh Muhammad Natsir Tahar
Selain diliputi dengan pepohonan,
sungai, api, takut dan libido, dunia manusia juga berisi tentang uang, tuhan,
demokrasi dan merek. Manusia juga membentuk kegelisahan dan kerinduannya
sendiri berdasarkan sejarah yang sekeping-sekeping.
Manusia mengumumkan kepada planet
ini bahwa mereka telah membuat sejarah, tapi sejarah itu sesungguhnya berkisar
antara jaringan cerita-cerita untuk tidak disebut dongeng. The Fed telah
mengarang dongeng sebelum tidur bahwa Dolar setara emas. Maka kita cemas lalu
memuja dolar seperti tuhan matahari dan pohon yang disembah moyang kita dari
dongeng ‘The Fed’ purba.
Selamat! Kita telah berhasil
melompati zaman batu Megalit untuk mendarat di zaman digital silikon, tapi kita
adalah Sapiens yang sama: butuh kesamaan persepsi dalam mitos. Bahkan kita jauh
tenggelam ke dalam dongeng itu, lebih tenggelam lagi dari sebelumnya.
Sebagai misal, kita memercayai uang
kertas seharga beberapa sen ongkos cetaknya untuk ditukar apa saja, ketika
tetua kita dulu menukar cangkang kerang dengan padi-padian dalam nilai yang
setara. Yang membaca hanya setengah keping sejarah uang akan menyebutnya
sebatas alat tukar.
Dongeng The Fed pernah mengempaskan
Jerman, Zimbabwe, Argentina bahkan Indonesia. Jerman atau Zimbabwe pernah
membeli sepotong roti dengan dua peti uang. Karena dongeng akan tetap dongeng:
satu USD akhirnya sama dengan 35.000 triliun Dolar Zimbabwe.
Usai menyembah kekuatan magis pada
pohon besar tua dan suara-suara yang keluar dari dalam gua, kita yang kekinian
terpesona pada Microsoft, Apple, Ferrari dan sepatu Nike. Melompati nilai
intrinsik pada dirinya, semua merek tersebut berhasil menciptakan mitos, lalu
bertemu dengan mitos uang: maka kita semakin berada dalam dunia dongeng.
Tak salah bila Plato dalam Myth of The Cave menyebut
bahwa dunia realitas kita hanyalah bayangan dalam gua sementara agama
menyebutnya sebagai senda gurau. Manusia bersenda dalam banyak hal dengan cara
memahami hal setengah – setengah, ketika yang lainnya menebar dongeng tentang
sebuah republik.
Amanat demokrasi dan perintah dari
telunjuk Kaisar Hammurabi atau Sultan Mahmud Mangkat di Julang, masih tercampur
di laboratorium Thomas Alva Edison dalam percobaan yang ke 217. Ketika ia butuh
hampir 1.000 percobaan untuk melahirkan lampu pijar.
Para birokrat ribuan tahun dahulu
mencatat pajak dalam gulungan papyrus untuk tiap desa dan melaporkannya ke
Memphis, tempat Fir’aun bertahta. Sekarang akan sama saja, bahkan lebih dongeng
lagi dan terus beragam. Bila Fir’aun berhasil mentransfer pajak menjadi
Piramida, Sphinx dan balsem kematian, maka pajak kita laksana dongeng sepatu
Cinderella yang tercecer.
Google yang sama saktinya dengan lampu wasiat zaman Aladin, tak mampu mendeteksi kemana uang pajak kita yang
sebenarnya pergi, lalu ilmu matematika dari zaman Babilonia sampai Silicon
Valley langsung pura-pura mati bila disuruh membongkar brangkas republik
ini.
Dongeng tentang republik
diulang-ulang oleh penuturnya seperti IBM atau Coca Cola bila perlu meniru Minephtah untuk
menggeser posisi Tuhan langit. Demokrasi kita telah lama menjadi dongeng, kalau
pun benar adanya bentuknya mungkin seperti benda terbengkalai dalam percobaan
ke-185 Alva Edison.
Satu biji
manusia saja dalam republik demokrasi perwakilan kita yang turun ke jalan untuk
menyampaikan aspirasinya, maka parlemen kita telah gagal (saya ingin bertanya
kitab demokrasi macam apa yang ingin membantah dalil ini). Apatah lagi dalam
kalkulasi puluhan ribu yang turun lalu dengan sangat ironi mereka mendemo kanal
aspirasinya sendiri.
Hukum kita
memakai simbol keadilan Dewi Themis yang tertutup matanya lalu mitologi ini
ingin dijadikan dongeng abadi untuk menegaskan bahwa keadilan sebenarnya tidak
pernah ada. Hukum didongengkan kepada orang kecil atau orang besar yang sedang
diacuhkan Dewi Fortuna.
Demokrasi memungkinkan rakyat
menjadi Dewa Zeus yang setiap daun jatuh di halaman istana penguasa menjadi
haknya untuk tahu, akan tetapi itu tidak pernah terjadi. Karena demokrasi
adalah dongeng yang ditulis ulang: beberapa orang bertepuk tangan untuk Bob
Marley dan beberapa lainnya untuk Justin Bieber. Tidak ada esensi, ini adalah
tentang siapa yang paling pandai melagukan Vox
Populi Vox Dei dari lainnya.
Rakyat berputar-putar dalam dunia
dongengnya sendiri, demikian pula penguasa (sebuah sebutan untuk dongeng kuno).
Hubungan dari keduanya dilekatkan oleh mitos republik yang lahir dari kecemasan
elegi tanah jajahan. Lalu apa? Kitalah yang mengurus dongeng ini untuk tetap
bertahan, tidak ada pahlawan bertopeng.
Sekejap lagi dongeng-dongeng tentang
mesin yang pandai berpidato atau bersetubuh segera masuk ke dunia kita, mereka
bahkan semakin menjadi fakta lalu membakar semua dongeng kita yang telah lapuk.
Membakar dongeng berarti membakar kita. Ah sudahlah! Terimakasi telah membaca
dongeng ini. ~MNT
Comments