![]() |
Ilustrasi: wharton.upenn.edu |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Semua yang berbicara demokrasi, mereka
telah berbohong. Tidak ada kekuasaan di tangan rakyat. Tidak pernah ada. Kekuasaan
adalah milik pemenang. Rakyat hanyalah pemilik sehelai kupon undian yang bising
sendiri di luar pagar istana. Selanjutnya adalah oligarki. The winners take all.
Jikapun ada demokrasi, makhluk ini telah
berkelamin ganda. Dalam sains biologi kita sebut hermaprodit. Demokrasi di
satu sisi berpasangan dalam satu tubuh dengan oligarki yang berlainan jenis.
Oligarki sebagai kumpulan orang-orang yang merasa berhak mengatur semuanya. Atau
orang-orang yang masih bernostalgia dengan zaman feodal.
Mereka mengaku sebagai negara, padahal mereka
hanyalah orang-orang yang dipinjamkan oleh rakyat –tuan mereka- kepada Negara. Kalau di zaman Athena kuno tempat
lahirnya demokrasi, orang-orang ini sewaktu-waktu bisa di-recall atau dipecat tanpa punya hak bertanya mengapa rakyat
melakukan itu.
Demokrasi itu berat, cari nama lain dulu atau
paling tidak jangan sering-sering disebut. Demokrasi adalah omong kosong
terbesar berabad-abad, kecuali ingin disempitkan maknanya menjadi sebatas
kelonggaran verbal dan ritual undian lima tahunan. Bahkan di Athena sendiri,
nenek moyang demokrasi lahir dengan cacat. Mereka menendang budak dan wanita keluar
dari lingkaran sakral demokrasi maskulin yang mereka anut.
Semua pemimpin berpotensi menjadi Nero atau
Caligula, jika tidak ada kekuatan penyeimbang dari luar. Meski cara-cara pernah
dibuat misalnya di Mesopotamia kuno, sudah ada pemerintahan
demokratis primitif, raja-raja perlu melewati penilaian dewan.
Magna Carta (15 Juni 1215) lahir karena ada
kekuatan tandingan dari Paus dan Baron (tuan tanah). Raja John dari Britania bergetar
menandatangani piagam besar ini saat menghadapi kenyataan sebagian kekuatannya
dilucuti. Magna Carta adalah prosedur legal bahwa kesemena-menaan raja akan
berbenturan dengan hukum.
Tapi feodalisme kembali kambuh hingga
muncul tragedi Kematian Hitam (The Black
Death) oleh gerombolan tikus pembawa wabah pes pada 1346, petani jadi
punya nilai tawar dan menuntut
hak-hak mereka. Monarki makin menipis ketika parlemen (semuanya oposisi) mulai
dibentuk sebagai penanda demokrasi.
Demokrasi tidak bisa dibuat langsung
seperti ketika ia mulai dibicarakan di Agora atau Acropolis, sehingga kita
butuh parlemen. Pada filosofi demokrasi, derajat parlemen berada di atas kaisar
atau presiden, tapi Trias Politika sudah membuka jalan damai agar mereka setara.
Untuk mengambil nilai filosofis demokrasi, kita
telah punya MPR: konon sebagai lembaga tertinggi Negara yang bisa memecat
presiden. Sayangnya sistem presidensial –yang entah mengapa kita meniru Amerika
yang sudah matang sekaligus pragmatif- mengacaukan bagaimana cara kerja
demokrasi. Mungkin karena tidak percaya kepada parlemen, sehingga harus kerja
dua kali: presiden dipilih oleh rakyat.
Proses ini secara tersendiri adalah episode panjang yang ikut memperparah jalan
utopia demokrasi.
Kita akhirnya melihat parlemen sebagai orang-orang yang derajatnya sama tinggi itu
memerosotkan bahu feodalnya di hadapan istana. Mereka menghapus ingatan bahwa
rakyat telah memuliakan mereka sebagai wakil untuk mengawasi kekuasaan. Alih-alih begitu, mereka berlomba-lomba
untuk menjadi pesuruh bagi orang yang mestinya mereka pelototi, dengan menjadi Menteri
Kabinet.
Kursi menteri ada di lutut presiden dan mereka
perlu membungkuk sebungkuk-bungkuknya agar dapat kursi itu. Tapi di hadapan
rakyat mereka dengan gagah perkasa bicara: kami punya suara segini dan mestinya
dapat menteri sebanyak ini.
Tidak kah rakyat ingin curiga, demokrasi
telah dihina sebegitu rupa. Ternyata menteri kabinet adalah gula-gula rebutan. Benarkah
bisik-bisik, kementerian dapat menjadi mesin uang untuk pundi-pundi partai? Pada
akhirnya duit rakyat 25 triliun untuk ritual pemilu hanya memproduksi
manusia-manusia yang berebut kursi menteri.
Mestinya lembaga anti rasuah memantau modus
dan motif di balik gairah merengkuh kursi menteri. Sebegitu bonafidkah dapat
banyak kursi menteri, bila tujuannya adalah kerja murni, mestinya pintu dibuka
lebar-lebar kepada hanya figur yang benar-benar profesional di bidangnya tanpa
dikacaukan oleh intrik politik.
The winners
take all, pemenang
mengambil semuanya. Ingat istilah ini, entah mengapa saya terbayang wajah
Robert Mugabe, presiden Zimbabwe yang menang banyak itu. Alkisah pada Januari
2000 di kota Harare, Zimbabwe Banking Operation (Zimbank) melaksanakan undian
yang terbuka bagi belasan ribu nasabah dengan saldo di atas 15.000 dolar Zimbabwe.
Dalam suasana dramatik dan mendebarkan, MC
kondang Fallot Chawawa yang membacakan pemenang undian seolah kaget tiada
kepalang: pemenang undian sebesar Z$100.000 adalah Yang Mulia R.G. Mugabe.
Sebuah kebetulan yang tidak biasa.
Mugabe tak kurang suatu apa, dia bisa
menaikkan gaji dirinya dan menteri-menteri sesuka hati. Tapi kemenangan harus
dirayakan termasuk dengan cara merekayasa undian. Di antara 94 persen rakyat
yang menganggur sekaligus menderita kolera terparah di dunia, mereka
mengkalkulasi sebanyak apa mereka dapat untuk kelompok oligarkisnya sembari
mengumumkan statistik pencapaian yang menghibur penuh dusta.
Diktator Mugabe adalah kombinasi terburuk
ketika demokrasi dan moral benar-benar tidak berfungsi. Kita bisa setengah lega
karena masih punya demokrasi, kendati kelaminnya ganda. Kekuasaan tidak pernah
ada di tangan rakyat, ia adalah milik pemenang. ~MNT
Comments