Oleh Muhammad Natsir Tahar
Seratus tahun lalu kita tidak ada,
apalagi seratus tahun di depan. Kita hanya kedipan kecil, sekali kedip sangat
cepat dan segera sirna. Apakah kita pernah dicatat? Bila tidak, kedipan kita tidak terdeteksi oleh orang-orang di masa depan. Kita tidak ada.
Baiklah, bicara catatan, kita akan
memulainya pada sejarah huruf yang ditemukan oleh bangsa Sumeria 3.000 tahun
lalu dari catatan Georg Scheder. Ini agaknya yang mendorong JW
von Goethe berbicara: barang siapa tidak dapat belajar dari masa tiga
ribu tahun berarti dia tidak memanfaatkan akalnya.
Sedangkan masa tiga milenium yang
pernah dicatat oleh huruf-huruf itu adalah slide terakhir dari
sebegitu banyaknya adegan peradaban di bumi. Hanya selama sebatang nyala lilin,
bila kita bandingkan dengan 200.000 tahun sejarah Sapiens yang diduga
dalam Origin of Species-nya Charles Darwin yang hampir sama lamanya
dengan sejarah kenabian yang tercatat dalam kitab suci, tentang Adam dan Hawa.
Teorema ateis dan dogma teis, mematok waktu yang sama dan itu bukan kebetulan.
Masa 200.000 tahun pun terlalu
sebentar bila dibanding umur bumi yang sudah 4,6 miliar tahun. Masa 200.000
tahun bisa dihabiskan dengan pergi dari tepi galaksi Bima Sakti dan kembali ke
posisi semula. Bima Sakti berdiameter 100.000 tahun cahaya, kata kosmolog.
Tapi tiga milenium yang disebut
Gothe menjadi sangat penting, seperti nyala lilin yang berkobar di sepanjang
abad ke-6 SM, adalah zaman pergolakan intelektual sekaligus spritual yang luar
biasa di segala penjuru. Kobaran api sejarah itu tidak hanya berasal filosof
Thales, Anaximandros, Pythagoras, dan pesohor lain di Ionia (sebuah kota kuno
tempat pemikiran pernah meledak).
Zaman ini adalah juga zaman Fir’aun
Nekho yang berlayar mengelilingi Afrika, zaman Zoroaster di Persia, Konfusius
dan Lao Zi di Tiongkok, nabi – nabi Yahudi di Israel, Mesir dan Babilonia,
serta Budha Gautama di India. Seabad setelahnya kita mengenal zaman filosof
Athena yang abadi, lalu bara api pemikiran dipadamkan oleh penaklukan demi
penaklukan oleh seorang murid filsafat Aristoteles dari Macedonia, siapa lagi
kalau bukan Alexander Agung.
Dunia memasuki zaman Helenisme,
serba Yunani. Sebuah kota bernuansa Yunani di Mesir didirikan. Kota yang
kemudian menjadi pusat peradaban dunia. Aleksandria yang dibangun Alexander ini
berdiri perpustakaan super yang diinisiasi oleh Ptolemaeus lalu
dibakar oleh pasukan Romawi di bawah Julius Caesar kekasih politik Cleopatra.
Setengah juta buku tentang kobaran api abad ke-6 SM itu binasa.
Alexandria kehilangan semua buku
Papirus di perpustakaan agungnya dan sejarah pusat peradaban dunia seketika itu
tamat. Kita tidak pernah tahu seperti apa dunia sebelum itu, sebab tiga jilid
buku sejarah dunia karya pendeta Babilonia bernama Berossos ikut hangus. Volume
pertama buku tersebut memuat kisah antara awal Penciptaan dengan Banjir
Besar yang membentang sepanjang 432.000 tahun.
Bila buku ini masih ada, Gothe dapat
meralat sabdanya menjadi: barang siapa tidak dapat belajar dari masa 432.000
tahun berarti dia tidak memanfaatkan akalnya. Cukup lama dan patut
sebanding lama nyala petromaks lebih dari satu malam.
Selain petaka di perpustakaan
Aleksandria, pemusnahan buku makin sering terjadi seperti Athena, Baghdad, atau
penghancuran buku besar-besaran di era kuno dalam sejarah Cina. Buku-buku yang
dianggap mengritik kaisar dan proses penyatuan Cina pada abad ke-3 SM di bawah
Zhao Zheng, pendiri dinasti Qin, dihancurkan. Sejarah penghancuran buku bahkan
sama tuanya dengan buku itu sendiri.
Kehilangan begitu banyak buku
membuat masa lalu tidak secerlang taburan bintang di galaksi kita. Apalagi
dunia pernah terlelap dalam seribu tahun, kecuali di tengah-tengahnya para
filosof dan saintis Arabia tetap mengirim percikan–percikan ke masa depan,
hingga Eropa kembali bangun dalam kejayaan Renaisans. Mengulang kobaran abad
ke-6 SM.
Sejak saat itu, manusia sudah tak
terhentikan. Era ini dan selanjutnya adalah era sibuk dengan pelbagai revolusi
pikiran. Kita kini berada di musim milenial nirbatas. Buku-buku yang dulunya
menjadi media penyimpanan memori manusia sudah tenggelam dalam lautan data yang
hilir mudik selaju cahaya di antara empat miliar pengguna internet di seluruh
dunia.
Mesin uap yang pertama kali
berdentang di daratan Inggris adalah sebagai penanda revolusi industri, namun
jaringan ARPANET dari Departemen Pertahanan US pada 1969 sebagai penanda zaman
internet telah merevolusi segalanya.
Ketika membaca sejarah, begitu entengnya
kita melompat dari satu milenium ke milenium lain, dari satu abad ke abad lain.
Seakan semuanya adalah selang seling dari kedipan dan kobaran dalam malam
singkat.
Tidak sekarang ini, dalam hitungan
hari dan bulan selalu ada penemuan baru. Lini masa kita disibukkan oleh
kecengangan kepada keajaiban kekinian yang dapat diproduksi oleh teknologi.
Lompatan penemuan yang memakan waktu ratusan tahun, dapat terjadi hanya dalam
beberapa bulan di abad ini. Waktu benar-benar dipadatkan.
Beberapa orang sedang merancang
robot nano yang bisa disuntikkan ke dalam jaringan tubuh manusia untuk melawan
kematian. Beberapa lainnya sedang merumuskan wahana bagi pelancong-pelancong
kosmos, atau penyempurnaan printer 3D yang nantinya bisa mem-print salinan
manusia super sekuat Thor. Dan hampir seluruh jenis pekerjaan yang bisa
dilakukan manusia kini, sudah akan ada alat yang dapat menggantinya dengan
hasil yang sangat cepat, sempurna dan hebat.
Bagaimana manusia 100 tahun lagi,
apakah dapat beradaptasi dengan semuanya, apakah penerus kita masih ada
gunanya? Atau dunia segera kiamat? Atau mereka melawan zaman -menghambat
revolusi otak mereka sendiri- dengan menjinakkan teknologi agar terus
patuh melayani manusia, atau manusia pergi mencari planet primitif serupa bumi
purba untuk memulai segalanya dari awal?. ~MNT
Comments