Ilsutrasi: agapemarriage.org |
Oleh Muhammad Natsir
Tahar
Rumpun Melayu dan Asia Timur secara
tradisional dikenal memiliki budaya komunikasi konteks tinggi (high context
communication), berbasa basi penuh sungkan dan berputar-putar untuk tidak
langsung kepada konteks. Untunglah sesama orang timur dapat menangkap dengan
mudah apa maksudnya. Di lain waktu akan muncul gagal paham bila berhadapan
dengan budaya komunikasi konteks rendah.
Makin ke sini kita makin jarang
mendengar orang berbicara konteks tinggi, karena pesan verbal yang lugas,
eksplisit dan berterus terang sebagai ciri khas konteks rendah dianggap jauh
lebih efektif dalam budaya pop. Tapi efek negatif dari bicara konteks rendah
dapat menjurus kepada ujaran kebencian (hate speech). Seperti
juga konteks tinggi dapat mamacu permusuhan bila digunakan sebagai sindiran
tajam.
Dan saya menemukan paradoks di sini
ketika kita mengaitkannya dengan eufemisme. Penghalusan diksi dalam majas
eufemisme melebur dalam konteks tinggi dan rendah sekaligus, ditingkahi oleh
metafora, personifikasi, alegori retoris, dan idiom–idiom justru dapat
menegaskan kelas sebuah bangsa.
Tinjau: Budaya High Context
Bagaimana bila konteks tinggi
bergabung dengan eufemisme? Audiens atau lawan bicara yang tidak terbiasa akan
menerima dua tugas yakni menerjemahkan maksud tersirat dan pada saat bersamaan
mengembalikan penghalusan diksi dari eufemisme ke bentuk dasarnya.
Eufemisme adalah fenomena
universal, hampir digunakan oleh semua bangsa di dunia untuk menghindari kesan
frontal atau tabu. Eufemisme terkadang digunakan oleh penutur untuk membebaskan
dirinya dari beban sosial atau rasa bersalah.
Kata Mark Peters dalam jurnalnya di
BBC, bahasa yang melingkar-lingkar (dalam konteks tinggi dan eufemisme) adalah
musuh kejelasan. Eufemisme adalah hal terburuk bahkan menjadi patokan tentang
capaian yang negatif. Bahasa eufemistis adalah musuh abadi dari setiap orang
yang membutuhkan kejelasan.
Eufemisme berupa pemecatan untuk
perusahaan yang gagal, dapat disulap menjadi perampingan perusahaan, PHK,
dirumahkan, dan bahkan frasa yang kikuk seperti pengurangan jumlah staf yang
berlebih. Saat perusahaan membungkus tindakan mereka dengan bahasa yang samar
dan robotik, yang dikorbankan adalah kejelasan dan orang-orang.
Menurut Peters, daftar eufemisme
untuk menggambarkan pemecatan pegawai sangat panjang bahkan dapat dibuat
menjadi buku. Misal, para pekerja dapat dikurangi (attritioned),
kelebihan sehingga harus dirampingkan (excessed), atau
bahkan tidak dipekerjakan (decruited)
sebagai si kembar jahat dari dipekerjakan (recruited).
Bahasa Inggris bahkan memiliki 3.000 kata untuk menggantikan kata mabuk.
Novelis sarkastik George Orwell dan
komedian George Carlin telah menyerang bahasa yang halus dan samar, termasuk
ratapan klasik Carlin yang mengatakan bahwa shellshock (sakit
saraf karena pertempuran) berubah menjadi battle fatigue (kelelahan
akibat pertempuran) kemudian menjadi operational
exhaustion sebelum akhirnya berubah menjadi kata yang sulit diucapkan: post-traumatic stress
disorder.
Pemerintah kita secara historis,
menggunakan kata penyesuaian tarif untuk kenaikan harga, atau reshuffle kabinet
untuk pemecatan dan pengangkatan menteri. Keputusan yang aneh dan lucu bisa
disebut kebijakan atau program, utang negara disebut bantuan atau investasi.
Beberapa politisi dengan paksa
memanfaatkan kata-kata koalisi dan rekonsiliasi untuk menyembunyikan tujuan
lain seperti konspirasi atau persekongkolan tingkat elite. Konspirasi bisa
dilihat dari gejala seperti deal-deal politik yang dibuat tanpa kepentingan
rakyat hadir di sana.
Di kita, eufemisme bahkan
kontraproduktif untuk tugas-tugas kritik sosial. Eufemisme terhadap, maaf (kata
maaf yang paradoks) pelacur misalnya berubah menjadi wanita tuna susila (WTS),
kemudian diperhalus menjadi pekerja seks komersial (PSK), dipermolek lagi
menjadi kupu-kupu malam. Sementara germo dipanggil papi atau mami dan lelaki
pezina tukang selingkuh disebut tamu dengan kode akses booking.
Demikian pula koruptor sebagai
eufemisme dari pencuri uang rakyat, belakangan ada yang menggantinya menjadi
pemakai rompi oren. Suap dan upeti bisa diganti jadi gratifikasi atau fee. Gerombolan
pemeras berdasi disebut orang dalam. Uang hasil penodongan oknum aparat di
jalan raya disebut uang damai. Dan anehnya yang ditodong mengaku sebagai
korban, padahal dia sebenarnya penyuap.
Bila kita rajin mengoleksi
diksi–diksi eufemisme kita akan menemukan majas tersebut lebih banyak memihak
kepada perbuatan jahat. Hal ini terus mendorong bangsa kita yang pemaaf dan
malas melawan lupa ini kepada lingkaran permisif. Semakin halus pilihan kata
untuk menyebut lelaku minor, semakin permisif reaksi yang dihasilkan.
Pada akhirnya eufemisme dan
permisivisme menjadi kawan sejalan, dengan kata lain seseorang bisa saja
menggunakan majas eufemisme agar publik bereaksi permisif atau mengizinkan hal
itu terjadi, sementara para pendosa yang mendapat label eufemisme berada di
zona nyaman, dan bertahan di zona itu.
Seseorang bisa tanpa beban menerima
tudingan sebagai tukang hoaks (hoaxer) ketimbang
penyebar fitnah dan berita bohong. Para buzzer yang
diproduksi oleh intrik politik akan terus bangga menumpang pada istilah ini,
bila kita tidak cepat-cepat memisahkan mereka sebagai buzzer yang
meloncengkan hasutan dan tipu muslihat.
Pertanyaannya, haruskah kita terus
menyanjung kehalusan bahasa sebagai tindakan permisif terselubung terhadap
kejahatan, atau mulai mengetatkan standar moral untuk menghukum mereka secara
verbal dengan mengembalikan julukan itu kepada bentuk aslinya? Paradoks ! ~MNT
Comments