Ilustrasi: Karina Eibatova |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Mereka
menyebutnya api abadi. Setelah benda itu tak sengaja ditemukan di dekat hutan,
melompat-lompat berwarna kuning terang, dan panas menyala. Seorang suku pemburu
menemukan gagasan berani dan menakutkan: menangkap api, memberi sedikit makanan
dan berteman dengannya.
Sejak api
mereka genggam, tidak ada lagi yang berani berlari malam. Mereka berjalan
perlahan agar api itu tidak mati. Anak – anak api itu sangat lemah, tapi jika
diberi makanan yang banyak mereka segera membesar dan melawan. Para suku punya
induk api yang dibiarkan abadi, sebagai puncak kemewahan purba. Klan mana yang
paling punya perapian abadi, merekalah yang terhebat. Sampai mereka menemukan
pemantik api dari batu-batu yang diadu.
Tapi
ritual menjaga api terus ada dan menjadi akar berbagai peradaban. Setiap rumah
di Yunani dan Romawi kuno serta rumah-rumah para Brahmana di India punya
perapian dan seperangkat peraturan menjaga api.
Setelah
menjinakkan api, para suku purba banyak yang melihat ke langit malam, dan mulai
berpikir bahwa kedipan bintang-bintang adalah api unggun yang sedang dinyalakan
oleh para pemburu asing nun jauh di sana. Mereka tinggal di langit dan tidak
jatuh. Mereka tidak mengenal hukum Gravitasi atau menyangka suku-suku langit
dipelihara para dewa.
Pemikir–pemikir
zaman primitif memiliki gagasan yang rumit tentang fenomena alam. Seperti suku
Bushmen di Gurun Kalahari, Bostwana dekat Sub Sahara Afrika, punya penjelasan
sendiri tentang Galaksi Bimasakti yang sering terlihat di atas kepala di
lintang lokasi mereka. Mereka menyebutnya sebagai Tulang Punggung
Malam, seakan langit itu binatang besar dan kita tinggal di dalamnya.
Suku ini meyakini Bimasakti menopang malam, bila tidak ada Bimasakti, maka
pecahan-pecahan kegelapan akan jatuh menimpa bumi.
Zaman
gemintang, zaman penyampuran astrologi dan astronomi dan ketakjuban kepada
langit seakan mengendap ketika pria genius yang dijuluki Penyihir Menlo Park
-siapa lagi bila bukan Thomas Alva Edison- berhasil menghidupkan bola lampu,
setelah melewati 9.955 uji gagal. Maka Tulang Punggung
Malam itu beringsut dilupakan, seperti api–api abadi yang juga ditiup.
Sains dan
teknologi datang ke dunia untuk memberikan penerangan sekaligus menghantam
takhayul. Dahulu kala, langit malam dijadikan pengembaraan para pembaca nasib
lewat astrologi. Astrologi beranggapan bahwa di rasi mana planet berada ketika
seseorang dilahirkan, akan memengaruhi masa depan mereka.
Pekerjaan
ini sebenarnya berisiko terutama setelah nujum–nujum astrologi dipekerjakan
oleh Negara. Seperti ahli astrologi istana di Tiongkok kuno yang dihukum mati
bila ramalannya tidak akurat. Pada akhirnya para astrolog mengubah catatan
mereka diam – diam. Astrologi kemudian berkembang menjadi kombinasi aneh antara
observasi, matematika, penyimpanan catatan hingga penipuan.
Astrologi
dan astronomi sama-sama berasal dari ilmu membaca langit malam di antaranya
mulai dipelajari oleh Ptolemaeus, yang bekerja di perpustakaan Alexandria pada
abad ke-2 Masehi. Astrologi kemudian memisahkan diri dari sains dan menempuh
jalur mistik, membaca nasib melalui pergerakan rasi bintang.
Dalam
sejarah manusia bumi sebagai debu kosmik, langit malam terus dipelajari setelah
usai zaman primitif, kemudian memasuki era mitologi, lalu filsafat, agama dan
terakhir sains. Sebagai Theis atau umat beragama, kekuatan sains astronomi akan
memperkukuh keimanan kita bahwa Tuhan pencipta sepenuh kosmos sebagai Maha
Besar. Bukan malah sebaliknya, begitu banyak saintis yang memeluk atheis
setelah logika sains-nya menolak Tuhan yang disembah di debu kosmik
mampu menciptakan keseluruhan kosmos yang maha luas.
Kini dua
miliaran umat Muslim bertafakur di sepanjang malam Ramadan. Inilah Tulang Punggung Malam sebenarnya
yang dinanti para perindu surga dan pecinta al Qur’an. Memuji keagungan Sang
Pemilik Kosmos, ketika Dia mengirimkan ribuan malaikat-Nya ke langit dunia di
malam Lailatul
Qadar. Marhaban ya
Ramadhan.~MNT
Comments