Ilustrasi: ariid.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Dalam
satu detik, cahaya melesat dengan kecepatan hampir 300.000 kilometer
atau tujuh kali keliling bumi. Dalam setahun, cahaya mampu menjalar melintasi
jarak 10 triliun kilometer. Dan kita berada di dunia nebula yang tepiannya
berjarak delapan miliar tahun cahaya dari bumi.
Dalam
ruang antargalaksi, bumi yang kita tinggali tidak hanya debu tapi super debu,
karena begitu kecilnya. Di planet ini diri kita yang sehalus amuba bisa
terbahak, berlagak menjadi maha. Sedikit saja bumi bergeser dari garis edarnya
mendekat atau menjauhi matahari, kita akan terbakar atau membeku.
Atau
perhatikan bulan yang berwajah bopeng. Kawah-kawah itu dibentuk dari tabrakan
serpihan komet dan meteor, yang terbentuk dalam miliaran tahun. Sebanyak itu
pula tabrakan yang sudah menghantam bumi, dan kapan-kapan akan berulang. Satu
tabrakan melebihi kedahsyatan bom atom.
Bumi
adalah debu yang sangat tua, mengelilingi satu bintang sepuh yang menunggu
padam. Kita menyebutnya matahari. Dahulu kala beberapa agama menyembah matahari
yang dianggap maha jagat raya, padahal matahari hanyalah satu dari ratusan miliar bintang yang dihimpun dalam galaksi Bima Sakti.
Bima
Sakti tak sendiri, di seluruh jagat raya ada miliaran galaksi. Kenaifan
menciptakan tuhan-tuhan, sedangkan berabad-abad sebelum mereka Erathosthenes
yang hidup 300 SM sudah secerdas ini: ia berhasil mengukur keliling bumi dengan
sudut tujuh derajat antara Alexandria dan Syene serta mengkonfirmasi bahwa bumi
ini bulat. Erathosthenes menggunakan matahari sebagai objek risetnya, bukan
sebagai Tuhan.
Dengan kepuasan diri yang tak terbatas, manusia mondar
mandir di bumi ini dengan urusan remeh mereka, merasa damai dan yakin akan
penguasaan mereka. Ini adalah petikan
dari kalimat pembuka dalam fiksi sains klasik The War of The
World karya H.G. Wells (1897).
Padahal
kata Wells, mungkin saja manusia sedang diperiksa dan diteliti hampir secermat
seorang peneliti makhluk fana Mikroba yang miliaran banyaknya dalam setetes air
di bawah mikroskop. Wells dalam fiksinya mengingatkan ada makhluk lain dari
planet yang lebih tua yang akan menjadi sumber bahaya bahkan mungkin sesuper
jentikan jari Thanos. Maka kita lenyap.
Atau
paling tidak bila tak ada makhluk antargalaksi yang sedang mengamati kita dari
kejauhan, pasti ada super kosmos yang kita sebut Tuhan. Dengan cara apa kita
akan lari dari pengamatannya. Dengan cara apa kita menahan jentikannya untuk
membebaskan kita dari akhir dunia?
Yang kita
tahu, planet biru kita adalah tempat berdiam yang paling menghidupkan. Tiupan
angin menyejukkan dari atmosfer yang tebal dan ultraviolet yang ramah. Bila
bumi menghadap matahari dan semua planet dalam posisi sejajar, maka di depan
kita ada Venus. Ia adalah saudara perempuan bumi yang berwarna putih susu.
Venus begitu mempesona dengan caranya sendiri.
Kata Carl
Sagan dalam Kosmos, banyak
pahlawan dalam mitos Yunani dan Skandinavia melakukan upaya – upaya mengagumkan
untuk mengunjungi neraka. Neraka itu adalah Venus. Dengan suhu mematikan,
badai, radiasi dan gas berbahaya, inframerah dan sinar matahari yang
terperangkap, adalah sedikit kisah tentang Venus.
Di
belakang kita ada Mars. Sebagian orang mulai terkecoh, mendamba Mars sebagai
tempat tinggal yang sejuk. Manusia dan ilmuan sudah pernah memiliki fantasi
berapi-api tentang makhluk Mars yang akan menerima kita sebagai penghuni baru.
Mars menjadi gambaran surga.
Tapi Mars
adalah planet merah dengan lapisan ozon yang tipis. Menyimpan badai debu yang
hebat. Tidak ada air cair kecuali selaput sangat tipis yang membasahi tiap
butiran pasir. Bila manusia mengirimkan mikroba ke planet ini, dalam hitungan
menit mereka akan mati megap – megap karena kekurangan oksigen. Mikroba adalah
penghirup oksigen paling sedikit.
Mars dan
Venus tidak hanya tinggal sebagai mitos surga dan neraka. Paling tidak psikolog
Jhon Gray, PhD pernah menulis bukunya Men Are From Mars, Women Are
From Venus. Pria dari Mars dan wanita dari Venus. Istilah ini sebagai
metafora untuk menjelaskan bahwa pria dan wanita sebagai dua makhluk yang
berbeda dan berasal dari planet yang bertolak belakang.
Dahulu
kala, pria Mars berjumpa dengan wanita Venus. Mereka jatuh cinta dan menjalin
hubungan bahagia karena saling menghormati dan menerima perbedaan-perbedaan.
Begitu tiba di Bumi dan mulai menderita amnesia, lupa bahwa mereka berasal dari
planet yang berlainan.
Secara
umum pria berpikir dan bertindak secara rasional, sedang wanita bertindak dan
berpikir secara emosional. Namun Jhon Gray menunjukkan dalam buku tersebut
bahwa baik pria maupun wanita mempunyai sisi emosional. Pria cenderung rasional
tetapi bukan berarti tidak memiliki sisi emosional. Wanita cenderung emosional
tetapi bukan berarti tidak memiliki sisi rasional.
Venus dan
Mars memiliki keistimewaan dan kelemahannya. Untuk mengambil semua sisi positif
cara kerja otak pria dan wanita, kita mungkin butuh alter ego. Entah bagaimana
kita melaksanakannya, yang pasti alter ego berarti aku yang lain merupakan
diri kedua kita yang dipercaya berbeda daripada orang kebanyakan atau
kepribadian yang sebenarnya. Alter Ego di hamparan super debu. ~MNT
Comments