FOTO: Istimewa |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Seperti
juga Macedonia dan Athena Yunani, Alexandria Mesir yang dibangun Aleksander
Agung mendapatkan percikannya di tanah Melayu setelah 2.000 tahun. Zuriat Aleksander
Agung adalah kata kunci bagi legitimasi kesultanan Melayu, dimulai
oleh Sang Nila Utama dan berakhir dengan peristiwa paling epik: Sultan Mahmud Mangkat
Dijulang.
Alexandria
kehilangan setengah juta buku di perpustakaan agungnya setelah pasukan Julius
Caesar yang membabi buta membakar apa saja. Sejarah pusat peradaban dunia
seketika itu tamat. Kita tidak pernah tahu seperti apa dunia sebelum itu, sebab
tiga jilid buku sejarah dunia karya pendeta Babilonia bernama Berossos ikut
hangus. Volume pertama buku tersebut memuat kisah antara awal Penciptaan dengan Banjir Besar yang
membentang sepanjang 432.000 tahun.
Naskah-naskah
syair yang tak ternilai macam karya Sappho, Hesiod, Homer, Apponius, Theocritus
dan Aratos, drama-drama klasik dari Euripedes, Sophocles, Aristophanes,
kemudian filsafat Plato, Aristoteles dan Philon, serta koleksi sejarah
Herodotus, fisika karya Archimedes dan Hipatia hingga ilmu kedokteran kuno,
semua binasa.
Bagaimana
dengan sejarah kuno Melayu? Rancangan Sulalatus Salatin menjadi satu-satunya peninggalan
sastra sekaligus sejarah yang dapat selamat dari spekulasi tenggelamnya perahu
haloba Portugis yang syarat muatan, sehingga buku-buku dari Istana Melaka ikut
terkubur di dasar laut (lihat: Prolog
Sulalatus Salatin – A. Ahmad Samad, Kuala Lumpur, 1978). Dan sebagian
buku-buku lainnya dibawa lari ke Belanda serta berbagai penjuru dunia atau
musnah bersama perang seperti Alexandria, Athena, dan Baghdad.
Bila Claudius Ptolemaeus mungkin kesulitan merekonstruksi
sejarah Alexandria kuno demikian pula Rida K Liamsi, yang makin paripurna
dengan novel sejarahnya Selak Bidai Lepak
Subang Tun Irang. Di halaman 12 novel ini, dalam suratnya kepada Mur
-tokoh yang dicurigai mati-matian oleh Taufik Ikram Jamil dalam pengantar novel
ini sebagai Murparsaulian, pujangga perempuan Riau yang kini bermastautin di
Belanda- Rida sempat menyinggung perpustakaan di Universitas Leiden
yang menyimpan banyak manuskrip tentang sejarah Melayu. Tanda ia gelisah.
Tun Irang dalam novel terbitan TareBooks ini adalah makhluk
Venus seperti kata psikolog Jhon Gray,
PhD, yang struktur otaknya didominasi oleh emosi. Tentang letupan-letupan
perasaan, tentang cinta yang tertolak, dan harga diri yang dinadirkan oleh Raja
Kecik keturunan Sultan Mahmud Mangkat Dijulang. Apa yang lebih menyakitkan bagi
seorang wanita ketika cintanya ditolak, posisinya sebagai permaisuri diambil
alih oleh adik kandungnya sendiri, lalu ayahndanya Sultan Abdul Jalil
Riayatsyah dibunuh. Rida
yang amat identik dengan prosa romansa berlandaskan sejarah Melayu adalah orang
yang tepat untuk memetik episode ini ke dalam novelnya.
Magma penuh api dendam yang disimpan Tun Irang mampu memutus total kedigdayaan keturunan raja-raja Melayu di Tanah Semenanjung yang mendapat legitimasi mitos Alexander Agung dari Macedonia Yunani, atau Zulkarnain yang diceritakan kitab suci atau Iskandar Zulkarnain, sebagai nama sintesis dari kedua tokoh. Tun Irang melancarkan perang proksi (menggunakan pihak ketiga) untuk menyingkirkan dan secara bertubi – tubi memukul mundur Raja Kecik hingga ke delta Sungai Siak.
Magma penuh api dendam yang disimpan Tun Irang mampu memutus total kedigdayaan keturunan raja-raja Melayu di Tanah Semenanjung yang mendapat legitimasi mitos Alexander Agung dari Macedonia Yunani, atau Zulkarnain yang diceritakan kitab suci atau Iskandar Zulkarnain, sebagai nama sintesis dari kedua tokoh. Tun Irang melancarkan perang proksi (menggunakan pihak ketiga) untuk menyingkirkan dan secara bertubi – tubi memukul mundur Raja Kecik hingga ke delta Sungai Siak.
Di halaman 10, Rida mengutip sabda Tun Irang yang sangat
puitis lagi eksotis dari Tuhfat al Nafis karya
besar Raja Ali Haji. Sabda yang memikat dan memberi energi penuh kepada Upu-Upu
Lima Bersaudara keturunan Daeng Rilaka untuk membantunya memulihkan daulat
Kerajaan Johor dengan memerangi Raja Kecik. Dan sejarah Yang Dipertuan Muda
Riau bermula di sini.
Tun Irang mirip Cleopatra dalam ambisi dan strateginya. Pada tahun 58 SM (hampir 18 abad sebelum Tun Irang), Cleopatra yang tinggal bersama ayahnya, Ptolemaios XII hidup dalam
pembuangan di Roma setelah tahtanya digulingkan. Cleopatra mengambil kembali daulat ayahnya atas Alexandria dengan cara proksi: melibatkan pasukan Roma.
Yang
berbeda, ayah Cleopatra diusir oleh saudara kandungnya sendiri Berenike IV (putri sulung Ptolemaios XII), tapi
apakah Berenike akan berbeda dengan tabiat Tengku Kamariah dengan pengkhianatan
diam-diam dua kali dari responnya saat dipersunting Raja Kecik? Dua kali,
pertama kepada daulat ayahndanya atas Kesultanan Johor dengan menjadi
permaisuri Raja Kecik bahkan ketika ayahnya dibunuh. Kedua, kepada kakak
kandungnya Tun Irang, yang awalnya dijodohkan dengan Raja Kecik.
Apakah semua makhluk Venus akan dimaklumkan seperti ini?
Apakah sejarah akan memaafkannya karena makhluk Venus memang akan
memperjuangkan emosi cintanya, ketimbang berjuang cara logika menegakkan daulat
bersama para pria Mars di pihaknya?
Cinta membunuh kewajiban, kata Jon Snow kepada Tyrion
Lannister dalam Game of Thrones. Tapi
Tyrion membalasnya dengan mengatakan, kewajibanlah yang membunuh cinta. Entahlah, yang jelas mereka sedang
membicarakan Daenerys Targaryen, wanita penunggang naga dan ratu tujuh kerajaan,
yang terbunuh oleh Jon Snow, pria yang ia cintai.
Pada
kesempatan lain, Cleopatra makin serupa dengan Tun Irang, bila Tun Irang
menggunakan strategi ranjang politik dengan kata sandi Penanak Nasi Raja
Bugis, Cleopatra memikat bangsawan Roma, Julius Caesar untuk kemudian
menganeksasi Alexandria sekaligus mengukuhkan tahtanya. Pada kesempatan lain
Cleopatra menikahi Mark Antony dengan tujuan politis yang sama. Kembali mirip Daenerys, wanita dengan naga penyembur api yang menjalin asmara politik dengan Khal Drogo, Daario Naharis, sampai Jon Snow.
Tun Irang
sangat mungkin tidak membaca Cleopatra, sebagai sesama wanita yang tahta
ayahnya dirampas (atau apakah ia mendengar hikayat Sang Rajuna Tapa yang membuat
strategi proksi dengan membuka gerbang istana bagi legiun Majapahit untuk
mengusir Parameswara?). Tapi secara kebetulan kedua wanita ini bisa melakukan
strategi yang sama yakni siasat proksi dan cinta, khas makhluk Venus.
Kita
tidak ingin menyebut fenomena tersebut sebagai antagonisme, karena setiap zaman
memiliki standar moral dan nilai-nilai universal yang berbeda. Secara elok dan
penuh dramatis, Rida menempatkan Tun Irang sebagai patriot perempuan Melayu
yang sejajar dengan Raja Hamidah dan Tengku Embung Fatimah, dengan satu standar
moral bahwa daulat dan marwah harus memenuhi haknya untuk ditegakkan.
Saya
ingin merekomendasikan Selak Bidai Lepak Subang Tun Irang kepada para pecinta sejarah Melayu,
sebagai salah satu sekuel paling menarik dari episode raja-raja Melayu dalam
klimaks Sultan
Mahmud Mangkat Dijulang. Tahniah Dato’ Rida !.
~MNT
Comments