Ilustrasi: cdn2.tstatic.net |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Tidak ada
satu bangsa pun yang maju secara teknologi tanpa penghancuran kreatif (creative
destruction) yang sejak lama dielaborasi oleh Joseph Scumpeter sebagai
syarat agar aliran ekonomi dapat bertahan.
Tidak ada
bangsa yang tahan begitu lama membeku dari inovasi teknologi yang telah
menggerakkan zaman. Bila disrupsi inovasi masih didefinisikan sebagai sesuatu
yang mengganggu kelanjutan industri konvensional, itu adalah tanda-tanda untuk
disebut sebagai reruntuhan. Namun kita akan tiba pada suatu masa, penghancuran
kreatif justru akan menjadi musuh bersama spesies manusia.
Disrupsi
adalah istilah yang pertama kali dipopulerkan Clayton Christensen, ekonom dari
Harvard Business School pada 1995. Fenomena ini ditandai dengan
munculnya berbagai inovasi, teknologi, platform, dan
model bisnis baru untuk memenuhi selera publik yang menuntut kebaruan dan
memenangkan kedigdayaan melalui pengorbanan yang sedikit.
Teknologi
terus menerus melesat untuk melayani masyarakat pasar. Lalu bagaimana dengan
pihak yang dilayani, ketika eksistensi mereka sendiri sedang terancam. Masa
depan sehadap dengan dilema terbesar, di satu sisi kemeriahan inovasi harus
bisa terserap, di sisi lain algoritma robotika semakin melucuti otak dan otot
manusia.
Manusia
pengangguran yang dicampakkan oleh industri otomasi tidak akan membeli apa-apa.
Sementara sistem ekonomi sebagai sebuah dinamika yang kontinum tidak akan bisa
menjauh dari hukum besi penawaran dan permintaan (the law of supplay
and demand).
Kita akan
berada pada titik kritis, akankah memenangkan eksistensi kita yang lemah atau
melanjutkan proyek inovasi yang pasti akan menyikut. Bisakah filsafat
menjinakkan dan menahan laju inovasi demi manusia yang mestinya mereka layani.
Mari kita
tinjau melalui formulasi filosof Martin Heidegger (1889 – 1976) seorang
penggagas fenomenologi. Teknologi kata Heidegger, berada di antara manusia
dengan dunia. Alat menghubungkan kita dengan dunia, aparatus penghubung. Benda
menentukan siapa kita.
Semua
benda itu menurutnya adalah readiness to
hand (siap pakai), keberadaannya ditujukan bagi sesuatu, sehingga
teknologi tidak
akan pernah bisa netral, karena ada motif dan ada akibat. Jika teknologi
hanya dipahami sebagai yang instrumental, maka dia telah tercerabut dari
esensinya.
Kita
berharap Heidegger masih didengar oleh para inovator akhir zaman: teknologi
tidak bisa dibiarkan netral, ia harus memihak manusia, di tengah seluruh
kelengkapan telah dipersiapkan untuk menggantikan kita. Robot – robot super
cerdas dan kuat akan melenggang di tengah manusia. Ini akan menjadi
penghancuran kreatif babak akhir.
Jangan
bayangkan mereka seperti sekarang serupa tengkorak titanium dengan mata kristal
yang berpijar, bahkan mereka bisa lebih tampan, lembut dan cantik, juga lebih
berperasaan sebagai sebuah penyempurnaan dari cyborg (cybernetic
organism): hasil perkawinan manusia dengan robot. Dan suatu masa
manusia akan benar-benar menikahi robot.
Bicara cyborg, akan
muncul elit – elit dunia, manusia – manusia super yang ke dalam otak dan otot
mereka sudah ditanamkan keunggulan robot. Mereka amortal yang
secara sains tidak tua dan mati oleh penyakit. Namun ajal akan tetap menjemput
mereka dengan campur tangan Tuhan.
Kecerdasan
otak manusia digantikan oleh pengerkahan data yang dimulai oleh peristiwa dewa
pecatur Garry Kasparov yang tak berdaya di hadapan mesin Deep Blue (1996)
atau pemeringkat mutu kebun anggur Bordeaux Perancis
terhebat yang masyhur sejak 1855, lalu kalah oleh prediksi Orley Ashenfelter
dengan hanya menggunakan kekuatan statistik.
Semua
jenis pekerjaan hampir tanpa kecuali pelan – pelan sudah terotomasi tinggal
kemudian apakah ia akan diserap atau menunggu saat yang tepat. Demikian pula
dengan tangan – tangan terampil seperti mahakarya Michelanggelo atau Leonardo
Davinci yang bisa dicipta ulang dengan hanya menekan tombol printer 3D.
Simfoni
terbaik sekelas Beethoven, prosa dan puisi terindah Kahlil Gibran atau keunikan
alegori Franz Kafka akan dengan mudah ditulis secara robotik dengan kualitas
yang membuat manusia tidak mampu membedakannya, untuk tidak mengatakan:
melebihinya.
Bahkan
untuk menghapus kebisingan dan pemborosan oleh ritual pesta demokrasi, dapat
diciptakan presiden robot terbaik jauh melebihi seluruh presiden yang pernah
ada. Dalam negara autopilot futuristik, presiden manusia dan lini pemimpin di
bawahnya mungkin masih diperlukan sebatas simbol.
Lalu apa
langkah kita, teknologi 4.0 itukah? Ia adalah gejala dari tren otomasi dan
pertukaran data terkini dalam teknologi pabrik yang justru menandakan fase yang
dirisaukan itu sudah mendekat.
Istilah
industri 4.0 mencakup sistem siber-fisik, internet untuk segala, komputasi
awan, dan komputasi kognitif.
Kita
tampak hanya fokus pada kemunculan para pebisnis pemula atau startup tapi
tetap berharap output-nya
akan diserap oleh pasar manusia yang terancam. Teknologi 4.0 hanya memberi
petunjuk adaptasi bukan solusi. Tidak jauh berbeda saat kita mengganti mobil
manual dengan gigi otomatis. Bahkan pabrik cerdas dalam 4.0 akan berupaya
mereduksi manusia sesuai watak aslinya: komputerisasi.
Antisipasi
terhadap ancaman kiamat digital dengan algoritma big data adalah
pekerjaan rumah terbesar kita, di samping tetap harus membereskan persoalan
kekinian bangsa yang ditangani secara banal, kebisingan demokrasi, korupsi yang
kultural dan sistematis, gelembung ekonomi, bonus demografi, dan merosotnya
dialektika esensial sebagai anak bangsa, akibat defisitnya literasi. ~MNT
Comments