Ilustrasi: Pixabay |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Pada
tahun 1346, segerombolan penumpang gelap dari Asia menaiki kapal milik saudagar
yang melintasi Jalur Sutra sebagai urat nadi terpenting di kawasan trans-Asia.
Mereka kemudian menyebar teror kematian hitam atau The Black Death dan
memakan hampir separuh penduduk dunia. Petani yang lolos dari maut bangkit
untuk menuntut balas.
Giovanni
Boccaccio, seorang penyair lagenda dari Florence, Italia yang menyaksikan
langsung tragedi ini menulis catatan: Ketika mereka datang
dengan cepat, segala akal budi dan kepandaian manusia tak berdaya
menghadapinya. Mereka memiliki kecepatan luar biasa dan amat mengerikan, darah
yang menetes dari hidung adalah petanda bahwa ajal sudah dekat.
Penumpang
gelap yang menduduki kapal milik saudagar Genoa itu adalah tikus – tikus yang
di dalam tubuh mereka hidup enterobakteria Yersinia Pestis penyebab
penyakit Pes. Kisah pembantaiannya dimulai dari kota Tana hingga seluruh
Mediterania. Pada 1347 gelombang penyakit ini sudah menyerang Konstantinopel,
lalu pada musim semi 1348, mereka sudah mematikan separuh penduduk Prancis dan
Afrika Utara, sebelum singgah ke Italia.
Daron
Acemoglu menulis, begitu mengetahui penyakit ini –atau mereka menyebutnya
kutukan- akan segera melanda negerinya, pada Agustus 1348 di Inggris Raja
Edward III memerintahkan Uskup Agung Canterbury untuk menggelorakan doa bersama
dan seluruh uskup menulis maklumat agar rakyat bersiap menghadapi petaka ini.
Ritual
tersebut hampir tidak membantu, karena dalam sekejap separuh warga Inggris
telah lenyap. Bencana ini secara drastis menimbulkan dampak terhadap tatanan
negara dan sosial. Ketika itu rakyat ditekan kuat – kuat oleh tangan – tangan
feodal. Seluruh rakyat adalah budak tani atau serf, yang
diupah sangat kecil dan dicambuk.
Pada 1349
hanya sedikit petani yang tersisa dan bersiap meninggalkan ladang atau membuat
perhitungan kepada tuan tanah yang tak lain adalah bangsawan – bangsawan
feodal. Pada 1351 Pemerintah Inggris berupaya menghentikan gelombang tuntutan
kaum tani dengan semacam Statuta Pekerja.
Namun
siapa peduli, tikus – tikus penumpang gelap dari Asia itu telah membuat mereka
bergelora dan menetapkan nilai yang tak bisa ditawar. Pada tahun 1381 meletus
Revolusi Petani di Inggris yang digerakkan oleh Wat Tyler. Meskipun nyawanya
berakhir tragis melalui hukuman mati, namun revolusi ini telah menjadikan
sistem kerja paksa feodal di Inggris berhenti total. Negeri ini segera mencatat
pertumbuhan pasar tenaga kerja inklusif disertai tingkat upah tinggi, yang kemudian
menjadi model terbaik dunia di abad pertengahan.
Kisah ini
memberi kita catatan bahwa sepak terjang feodalisme telah menitipkan mimpi
buruk ke dalam sejarah panjang dunia. Feodalisme hanya bisa ditumpulkan dengan
berbagai revolusi sebut saja Revolusi Agung di Inggris, Revolusi Perancis,
Revolusi Amerika, atau tragedi mengerikan seperti The Black Death.
Kitab –
kitab filsafat dimusnahkan, dan embrio – embrio teknologi tinggi dimatikan oleh
sejarah feodalisme dalam hampir 2.000 tahun. Para tiran hanya menerima proposal
teknologi senjata untuk menjinakkan rakyat dan mengobarkan perang, disamping
merangkul tuhan-tuhan untuk memastikan rakyat tetap berlutut.
Bahkan
hingga abad modern anasir-anasir feodalisme tetap dipertahankan agar kekuasaan
menjadi kukuh. Menyimak definisi feodalisme sebagai struktur pendelegasian
kekuasaan sosio-politik yang dijalankan kalangan bangsawan atau monarki untuk
mengendalikan berbagai wilayah yang diklaimnya melalui kerja sama dengan
pemimpin-pemimpin lokal sebagai mitra.
Dalam
pengertian yang asli, struktur ini disematkan oleh sejarawan pada sistem
politik di Eropa pada Abad Pertengahan, yang menempatkan kalangan kesatria dan
kelas bangsawan lainnya (vassal) sebagai
penguasa kawasan atau hak tertentu (disebut fief atau,
dalam bahasa Latin, feodum) yang
ditunjuk oleh monarki, biasanya raja atau lord.
Rakyat
juga perlu disadarkan bahwa kadang-kadang ilusi nasionalisme yang memiliki
tugas mulia, landasan logikanya dibelokkan oleh para politisi, sampai rakyat
tidak mampu membedakan mana kepentingan negara yang hakiki dan mana kepentingan
politisi yang sedang berkuasa di dalam sistem negara.
Bangsa
Indonesia tradisionalis yang telah turun temurun pernah berada dalam budaya
feodalisme tampak kesulitan memindahkan kuadran berpikirnya dari keturunan
jelata di masa lalu, menjadi rakyat demokratik modern yang punya nilai tawar
seperti petani Inggris dalam kisah The Black Death.
Dalam
2.000 tahun gen – gen feodalisme yang menancap kuat di tubuh manusia bumi
menciptakan sistem algoritma, salah satunya seperti gerak refleks dari alam
bawah sadar untuk membungkuk di hadapan petinggi. Padahal kita telah sepakat
untuk mendirikan negara demokrasi.
Dalam
sistem demokrasi yang dirancang di Athena kuno, senat dan pemimpin adalah
petugas, yang sewaktu – waktu siap dihadirkan oleh sidang rakyat di Acropolis
atau dipecat untuk digantikan dengan petugas yang lain.
Kita
memang tidak mesti sedemokrasi itu, tapi paling tidak sebagai pengingat bahwa
feodalisme dan demokrasi adalah musuh bebuyutan. Jangan coba-coba dikawinkan.
~MNT
Comments