Ilustrasi: www.fdsd.org |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Entah belasan atau puluhan kali aku memusuhi cara kerja demokrasi
melalui tulisan – tulisan. Berlagak bagai pria tampan Plato, filosof aristokrat
yang berkali – kali terlibat dalam percobaan menyeret demokrasi keluar melewati
tapal batas Athena. Membiarkan bangsa apapun memungutnya, agar seolah – olah
mereka punya peradaban dari sekadar tirani bahkan barbar. Plato sudah
meramalkan demokrasi akan mengidap cacat bawaan.
Plato hidup dua tahun setelah Kaisar Pericles padam. Barangkali ia
terobsesi pada Pericles yang berhasil menyepuh Athena menjadi keemasan, yang
tampil ke pucuk kekuasaan tidak dengan jalan elektoral yang gaduh bagai kita.
Itu yang aku maksud, tapi tunggu dulu, tidak akan sesederhana itu.
Athena adalah keajaiban. Manusia – manusia genius berkumpul pada
satu kepingan puzzle sejarah yang singkat, mungil, lagi padat. Maka upaya
penemuan para Aristos, manusia-manusia
unggul atau super yang bisa mengatur negara dengan hebat, tanpa keterlibatan
seluruh bangsa yang terengah-engah dalam upaya penemuan diri mereka sendiri
sebagai rakyat demokratik, akan lebih logis kelihatannya.
Bicara logika, Aristoteles adalah bapaknya. Idealisme Plato yang
rigid tak mungkin jalan sehingga ia mengelaborasi demokrasi dan monarki. Kerja
kawin silang ini kemudian menghasilkan simposium akal budi yang elegan dan
efektif. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa Trio Socrates, Plato, dan
Aristoteles tidak
sepakat dengan demokrasi yang kita puja hari ini.
Mungkin karena mereka membaca corak buruk demokrasi elektoral yang
dilangsungkan di Apella oleh para Spartan pada 700 SM. Berandai, Tony Stark
alias Iron Man dan Hulk atau DR Brush Banner dari kabinet Avengers meminjamkan
mesin waktu kepada Aristoteles untuk meninjau pesta demokrasi di Indonesia, ia
akan tampak kepayahan mencari perbedaan antara Sparta kuno dengan Indonesia
modern.
Filsafat klasik Platonik menolak demokrasi, filsafat pertengahan khususnya
Aristotelian menawarkan jalan tengah, filsafat ultra modern bahkan mungkin tak
menginginkan adanya pengatur yang lemah (baca: negara). Athena pernah
menjalankan demokrasi sebelum filsafat mekar. Di bawah komando
Cleisthenes, warga Athena mendirikan negara demokrasi pertama pada tahun
508-507 SM.
Cleisthenes memang disebut sebagai Bapak Demokrasi
Athena, tapi bila bangsa Yunani bernostalgia di sepanjang zaman kuno, hati
mereka akan tertambat pada Pericles, seperti orang Hangzhou memuja Gubernur Su
Tungpo selama ribuan tahun. Kedua–duanya jelas tidak dipilih melalui elektoral
yang menyimpan titik lemah, apalagi membiarkan orang yang baru sembuh dari
penyakit gila ikut memilih.
Pericles gagal mempertahankan zaman keemasan Athena bukan karena
dia salah pilih, tapi akibat kesombongan intelektual warga negaranya serta
menganggap remeh kekuatan militer Sparta, Persia, Thebes hingga Macedonia,
kampung asal Aristoteles. Demikian pula Su Tungpo, pemimpin genius Hangzhou kuno
yang memilih membayar upeti kepada musuh negara ketimbang memperkuat pertahanan
militernya.
Sekarang begini saja, percuma berdebat tentang demokrasi karena
kita sudah mengatup rapat alternatif lain atau terlalu tergoda dengan
pragmatisme Amerika. Entahlah, yang pasti demokrasi kita terbaca sebagai ritus
kebisingan periodik berbiaya mahal.
Mode ini tetap dipertahankan berdasarkan fobia kepada sejarah
hegemoni diktatorial. Sepanjang kita belum menemukan cara aman lainnya,
demokrasi akan kita pertahankan sebatas ritual kebangsaan, setingkat menyelupkan
kemenyan pada pembakaran dupa.
Alih – alih membiarkan demokrasi menjadi barang rongsokan,
bagaimana bila kita sepuh dengan lelehan emas kebijakan. Ini semacam jalan
tengah yang lebih tengah ketimbang Aristoteles. Bias demokrasi Athena bisa
diatasi dengan membungkam para Sophis yang menjual akrobatik verbal.
Maka hari ini kekacauan narasi karena membiarkan para politisi
banyak bicara untuk mengatur negara harus diendapkan.
Kita membutuhkan
Demokrasi Avant-garde. Avant-garde menunjukkan
perlawanan terhadap batas-batas apa yang diterima sebagai norma dalam suatu
kebiasaan kaku.
Pengaturan negara harus diserahkan kepada orang-orang brilian.
Bila di Athena yang kecil dapat dilakukan secara manual, di kita bisa melalui Big Data atau
mengaktifkan mesin Super Crunching misalnya,
atau dimulai uji kelayakan dan kepatutan berskala nasional serta masif dari
semua disiplin ilmu.
Sehingga kemudian yang terhimpun adalah para aristokrat ilmiah
bukan oligarki politika. Tidak ada yang tidak mungkin, mereka bisa dirangkum
untuk merumuskan cetak biru (blue print) penyelenggaraan
negara. Sementara presiden, gubernur dan seterusnya ditempatkan kepada
pemenuhan syarat konstitusional belaka.
Tugas mesin-mesin demokrasi seperti partai politik adalah
memproduksi orang-orang terhebat mereka untuk ditawarkan kepada rakyat.
Sehingga siapapun yang terpilih untuk duduk di parlemen atau eksekutif sudah
pasti orang yang kompeten. Kita tidak usah khawatir bila sekawanan manusia barbar
masuk ke sistem pemilu untuk merusak tabulasi atau surat suara dengan cara
tolol.
Titik lemah demokrasi tingkat pertama adalah
meloloskan orang-orang tidak layak bahkan invalid dan
berpotensi kriminal ke dalam negara dengan cara elektoral atau akrobatik, lalu
kita terlalu permisif.
Sejauh ini tidak ada pemimpin parpol yang dihukum karena telah
mengirim penjahat ke dalam negara. Atau menghukum mereka dua kali karena telah
mengirim diri sendiri ke dalam negara lalu membuat kekacauan. Coba saja ini
dilakukan, maka Indonesia akan menemukan bursa orang-orang super yang siap
berjuang untuk negara dari parpol yang sudah insyaf.
Titik lemah demokrasi tingkat kedua, adalah
kultus individu. Pemimpin yang mereka usung adalah harga mati, padahal jika
parpol sebagai produsen kandidat berhasil mengirim orang-orang super, dan
negara berjalan secara autopilot melalui
aristokrat ilmiah tadi, siapapun presiden yang terpilih, negara terus dapat melesat
menuju utopia. Entah belasan atau puluhan kali aku memusuhi cara kerja
demokrasi melalui tulisan – tulisan, dan giliran Plato yang diseret keluar
melewati tapal batas. ~MNT
Comments