Ilustrasi: tealswan.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Kebenaran
umpama selembar cermin di tangan Tuhan yang jatuh pecah berkeping-keping.
Setiap orang memungut kepingan itu, memerhatikannya, lalu berpikir telah
mengenggam kebenaran. (Jalaluddin
Rumi)
Artinya
kebenaran penuh yang dipegang siapapun adalah setengah dari keseluruhan. Apa
yang kita kuatirkan hari – hari ini tidak sama menakutkannya dengan fakta.
Cermin kebenaran ada di tangan Tuhan, kita hanyalah pemungut serpihan. Tapi ada
banyak (versi) Tuhan yang disembah, tiap – tiap Tuhan memegang cerminnya
sendiri. Pemuja Tuhan parsial akan terus berselisih, karena begitu banyak
cermin di langit untuk mereka lawan. Manusia di bumi harus diakurkan dengan
cara yang satu ini: Big Data.
Secara
teknis, fenomena Big Data dimulai
pada tahun 2000 oleh Doug Laney, seorang analis industri, sebagai tindakan
pengumpulan dan penyimpanan informasi yang besar untuk kebutuhan analisis.
Dengan volume yang besar, Big Data perlu
ditarik dari fungsi awalnya sebagai pemandu strategi dan keputusan bisnis untuk
hal – hal yang lebih universal.
Sebagian
kita masih ditakutkan oleh ancaman perang dan terorisme, tanpa menoleh kepada
data, itu akan terlihat benar. Bahkan dalam debat tingkat calon presiden, kedua
isu ini seolah berada di puncak tertinggi mesin pembunuh umat manusia. Perang
dan ancaman terorisme membuat bangsa – bangsa terus gelisah sehingga memperkuat
pertahanan militernya.
Big Data yang
menghimpun seluruh fakta menjadi istilah yang paling relevan dalam filosofi
holitisisme, yakni suatu prinsip yang mengedepankan cara pandang universal
ketimbang hal – hal parsial sebagai sebuah fatamorgana gunung es. Ketika kita
yang partikular berhimpun di atas permukaan air demi menatap puncak gunung es,
orang – orang holistik menyelam di bawah permukaan untuk mengabstarksikan fakta
besar yang tersembunyi.
Benarkah
terorisme sebagai musuh paling mematikan umat manusia? Kita bisa buktikan dari
sebuah jurnal yang berjudul Deaths from
Obesity (2013) yang merilis data, dalam tahun 2010, obesitas dan
penyakit –penyakit terkait telah membunuh 3 juta jiwa, sementara teroris hanya
mampu melenyapkan 7.696 orang di seluruh dunia yang sebagian besar di negara –
negara berkembang yang labil. Bahkan kata YN Harari dalam Homo Deus, bagi
rata-rata orang Amerika, minuman bersoda menjadi ancaman mematikan ketimbang al
Qaeda.
Seseorang
akan mengutuk dengan keras aksi – aksi terorisme dan pikiran-pikiran radikal
dari layar televisi, sementara di dalam lemari pendinginnya tersimpan begitu
banyak material pembunuh. Dunia tidak lagi sama dengan tahun 1919 atau sebelum
itu di mana perang, kelaparan, wabah penyakit menghabisi populasi manusia. Manusia
abad ini dibunuh oleh karbo, gaya hidup dan obat penenang.
Anggaran
pertahanan yang tinggi bagi setiap negara lebih kepada berpacu gengsi, bila
melihat fakta bahwa perang semakin menjauh dari tren global. Oleh Azar Gat
dalam War in
Human Civilization (Oxford University Press, 2006), sejak paruh abad
ke-20 kekerasan terhadap manusia hanya menyebabkan 5 persen dari angka kematian
global sementara pada abad ke-21 hanya tersisa 1 persen.
Misalnya
pada tahun 2012, dari 56 juta orang yang mati di seluruh dunia, 600.000 orang
tewas akibat kekerasan manusia, namun yang disumbangkan oleh perang hanya
120.000 orang, dan sebagian besar lainnya akibat pembunuhan. Bandingkan dengan
800.000 orang yang mati bunuh diri dan 1,5 juta lainnya mati karena diabetas.
Tetap saja bubuk mesiu kelihatan lebih menakutkan daripada serbuk gula.
Negara
dan masyarakat global semakin cerdas untuk menghindari perang atau menginvasi
suatu negara, karena sejarah mengajarkan bahwa tabiat-tabiat rendah geopolitik
tidak pernah menemukan alasan pembenaran yang logis selain kesengsaraan, tak
peduli menang atau kalah. Dan senjata nuklir telah menahan semua orang untuk
tidak memulai perang jenis ini, kecuali ingin mempercepat kiamat dengan bunuh
diri massal.
Badan
Narkotika Nasional (BNN) merilis, 37 sampai 40 orang Indonesia mati tiap hari
karena narkoba. Sementara sekitar 2,2 persen dari total 262 juta jiwa
penduduk Indonesia, telah terkontaminasi narkoba. Padahal secara internasional,
suatu negara dinyatakan darurat narkoba jika 2 persen penduduknya telah
mengkonsumsi narkoba.
Sayangnya
fakta mencemaskan ini tidak sempat diperbincangkan dalam debat capres dan
isu-isu seputar kritik oposisi dan kinerja petahana. Hal – hal substansial
seperti rapuhnya sistem keuangan global, keseimbangan ekologi planet, polusi,
pemanasan global, paradoks digitalisasi yang mengancam eksistensi manusia,
campur tangan sandi-sandi piranti lunak pemicu bom digital dan perang siber
luput dari narasi – narasi percaturan politik di Indonesia.
Jika
pecahan – pecahan cermin Tuhan tidak utuh kita terima, marilah menyelam ke
lautan data. Jika pun kebenaran tidak kita peroleh atau ingin kita tolak dari
sana, setidaknya apa yang kita yakini sebagai kebenaran hari ini harus siap
untuk diuji kapan-kapan. ~MNT
Comments