Ilustrasi: immediate.co.uk |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Manusia
modern berada dalam kegelisahan panjang ketika sains terus mendesak masuk ke
wilayah kekuasaan Tuhan. Para petani kuno yang merasa sebagai puncak
penciptaan, mencari tuhan apapun untuk disembah. Namun begitu sains muncul,
agama terutama di dunia Barat bergeser kepada pemujaan manusia.
Humanisme
menjadi agama baru manusia modern yang belum lama melewati revolusi sains.
Ide-ide dasar humanisme seperti liberalisme, komunisme, dan Nazisme misalnya
memusatkan seluruh dinamika kosmos kepada kepentingan manusia. Semuanya
menjadi paradoks karena humanisme bertugas memastikan tidak ada satu manusiapun
boleh tersakiti, bahkan oleh tuhan.
Kejahatan
berlandaskan tuhan di abad kegelapan dijadikan alasan pematahan mitos dengan
cara ini: Tuhan tidak mungkin jahat. Tuhan penghukum dan pemarah yang melirik
dengan kejam di atas ketinggian hanyalah imajinasi manusia kuno. Tuhan yang
bersekongkol dengan iblis untuk mengusir Adam, jangan-jangan bukan tuhan. Jika
demikian adanya, tuhan tidak ada. Karena Dia begitu mulia. Begitu kira – kira.
Dalih
lainnya, para saintis meminjam Tuhan Aristoteles yang berada jauh di ujung
semesta raya. Tuhan hanya sebagai penggerak pertama (prima causa), dan
memberikan percikan ilahi kepada manusia. Setelah itu tuhan beristirahat atau mati
ketuaan. Jika tuhan tidak juga mati, maka mereka meminjam Orang Gila ciptaan
Nietzsche untuk membunuhnya. Atau segera percaya pada Kosmolog Stephen Hawking
yang menjelajah semesta raya dan tidak melihat tuhan yang ia cari di Horizon Peristiwa sebagai
pembatas ruang dan waktu.
Apa
kata Carl Sagan yang mendapat julukan The People's
Astronomer. "Gagasan bahwa sosok Tuhan adalah seorang pria kulit putih
besar dengan janggut yang menjuntai dan sedang duduk di atas langit untuk
menghitung berapa banyak burung gereja yang jatuh, adalah sangat menggelikan.
Tapi jika 'Tuhan' itu berarti seperangkat hukum fisika yang mengatur alam
semesta, maka itulah yang disebut Tuhan". Sagan menyangkal sebagai seorang
ateis dan hanya mengaku agnostik.
Salah
satu dogma humanisme Barat adalah bahwa manusia memiliki kehendak bebas.
Tidak ada takdir, yang ada hanyalah eksistensialisme. Kegelisahan
eksistensialis menjadi tema utama era romantisme Eropa. Pergulatan antara etik
dan estetik terselesaikan dalam dialektika kronologi.
Bila
di abad kegelapan, ateis adalah kejahatan tak terampunkan, maka zaman ini
ateisme adalah lifestyle. Apakah
kemudian pemuja humanisme mengaku paling modern? tidak sebentar lagi. Teori ini
segera kuno, ketika para saintis sedang mengaktifkan bom waktu di laboratorium.
Era
ultramodernisme muncul dan membuka cakrawala yang tak pernah singgah di benak
manusia manapun sebelumnya. Bahwa manusia tak punya kehendak bebas bahkan roh.
Apa yang ada dalam pikiran manusia hanyalah algoritma biokimia. Sains dapat
menciptakan sesuatu yang lebih cerdas, lebih kuat dan apapun kelemahan pada
manusia akan dilipatgandakan dengan skala paling maksimal.
Bahkan
manusia tidak pernah tahu apa yang terbaik untuk dirinya sebaik mesin pengerkah
angka atau big
data milik Google. Di
era ini manusia diprediksi akan meninggalkan humanisme apalagi tuhan, dan
segera beralih ke agama data. Soal data paling tidak sudah dibuktikan oleh
sebuah mesin bernama Deep Blue yang mampu mengalahkan pecatur dunia Garry
Kasparov pada 1996. Deep Blue segera mengistirahatkan pemujaan terhadap
kemampuan manusia setelah mengantongi data dari 700.000 pertandingan grand master.
Menurut
Ian Ayres dalam buku Crazy Nomics, alat
pengerkah data bernama Super Cruncher dapat
melakukan prediksi akurat tak terbantahkan terhadap apapun di masa depan. Tidak
hanya memprediksi ketepatan bakat, namun juga dapat menemukan jodoh terbaik
manusia dengan tingkat kegagalan nol persen. Hal ini semudah dilakukan dengan
nol persen kecelakaan dan kemacetan di sepenuh jalan raya, dengan otomatisasi
kemudi seperti Google's Driverless Cars.
Ketika
era ini tiba, pikiran – pikiran manusia yang lemah dan berpotensi gagal sudah
tidak ada gunanya. Politik sebagai pikiran sempit –setidaknya dari kacamata
filosof dan mesin data- tentang siapa yang paling layak menjadi pengatur, akan
menjadi tidak layak satu pun. Potensi chaos pada
setiap negara sebagai sisi gelap politik dengan mudah dapat dibersihkan oleh
digitalisasi terintegrasi.
Dataisme
akan mendobrak dengan kekuatan penuh dan mensinergikan semua disiplin ilmu di
dunia, hingga musikologi, ekonomi dan biologi. Simfoni Kelima Beethoven, buih
bursa saham dan virus flu hanyalah tiga pola aliran data yang bisa dianalisis
dengan menggunakan konsep dasar dan alat yang sama. Sains telah menjawab semua
pertanyaan dan kebutuhan manusia, yang selama beribu tahun dilantunkan lewat
doa monolog yang spekulatif.
Maka
sebagai manusia bertuhan, tidak sebaiknya kita larut dalam kegelisahan
post-modernisme. Bahwa ada ruang metafisis yang tidak terjangkau sains, dan di
situlah Tuhan tersembunyi. Soal ketiadaan kehendak bebas yang mengiringi
eksistensi manusia, seutas tali yang dijulurkan al Quran melalui QS. Ar-Ra’d sudah
cukup dijadikan pegangan.
Ayat
itu berbunyi: Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah
apa yang ada pada diri mereka. Artinya manusia memiliki kehendak bebas untuk
mengubah nasibnya sendiri (meski di belakang hari diatur oleh komputer), dan
takdir bukanlah otoritas absolut.
Bagi
dunia Barat yang sedang diselimuti kegamangan hubungan dengan Tuhan, mungkin
perlu merenung sebuah kredo dari teolog dan fisikawan Blaise Pascal
(1623-1662). Bahwa jika keberadaan Tuhan tidak dapat dipercaya, seseorang harus
bertaruh bahwa Tuhan itu ada, karena kita tidak akan kehilangan apapun jika
kita hidup sesuai dengan perintah-Nya. Taruhan ini ada dalam karyanya, Pensées.
Dengan
bahasa sederhana dapat diterjemahkan, sebaiknya percaya saja kepada Tuhan
karena tidak ada ruginya. Bagaimana nanti setelah mati Tuhan benar-benar ada,
tapi kita sudah terlanjur ateis.
Ungkapan
Pascal yang amat terkenal berbunyi: hati mempunyai alasan-alasan yang tidak
dimengerti oleh rasio. Dengan pernyataan ini Pascal tidak bermaksud menunjukkan
bahwa rasio dan hati itu bertentangan. Hanya saja, rasio atau akal manusia
tidak akan sanggup untuk memahami semua hal (terutama pembuktian Tuhan). ~MNT
Comments