Ilustrasi: www.hrinasia.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Pada saat
roda ditemukan, ribuan pasang kaki diistirahatkan. Kuda–kuda dipekerjakan untuk
menarik pedati. Begitu Henry Ford memproduksi cetak biru Oldsmobile pada
1910, orang-orang mulai berpikir untuk memecat kuda sekaligus
kusirnya. Kusir diganti sopir yang merayakan era revolusi mobil dalam satu
abad. Dan tidak lama lagi semua sopir dipecat.
Umat
manusia akan menghadapi senjakala tiada ampun terhadap semua jenis pekerjaan
yang menopang mereka. Kuda–kuda terlatih mampu mengendus, mencintai, mengenali
wajah, melompati pagar, dan melakukan ribuan hal yang tidak bisa ditiru oleh
Ford Model T dan Lamborghini seharga satu juta dolar, tapi tetap saja mereka
dipecat. Mungkin beberapa kuda pernah meringkik menolak surat pemecatan, namun
pemuja mesin uap mana yang peduli. Begitu pula dengan manusia di masa depan.
Sopir-sopir
bahkan siapapun yang berada di belakang kemudi akan segera menjemput istirahat
panjang mereka begitu setir mandiri Google terotomatisasi (Google’s Driverless
Cars, 2005) sudah terkoneksi ke seluruh jaringan jalan raya yang dipandu oleh sistem
algoritma. Kabar gembiranya, kita tidak lagi menemukan kemacetan panjang dan
kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh human error.
Sebut
saja semua jenis pekerjaan manusia abad ini: pegawai bank, arsitek, tentara,
pialang saham, penjahit, PNS atau akuntan, apa saja. Alat-alat pemindai fMRI
misalnya, akan berfungsi sebagai mesin yang nyaris tidak pernah keliru. “Lalu
apalagi yang tersisa bagi jutaan pengacara, hakim, polisi, dan detektif?,” kata
Jordan Weissman dalam jurnalnya berjudul iLawyers. Kabar
gembiranya belum ada yang bisa menyuap sebongkah mesin.
Wartawan
bisa saja membesar-besarkan hati bahwa robot Quakebot paling-paling
hanya mampu menulis straight news dalam hitungan detik yang
kering sentuhan humanis dan sastrawi. Bahkan para ahli sudah berencana menyusun
algoritma yang mampu memberi sentuhan itu, semudah mereka meniru melodi yang
menyamai komposer Johann Sebastian Bach melalui teknologi EMI (Experiments
in Musical Intelligence). Kabar gembiranya, tidak ada lagi salah-salah
ketik dan berita hoaks.
Begitu
pula dengan dokter, Watson dari IBM sedang mengembangkan kecerdasan artifisial
yang mampu mendeteksi penyakit sekaligus mengenyahkan kemungkinan malapraktik
dokter manusia. Bahkan mereka mampu menyusun kata-kata dan mendeteksi emosi
pasien, serta menyampaikan kabar duka.
Ketika
fenomena ini sudah dekat dan mulai melahap karir anak – anak kita yang saat ini
menyerap materi – materi konvensional yang panjang dan melelahkan di sekolah
dan kampus mereka, haruskah mereka mengulang dari nol untuk mempelajari hal-hal
baru.
Lalu
siapa yang menjamin akan ada kelas–kelas usang macam itu. Ketika guru atau
dosen digital non manusia, menolak mengajar di papan tulis berbiaya murah, tapi
menganjurkan sebuah helm super mahal yang mampu mentransfer semua ilmu dan
keahlian yang harus dimiliki manusia sepanjang hidupnya hanya dalam hitungan
menit.
Jika hal
tersebut dapat dilakukan kepada manusia-manusia kloning dalam film The
Island dan Moon misalnya, maka juga bisa dilakukan
kepada manusia. Sebelum sampai ke sana, mari kita perhatikan ancaman yang
ditimbulkan oleh printer 3D yang kini sudah mampu menciptakan organ tubuh
manusia, mem-print out robot cantik mirip Scarlet Johansen,
mencetak mobil super dengan akselerasi dari nol sampai 100 kilometer per jam
hanya dalam waktu 2,5 detik, serta membangun rumah super cepat dengan biaya
hanya lima persen dari cara manual.
Semua
pekerjaan itu dilakukan dengan menyingkirkan jutaan manusia. Jangan bilang
printer 3D tidak bisa mencetak patung sehebat David mahakarya Michelangelo,
atau lukisan seagung Mona Lisa, Leonardo da Vinci, bisa.
Apakah
semua perubahan besar ini dapat dicegah seperti yang dilakukan Kaisar
Vespasianus atau Ratu Elizabeth I yang menolak penemuan baru agar rakyatnya
tetap punya pekerjaan? Benar kekuatan politik lah yang dapat mencegah atau
setidaknya menunda laju sejarah teknologi, misalnya dengan alasan etika dan
dogma, kloning terhadap manusia sudah dihentikan.
Tapi
sampai kapan itu bisa dilakukan? Manusia adalah tempatnya kilap. Apakah masa
depan akan sabar atas kesalahan berulang-ulang, pembunuhan pasif, kelemahan
otot dan durasi bertele-tele yang dilakukan oleh para pekerja manusia. Jika hal
itu harus terjadi, mulailah dengan memecat pejabat dan pegawai-pegawai korup
yang hobi bermain Solitaire.
Bicara
politik, politisi tidak akan bebas dari ancaman pemecatan. Tidak bisa lagi
sembarang orang terjun ke cawan suci politik hanya dengan mengandalkan formulir
dari partai politik dan bersungut tak tentu arah, ketika masyarakat demokrasi
yang sudah sangat lelah menuntut hasil akurat dan bersih.
Cortana
yang diciptakan Microsoft, Google Now dan Siri milik Apple sudah
mengembangkan big data yang mampu bertindak sebagai juru ramal
paling akurat keunggulan manusia. Dengan menekan tombol- tombol digital dalam
satu periode pemilu –atau katakanlah dalam satu putaran regenerasi pemimpin
atau anggota parlemen- hanya perlu beberapa detik, sampai kita mengucapkan
selamat datang kepada presiden dan anggota parlemen terhebat yang baru. Mungkin
pejabat di masa depan hanyalah simbol, cukup satu dua orang sebagai tanda kita
masih punya negara.
Akan tiba
suatu masa, ketika manusia-manusia biasa yang tidak memiliki cukup uang untuk
membeli dan mengakses teknologi super masa depan, dikurung ke dalam
kapsul waktu raksasa yang bergerak mundur.
Lalu
segelintir elit dunia akan mentransformasikan diri dan keturunan mereka menjadi
manusia-manusia dewa yang tetap hidup dan muda selamanya melalui teknologi
robot perang ukuran nano yang mampu memburu semua bibit penyakit di pembuluh darah
mereka. Untuk kemudian aman damai di surga yang dilayani para bidadari dan
malaikat digital. Inikah pintu-pintu kiamat versi teknologi, atau segera
disusul kiamat lain versi kitab suci? ~MNT
Comments