Idiotes

Ilustrasi: politicaypolitologia


Oleh Muhammad Natsir Tahar


Andai pangeran Silicon Valley Steve Jobs dikirim ke Athena kuno, ia akan diperlakukan sebagai tukang biasa, dengan gaji kecil, tanpa pengakuan, dan cibiran mengejek di belakang punggungnya. Yunani mengimpor begitu banyak budak untuk melakukan pekerjaan teknis, sementara mereka menghabiskan waktu untuk mengoceh.

Para Sophis menawarkan orasi monolog yang panjang dengan diskon khusus pada hari berbelanja di Agora. Sementara para filosof datang memperkenalkan dialektika, berbincang dengan sesi duduk yang lama, ketika seharusnya mereka merayap kemana-mana dengan berjalan kaki. Tapi seorang genius lainnya penemu Kleroterion sebuah perangkat cerdas yang mampu memilih juri secara acak dibariskan bersama budak, namanya tidak dicatat, nisannya tak punya epitaf.

Berbeda dengan Acropolis yang berada di dataran tinggi, Agora yang tepat di jantung Athena bukanlah tempat yang nyaman untuk berpikir. Entahlah bagaimana cara orang melihat keindahan di zaman itu, seperti kata sejarawan Jacob Burckhardt yang hidup di abad 19 –yang padahal tetap berantakan bila kita bandingkan dengan zaman ini- tidak ada orang waras dan tenteram di zaman dia, yang mau hidup dalam kondisi macam itu.

Para penjaja dagangan di Agora selalu riuh dan makin sempurna dengan lengkingan kecapi yang sumbang. Bau kotoran manusia menusuk di mana-mana, mereka tidak mengenal toilet atau toilet itu adalah seluruh permukaan tanah. Mereka membiarkannya tergeletak di tempat mereka berdiri sampai seorang budak datang menyiramnya. Bila Isaac Newton ada di zaman itu, ia mungkin akan dapat tugas menyiram sepenuh hati pada hari Rabu, dan Galileo Galilie pada hari Kamis.

Agora adalah tempat berdebat, tepatnya mengoceh ketika langit Mediterania belum dipayungi filsafat. Ini adalah zaman suara, yang dilihat dari manusia adalah suaranya. Inilah zamannya retorika, yang dilihat dari seorang pria adalah kemampuannya mengoceh.

Ada dua ahli retoris yang dijadikan Plato sebagai bahan percontohan. Dia adalah Gorgias yang mewakili kaum Shopis, retorikanya palsu berbayar dan berorientasi pragmatif, satunya lagi adalah Socrates yang menyiarkan retorika suci berdasarkan kajian filsafat. Dua bintang retorika lainnya pada zaman itu yang paling diingat kini adalah Demosthenes dan Isocrates.

Di sinilah demokrasi lahir. Demokrasi lahir dari keberantakan. Atau dari semacam kebisingan yang tak dikenal dunia modern –atau dikenal dalam bentuk lain- seperti yang dilakukan bangsa Sparta saat pemilihan umum.

Kita mengenal frasa hak suara yang dikaitkan dengan proses pemilu. Dalam Inggris hak suara dikenal sebagai voting right yang berarti hak pilih. Namun untuk istilah kotak suara, frasa yang digunakan sama yakni ballot box meski istilah ballot juga diartikan sebagai lotere atau undian.

Kita juga mengenal vox populi vox dei istilah Latin yang merujuk kepada suara. Mengapa proses memilih dikaitkan dengan suara, barangkali berkelindan dengan embrio demokrasi tempo kuno yang melakukan pemilihan dengan cara berteriak khas Spartan yang pemarah, lalu dikoreksi Aristoles dengan sistem mengundi yang tertib.

Athena adalah kuntum yang tepat bagi mekarnya demokrasi. Lokus paling ideal agar demokrasi menjadi efektif adalah negara kota, dengan setiap warga yang sangat beriya-iya untuk menjadi bagian yang menentukan masa depan negaranya.

Namun kesenangan bernegara tidak seluruhnya menjadi kehendak bebas, karena ada stigma bagi mereka yang tak peduli. Di Athena kuno, warga yang tak mau berpartisipasi dalam masalah publik disebut sebagai idiotes. Istilah idiotes pada zaman ini mendapat peyoratif yakni idiot: semacam ketololan tingkat cacing.

Idiotes di Athena kuno adalah juga para golongan putih yang kita kenal dengan akronim golput. Di zaman ketika derajat Steve Jobs terangkat menjadi dewa, kaum Idiotes pun menjadi fenomena kelas eksekutif. Di antara benang pemisah yang tipis antara idiotes dan idiot, terselinap rasa bangga sebagai kelas berpikir yang penuh selidik.

Jika tak juga ada pilihan yang memenuhi ekspekstasi jelang Hari H Pemilu, maka idiotes akan memulai rencana B: melipat tangan mereka sembari menonton dengan tatapan kosong orang berduyun-duyun menuju kotak suara. Padahal surat suara yang mereka biarkan kosong berpotensi mengundang banyak kemungkinan yang jauh lebih buruk.

“Sungguh bodoh mereka, yang tak mengetahui bahwa karena mereka tak mau tahu politik, akibatnya adalah pelacuran, anak terlantar, perampokan dan yang terburuk, (adanya) korupsi dan perusahaan multinasional yang menguras kekayaan negeri,” demikian Bertolt Brecht, penyair dan dramawan Jerman.

Tulisan saya kali ini sebenarnya paradoks dari tulisan sebelumnya berjudul Distopia Demokrasi dan tulisan senada lainnya untuk menolak demokrasi di Indonesia sampai ditemukan formula yang tepat atau memilih aristokrasi yang disempurnakan. Tapi mau bagaimana lagi? ~MNT



Comments