Ilustrasi: annirvingadvertising.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Kita
mengenal 26 alfabet Romawi dan saya harus mempertimbangkan 26 karakter apa yang
akan digunakan untuk memulai tulisan ini. Seperti kebanyakan orang yang
menginginkan penghindaran elegan dari potensi konflik, adalah dengan memulainya
dari huruf A: (A)pologia. Untuk sementara itu akan terlihat adil.
Apakah
kemudian huruf Z adalah kutukan seperti kita menyebut (Z)ombie atau
orang yang saban waktu mengantre di barisan terbelakang dengan inisial Z? Kutukan hanya mitos
ketika ia bisa dihindari oleh kehendak bebas. Nama yang kita sandang adalah
bukti bahwa kita telah diikat oleh gagasan masa silam.
Adalah
kehendak bebas dari mereka yang hidup sebelum kita, tapi kita kemudian menulis -untuk tidak
sepenuhnya bebas- dengan huruf yang ditentukan oleh orang kuno dari Semenanjung
Italia. Mengapa kita menggunakan aksara Latin atau Romawi selama lebih dari
2.000 tahun terakhir? Karena ia memiliki daya ikat yang melebihi alfabet apapun
yang pernah ada.
Padahal
bangsa Romawi bukanlah penemu huruf paling awal, mereka meminjam dari Aksara
Etruska untuk memulai huruf Latin Kuno. Etruska mengadopsi alfabet Yunani dan
mencontoh abjad Fenisia yang didahului oleh Proto Sinaitik dan berhulu
kepada Hieroglif Mesir. Lalu mengapa bukan Hieroglif Mesir?
Apakah Augustus lebih hebat dari Fir'aun?
Di sini
spirit glorifikasi memainkan perannya. Sejarah ditulis oleh pemenang, bahkan
menyediakan huruf-hurufnya. Bahkan bila Anda butuh informasi waktu kapan
sejarah itu pernah ditulis, mereka sudah membuat sistem penanggalan Kalender
Gregorian (1582 M), yang dipatuhi masyarakat dunia sampai hari ini. Dengan
seperti menutupi, bahwa angka (numeric) pada sistem penanggalan itu
sebenarnya dijemput dari bangsa Arab.
Apologia,
berarti saya mengatup kedua telapak tangan, memohon maaf atau semacam pengakuan
dosa. Tulisan - tulisan saya selama ini mengandung
paradoks. Bahkan satu gagasan kontradiktif dengan gagasan lain. Suatu hari saya
menolak neoliberalisme, dan di lain waktu memberinya peluang.
Pada
Jumat sore dua tahun sebelumnya saya mencerca ateisme, Senin pagi tahun kemarin
saya memberikan ruang kepada agnostik mempertanyakan eksistensi Tuhan.
Mengecam xenophobia Donald Trump di satu sisi kemudian
membelanya di sisi yang lain.
Meski
berpegang teguh kepada teori Sudden Creation penciptaan
manusia oleh Super Kosmos, Allah Tuhan Yang Maha Esa, namun saya juga tergoda
kepada cikal bakal Sapiens yang ekuivalen dengan sabda evolusi Charles Darwin.
Bahkan
atas semangat holistik dan keadilan sejarah saya memasuki literatur Yahudi
sampai Zionisme atau doktrin Karl Marx -tiga seri Das Kapital misalnya-
untuk melihat cara mereka berpikir. Saya mengangguk kepada Adam Smith, lalu
berhenti sampai penganutnya menyisakan bercak darah di panggung sejarah.
Genosida
di tanah koloni, perbudakan Afrika dan pengisapan terhadap negara Asia dan Sub
Sahara adalah sisi gelap kapitalisme yang setidaknya digurui tanpa sengaja oleh
Smith. Demikian pula diktatorial komunisme Marx yang gagal di mana-mana dan
proses ke mimpi utopia kaum proletar yang mendentangkan lonceng kematian pada
jutaan manusia.
Lalu
kemunculan John Maynard Keynes pada awal abad 20 yang menandai berakhirnya
ekonomi laissez-faire (semacam perlawanan terhadap intervensi
pemerintah melalui Ekonomi Pasar Bebas pada abad 18) tidak akan
sepenuhnya saya bela, demi menjemput fenomena futuristik yang tak terduga-duga.
Apalagi Keynesian adalah penyebab revolusi moneter dan gelembung ekonomi yang
sewaktu-waktu akan meledak.
Saya
ingin membentuk tulisan saya dalam bahasa filsafat atau setengahnya. Dengan
misalnya mempelajari sejarah filsafat ketika mulai jatuh cinta dengan para pria
Agora perenung: trio Socrates, Plato, dan Aristoteles. Saya juga menaburkan
tempias-tempias pikiran para filosof dunia sepanjang 2.500 tahun di sekujur
tubuh tulisan - tulisan saya. Kita akan tahu bagaimana aliran filsafat
mengalir, menjadi sempurna atau gagal.
Kilasan -
kilasan penting antara filsafat Barat, Timur, dan Islam dihubungkan oleh benang
merah dalam lintasan kosmos yang pendek -memandang umur bumi sudah 4,6 miliar
tahun- siapa yang menjadi pemenang di titik nol kilometer sejarah, siapa
meringkuk di abad pertengahan, lalu siapa yang menjadi pangeran di panggung
pertunjukan renaisans junto revolusi industri.
Fenomena
umum dari kumpulan tulisan saya adalah seperti ruang dan waktu yang dipadatkan oleh
Horizon Peristiwa (Event Horizon), sedangkan tulisan ini berjarak
sekitar lima tahun dari tulisan awal. Saya terlihat serius menulis sejarah
dunia paling epik, namun tiba-tiba menunggangi kapsul waktu untuk mendarat di
masa depan.
Maka
ide-ide yang saya tulis tidak akan konsisten pada satu dua tema, sementara
ritma dan proses intelektual sepanjang pengembaraan literasi memengaruhi
tingkat kedewasaan, bias optik dan pilihan diksi yang saya biarkan apa adanya.
Para
filosof mendesaki lorong sunyi penggalian pikiran untuk menemukan apa yang
terbaik, yang paling indah, dan yang paling benar, ketika banyak orang menari
di lantai estetik-hedonistik duniawi dan upaya-upaya parsial sebagai bekal
akhir zaman. Ketika mereka butuh utilitas yang sealiran dengan filsafat,
filsafat menyambutnya dengan wajah ketat.
Untuk itu
bersama tulisan - tulisan ini, saya ingin menitipkan kegelisahan holistis
filsafat dengan ramah. Secara lucu sebagai bangsa yang muda dalam bernegara,
kita tidak tampak tergesa-gesa di antara satu gunung Everest pekerjaan rumah.
Dalam begitu banyak masa dan energi dihabiskan untuk mengulang ritus demokrasi superfisial
untuk terlihat bahwa kita sedang bernegara, kita harus segera memendekkan jarak
antara kita dengan Utopia: sebuah negara khayali yang didambakan semua
orang.
Jangan
sampai kita kehabisan waktu ketika makin dekat dengan tatanan negara ideal,
justru konsep negara sudah tidak dikenal di muka bumi. Negara yang dibentuk
atas kegelisahan eksistensial adalah produk mitos. Dan kita perlu
bertaruh, apakah masyarakat global ultra-modernisme kelak masih butuh sekat -
sekat mitos yang acap menginterupsi keterhubungan mereka.
Era
pemujaan kehendak bebas sebagai penanda post-modernisme diprediksi akan tamat.
Manusia masa depan akan terhubung secara digital dalam keteraturan penuh.
Kehendak bebas menghasilkan human error tapi big data tidak.
Bila kualitas-kualitas manusia di bumi tidak segera membaik, maka upaya menuju
Utopia akan diambil alih oleh robot-robot pelaku revolusi digital. ~MNT
Comments