|
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Bila kita
tidak dijajah Belanda, mungkin kita dijajah imperium monarki mana saja yang
bisa menyintas dari tembakan senjata api. Selama di sana ada hukum besi
oligarki, maka tidak ada yang berbeda.
Kita
boleh mengutuk kolonialisasi Eropa, tapi sebelum itu kita berada di bawah rezim
hegemoni kolosal yang membungkam. Ketika mengumpat soal kejinya imperium
Britania Raya, orang – orang India memuja-muji warisan keagungan Mughal dan
Delhi yang juga merupakan penakluk asing.
Tapi
begitu mereka tersadar, bahwa budaya otentik mereka bukan dari sana, mereka
justru terjebak kepada romantisme silam dari Kerajaan Gupta, Kushan, dan Maurya
yang menindas. Seperti bila kita yang syahdu dalam pelukan sejarah Melaka dari
dinasti Sang Sapurba yang juga orang asing, dan sebelum itu meringkuk dalam
jajahan Sriwijaya dan Majapahit.
Untuk
melama-lamakan kekuasaannya hingga ke garis keturunan tak hingga, seorang
penguasa dan barisannya akan melakukan apa saja. Mulai dari tangan besi
oligarki, praktik ekonomi yang ekstraktif, upeti tinggi dan kerja paksa, bahkan
dengan cara memelihara kebodohan.
Cara
terakhir ini pernah dilakukan banyak tiran, dengan melumpuhkan sejumlah
proposal teknologi tinggi agar kekuasaannya tetap sejati. Di antara tahun 69
sampai 79 Masehi, Kaisar Vespasianus pernah didatangi seseorang yang menemukan
alat pengungkit untuk mengangkut pilar-pilar raksasa ke lokasi pembangunan
Capitol, sebuah kastil megah di kota Roma.
Proposal
itu ditolak, karena sang kaisar tak ingin terjadi pemecatan besar-besaran
terhadap tenaga pengangkut yang dapat berujung kepada ketidakstabilan politik.
Sementara Kaisar Tiberius menghabisi seorang penemu kaca anti pecah, karena
kuatir harga emas akan terpuruk.
Inovasi
telah memunculkan penghancuran kreatif yang ditakuti akan merusak stabilitas
politik yang mengancam kekuasaan. Sikap seperti ini yang kemudian menjadi cacat
sejarah, sehingga perkembangan teknologi dunia mengalami stagnasi dalam ribuan
tahun.
Ketika
Romawi masih berbentuk republik (510 SM - 49 SM), negara ini memiliki catatan
laju inovasi yang mencengangkan seperti teknik konstruksi, semen, pompa dan
kincir air, persenjataan logam, tradisi baca tulis hingga alat pembajak tanah.
Namun begitu munculnya era kekaisaran Romawi (49 SM – 476 M), semua inovasi
seolah dibungkam karena diyakini akan meruntuhkan tahta raja.
Embrio
industrialisasi tekstil dunia setidaknya dimulai dari seorang William Lee yang
ingin membebaskan bangsanya dari rutinitas merajut topi secara manual dan
membosankan. Sayangnya alat bernama stocking frame itu ditolak
mentah-mentah oleh Ratu Elizabeth I (1558 – 1603). “Kau terlalu ambisius,
Master Lee. Coba bayangkan dampak yang ditimbulkan mesin buatanmu itu terhadap
rakyatku yang hidup melarat. Mereka pasti makin sengsara sebab mesinmu itu
jelas-jelas membuat mereka menganggur dan akhirnya menjadi peminta-minta”.
Lee
merantau ke Perancis untuk mencoba peruntungannya. Namun dapat ditebak ia
tertolak, lalu kembali lagi setelah Ratu Elizabeth diganti oleh Raja James I:
hasilnya sama. Keganjilan reaksi ini menjadi seragam –mungkin- di belahan dunia
mana saja sebelum berkobarnya revolusi industri. Hanya teknologi senjata yang
tak pernah tertolak.
Sebagai
catatan, Romawi dan Inggris adalah monarki setengah absolut karena ada kekuatan
penyeimbang seperti Senat dan Baron. Berbeda dengan raja-raja absolut yang
tidak peduli munculnya gejolak sosial, karena mudah saja dilumpuhkan oleh
militer istana. Anehnya inovasi – inovasi tidak tampak muncul dari negara –
negara semacam itu, setidaknya yang berada di luar lingkar istana.
Tiongkok
memiliki sejarah kedigdayaan pelayaran lintas benua, namun di tangan Dinasti
Ming, para kaisar mengandangkan armada lautnya untuk menghindari penghancuran
kreatif yang akan memerosotkan kekuasaan di tangan mereka, lalu melaksanakan
sistem ekonomi tertutup berabad-abad.
Untunglah
sebagian rezim yang mengekang itu segera runtuh dan siklus hukum besi oligarki
tamat oleh Revolusi Agung di Inggris (1688) setelah dimulai dengan Magna
Charta 500 tahun sebelumnya, kemudian Revolusi Perancis (1789), serta
Restorasi Meiji (1868) di Jepang.
Dalam
sejarah modern, sejumlah negara di Afrika masih bercokol para diktator yang
menjadi pelipatgandaan atau tumpukan seluruh keburukan tiran yang pernah ada.
Adalah Kongo yang pernah dijajah rezim Joseph Mobutu (1965 – 1997) hingga
kehabisan nafas.
Mobutu dan kalangan elite di sekitarnya hidup melimpah dengan julukan Les Grosses Legumes atau Sayur Gendut sedangkan rakyatnya serupa kulit membalut tulang. Mobutu membangun istana dan menyewa jet pribadi supersonik untuk berbelanja tanah dan kastil di Eropa. Keadaan justru makin memburuk dan berdarah setelah Mobutu digulingkan Laurent Kabila.
Mobutu dan kalangan elite di sekitarnya hidup melimpah dengan julukan Les Grosses Legumes atau Sayur Gendut sedangkan rakyatnya serupa kulit membalut tulang. Mobutu membangun istana dan menyewa jet pribadi supersonik untuk berbelanja tanah dan kastil di Eropa. Keadaan justru makin memburuk dan berdarah setelah Mobutu digulingkan Laurent Kabila.
Dalam bab
terakhir sejarah kita, ajaran kembar liberalisme dan perdagangan bebas yang
berlayar ke seluruh dunia bersama misi kapal uap Britania Raya masih terus
bertengger di panggung sejarah. Meski Uni Sovyet melakukan interupsi atas suatu
dalil sosio-komunis menuju kediktatoran utopia kaum proletar.
Sedangkan
Amerika Serikat mengumumkan diri sebagai polisi dunia sembari menyebarkan
manfaat-manfaat demokrasi dan HAM ke dunia ketiga, bahkan dalam misi kotbah
ideologinya, rudal dan F16 ikut kadang ikut dilibatkan. ~MNT
Comments