PALOSA - Caricatura Editorial |
Oleh Muhammad
Natsir Tahar
Berbicara ironi Batam
dan Singapura tempo hari, di belahan bumi lain ada kondisi yang lebih ekstrem.
Surga dan neraka hanya dibatasi tembok. Ini adalah tentang kota Nogales di
Arizona, Amerika Serikat sekaligus juga Nogales, Sonora milik Meksiko.
Nogales Arizona memenuhi
standar Amerika dengan pendapatan per kapita USD 30.000 per tahun, serta
layanan pendidikan, kesehatan dan fasilitas publik berskala penuh. Sedangkan
Nogales Sonora adalah seluruh kebalikannya. Mereka tentu saja tidak bebas
saling menyeberang kecuali menyelinap, yang bebas hilir mudik hanyalah kuman
penyakit.
Nogales Arizona dengan
layanan kesehatan prima dan sanitasi yang baik rutin mengirim balik penyakit
itu ke saudara “satu kotanya”. Nogales Sonora adalah potret kota kumuh di bawah
asuhan Negara ketiga, standar Amerika Latin. Kota ini terbelah pada 1848 usai
perang sengit Meksiko – Amerika.
Sumber daya alam di masa
lalu adalah kutukan bagi pemiliknya. Benua Amerika Selatan yang kini adalah
Meksiko, Guatemala, Kolombia, Brazil, Peru dan seterusnya, 500 tahun lalu
adalah bekas reruntuhan budaya Aztec, Maya dan Inca yang memiliki gunung emas.
Spanyol datang untuk menguras semuanya. Mereka menggunakan siasat
menawan para raja dan menjadikan mereka tawanan, boneka, atau tameng.
Kawanan penjahat keji
Spanyol adalah Gubernur Jenderal untuk provinsi baru di seberang lautan. Mereka
adalah Hanan Cortes untuk Aztec dan Maya, Fransiscus Fizzaro untuk Inca, dan De
Toledo yang bertugas untuk menyedot bukit perak di pegunungan Andes, setelah emas
menipis. Sambil tentu saja menumpas pemiliknya.
Kaisar Aztec Atahualpa
ditawan setelah Cortez membasmi 2.000 pengawalnya. Seluruh peradaban Aztec
hancur dan apapun yang bernilai emas digasak. Atahualpa bernegosiasi demi
kebebasannya dengan memenuhi satu bilik dengan timbunan emas, dan dua bilik
lagi berisi penuh perak. Atahualpa berhasil, tapi dia tetap dicekik sampai
tewas pada Juli 1533. Nasib sama menimpa raja lain bernama Bogota. Tak kuat
disiksa, dia menyanggupi mengisi sebuah rumah dengan emas, tapi Bogota harus
tewas karena target tidak terpenuhi.
Orang – orang Spanyol
datang lebih awal dan tidak menyisakan apapun. Inggris yang datang terlambat,
hanya menyaksikan sisa-sisa penghancuran lalu mendirikan koloni di tanah miskin
Amerika Utara, cikal bakal Amerika Serikat sekarang. Sudahlah tak punya
apa-apa, Amerika Utara dipimpin oleh raja Indian yang cerdik cendikia bernama
Wahunsunacock. Tidak ada perundingan, upeti bahkan makanan. Inggris datang
hanya untuk mengantar nyawa mereka, sampai kemudian menemukan apa yang bisa
ditanam.
Dari kesulitan demi
kesulitan di wilayah koloni inilah yang melahirkan Negara Amerika Serikat yang
dideklarasikan 14 Juli 1776. Adalah fakta kuat bahwa kekayaan alam adalah
kutukan. Negeri – negeri berlimpah emas dahulu kala, kini adalah barisan negara
miskin yang sibuk berkelahi sesama sendiri di bawah kekuasaan yang ekstraktif. Sedangkan Amerika Serikat melesat
ke puncak tertinggi peradaban dengan dua kata kunci yang berjalan konsisten:
Kapitalisme dan Demokrasi.
Kita bisa diingatkan
dengan bumi intan berlian di Afrika, yang hancur dan berdarah-darah. Diamuk
oleh politik kekuasaan dan perang saudara, sementara para penjarahnya adalah
negara – negara yang mengaku terhormat. Kalau boleh menebak, Amerika Serikat
tidak akan pernah ada, jika ras Kaukasia - Anglo Saxon tidak
tinggal dan menetap, melawan saudara sedarahnya sendiri yang menindas,
menggerakkan revolusi, serta menjalankan Bill of Right dengan
cara yang lucu: mengumpul berkapal-kapal budak dari Afrika.
Yang perlu dipahami
adalah, upaya membudakkan bangsa Afrika atau Negro bukan atas tujuan kebencian
ras, tapi semata demi mendapatkan biaya faktor produksi super murah ketika
mesin kapitalisme sedang berkobar-kobarnya. Ingat, orang Indian yang cerdas tak
kan sudi menjadi pekerja paksa.
Lalu bagaimana
ceritanya, Donald Trump bisa serasis ini? Kebenciannya kepada bangsa Hispanik
tak pernah turun dari puncaknya. "Di California, seorang
veteran Angkatan Udara diperkosa, dibunuh, dan dipukuli dengan palu hingga
tewas oleh seorang asing ilegal dengan sejarah kriminal yang panjang,"
kata Trump dalam pidato pertamanya dari kantornya, Oval Office, di Gedung
Putih, Selasa, 8 Januari 2019 malam waktu setempat atau Rabu pagi waktu
Indonesia.
Trump berusaha menarik
simpati warganya agar mendukung pembangunan tembok perbatasan dengan Meksiko.
Ia menyebut beberapa contoh pembunuhan sadis warga Amerika yang diduga
dilakukan oleh imigran ilegal. Pidato presiden itu langsung diserang oleh Juru
Bicara Dewan Perwakilan Rakyat AS Nancy Pelosi dan Pemimpin Minoritas Senat
Chuck Schumer dari Partai Demokrat.
Sebagai perlawanan,
Trump melakukan upaya membatasi pelayanan yang dikenal sebagai government
shutdown. Dia menolak usulan anggaran dari DPR AS yang
tidak mencatumkan alokasi USD 5 miliar dana untuk pembangunan tembok perbatasan
yang ia minta. Kondisi tersebut menyebabkan sebagian lembaga federal AS harus
tutup sejak 22 Desember lalu. Sekitar 800.000 pekerja sejak saat itu
dirumahkan atau bekerja tanpa dibayar.
Trump menciptakan
paradoks. Oleh lawan politiknya Trump mungkin dituding rasis. Tapi berkaca
kepada trauma sejarah dan tahun – tahun tersulit demi menghadirkan utopia
Amerika, xenofobia menjadi hal yang wajar. Negara – negara Latin terutama
Meksiko mestinya mulai belajar fokus pada peningkatan peradaban dan
kesejahteraan publik ketimbang hanya menjadi beban pikiran tetangga
sebelah. ~ MNT
Comments