Ilustrasi: thejoyofglory |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Hak asasi manusia atau HAM adalah sesuatu yang selalu melekat pada manusia. Negara tidak bisa mengenggam hak itu untuk kemudian dicicil sebagai capaian prestasi. Manusia telah ada sejak 200 abad yang lalu, sedangkan negara sebagai konsep legitimasi mitos hanya baru-baru ini saja.
Bila negara tidak mampu menjamin hak itu, maka ia harus berhadapan dengan hukum universal, tanpa bantahan. Jangan sampai John Locke bangkit dari kubur hanya untuk menertawakan para petinggi di negeri ini sampai tidak bisa membedakan pelaksanaan HAM dengan program listrik masuk kampung.
Ini satu poin yang sayangnya tak bisa dilanjutkan dalam tulisan singkat ini. Kita beralih ke Debat Capres tempo hari dengan tema: Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme. Mestinya definisi HAM sudah ada di kepala peserta debat sehingga tidak muncul narasi dan diksi lucu yang mencampur HAM dengan program kerja. Demikian pula perihal hukum, korupsi dan terorisme.
Saya ingin selalu menebak-nebak apa yang sedang ada di benak penyelenggara pemilu negeri kita, sehingga tidak berani menampilkan debat yang lepas satu lawan satu tanpa interupsi pengingat waktu seperti The First Presidential Debate antara Hillary Clinton dengan Donald Trump, misalnya.
Di sana terlihat Hillary dan Trump begitu menguasai konfigurasi ke-Amerikaan-nya detik per detik, dan keduanya saling beragumentasi dengan improvisasi bebas hapalan. Debat itu tampak istimewa karena menjadi ladang pembantaian pikiran, dan rakyat segera menjadi tahu siapa yang kemudian akan tergeletak.
Di Amerika tidak memungkinkan akan ada peserta debat kandidat presiden yang lidahnya kelu dan terbata-bata, melakukan repetisi karena miskin literasi atau melarikan diri dari konteks, karena parpol sebagai kendaraan politik mereka terlalu cerdas untuk tidak memberi tiket kepada figur manapun yang hanya punya satu modal: elektabilitas.
Kita tidak mampu menghadirkan debat sekelas Amerika yang sudah kita contek demokrasinya, ini karena ada orang-orang yang menghina kesantunan sosial para peserta debat, seolah-olah mereka akan lepas kendali atau justru sebagai upaya proteksi. Atau rakyat Indonesia dianggap tak mampu mencerna debat di luar ekspektasi mereka, seperti mempersembahkan Hamlet karya William Shakespeare ke hadapan Suku Hutan Amazon di Brazil.
Dalam hampir satu dekade ini, bangsa Indonesia telah dipecah oleh dua agama baru, sebut saja agama C dan agama K. Sebagai pemeluk agama yang taat keduanya tidak mungkin akan saling menyeberang, seburuk apapun fakta yang diberi tahu mengenai tuhan masing-masing. Maka debat kemarin hanyalah dipersembahkan kepada kaum ateis alias yang belum punya tuhan (saya tidak akan memberi tanda petik untuk sebuah metafora).
Sayangnya debat berlangsung dengan performa kaku dan aturan aneh. Sementara kita sedang mencari pemimpin untuk 260 juta manusia, dengan persoalan -persoalan yang mendatangi bangsa ini kelak akan muncul tiba-tiba karena tidak ada kisi-kisi untuk problematika bangsa manapun. Pemimpin membutuhkan elaborasi pikiran bukan hapalan.
Yang menjadi kesulitan bagi peserta debat Capres kemarin hanyalah menyesuaikan waktu dua menit dengan panjangnya teks atau durasi yang dibutuhkan untuk mengubah bahasa teks menjadi bahasa verbal, di samping tentu saja tidak sanggup menghadirkan bangunan persoalan ke-Indonesiaan yang substantif, holistik, dan filosofis.
Seperti disebutkan, debat ini tidak pernah cukup kuat untuk menggoyahkan para pemeluk paganisme yang menyembah arca Jokowi dan Prabowo. Yang terjadi adalah mereka akan saling menguatkan iman secara denial. Otak-otak yang berada di sekeliling kandidat akan bekerja keras untuk membuat pembenaran dan penyangkalan parsial.
Pertanyaannya apakah dari debat pertama yang menyedihkan ini, para ateis sudah mendapat hidayah atau makin larut dalam hedonisme? Atau ada yang masih meratapi lubang jarum presidential threshold yang menjadi keajaiban politik Indonesia, sehingga hanya muncul dua tuhan. Tidak ada tuhan ketiga atau kekuatan lain yang tidak disembah tapi mampu menjadi penyeimbang akal sehat.
Yang pasti dalam sejarah demokrasi Indonesia adalah biaya panggung politiknya yang semakin mahal tapi tidak pernah disertai dengan merawat dan meningkatkan otak demokrasi itu sendiri. Padahal debat adalah momen yang paling krusial untuk membuat para ateis segera menentukan pilihan. Kita tak ingin mereka hanya berubah menjadi agnostik peragu hingga kehabisan waktu, dan tak punya pilihan pada hari H pilpres.
Paling tidak dalam sesi debat berikutnya, Jokowi sebagai petahana harus sudah mampu mengartikulasikan capaian selama ini dengan performa tertinggi dan meninggalkan diksi-diksi banal nirparadigma dan teknis sebagai sesuatu yang seolah-olah paling ingin didengar oleh publik. Dalam Debat sesi II dengan tema Energi, Pangan, SDA, dan Lingkungan Hidup nanti, rakyat barangkali hanya ingin kepastian apakah mereka bisa makan besok atau tidak.
Kita tidak ingin seperti Mao Zedong yang melancarkan progam Lompatan Jauh ke Depan namun membiarkan 20 juta rakyatnya mati kelaparan. Ingat, impor pangan adalah musuh utama petani sampai kapanpun dan di manapun. Demikian pula kenaikan harga - harga kebutuhan pokok dan menyempitnya lapangan kerja, karena tidak ada akal sehat yang tidak terusik oleh fenomena ini.
Sementara Prabowo yang selalu membangun retorika kebangsaannya sebaiknya tidak terus tergelincir ke dalam hiperbola yang bisa saja diterjemahkan oleh publik sebagai fantasi. Selain juga memunculkan narasi-narasi yang ambigu dan debatable seperti Jawa Tengah dengan Malaysia, gaji dokter yang lebih rendah dari tukang parkir, atau memakai istilah chief of law enforcement officer yang memiliki celah untuk diserang sebagai gejala otoriter.
Prabowo juga menaikkan isu renumerasi dengan tingkat korupsi yang pernah diberlakukan namun tidak efektif. Prabowo bahkan lupa menghitung komponen lain yang diterima pejabat publik selain hanya gaji pokok. Korupsi sudah menjadi kultur dan tabiat kolektif sehingga berapapun kenaikan gaji pejabat hanya akan menambah beban negara, apalagi untuk memenuhi hal itu, Prabowo akan menaikkan tax ratio. Publik akan menerjemahkannya sebagai: memeras rakyat dengan meningkatkan pajak untuk menambah kemewahan pejabat. Jabatan adalah pengabdian bukan pesta.
Nampaknya teater debat yang dipersembahkan kepada kaum ateis ini, hanya pengosongan anggaran dan momen pertunjukan. Kata Julius Caisar, rakyat akan bisa tidur lelap di malam hari jika diberi roti dan sirkus. Anda salah pak Julius, kami justru kebanyakan sirkus. Rotinya? ~MNT
Comments