Ilsutrasi: hative.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Apakah
Hang Tuah seorang perokok, penikmat sambal belacan atau ikut-ikutan berpose di
atas kardus? Apakah Hang Tuah singgah di kedai kopi dekat alun-alun istana, dan
bertukar kabar dengan sahabat daring dari Konstantinopel yang sedang merayakan
Kiva Han, kedai kopi pertama di dunia?
Bila kita
berupaya menghadirkan sosok dari masa lalu seperti Hang Tuah dalam keserentakan
hari ini, mau tidak mau kita akan terjebak kepada ilusi kognitif. Fakta-fakta
sejarah yang kita temukan secara heuristik, tidak akan cukup kuat melaksanakan
tugas penemuannya. Ia akan melewati seleksi ketat pada tahap verifikasi. Kritik
sejarah harus muncul terlebih dahulu sebelum kita sampai ke tahap interprestasi
dan historiografi.
Bila kita
abai pada tahap verifikasi, ilusi kognitif dan anak turunannya yakni ilusi
ambigu, distorsi, paradoks dan fiksional -ini adalah daftar istilah psikologi
yang saya pinjam untuk filsafat-, akan mengambil alih cara kita memandang Hang
Tuah.
Meskipun
Hang Tuah sezaman dengan Chistoper Columbus yang pertama kali menangkap basah
anak-anak Indian sedang menghisap rokok, dapat dipastikan Hang Tuah bukan
seorang perokok, sebab tembakau pertama kali dilinting dan pecandu rokok secara
massal bermula di Perancis pada 1830, atau lebih dari 300 tahun setelah Hang
Tuah.
Apakah
Tuah seorang penikmat sambal belacan? Jawaban atas pertanyaan ini akan mudah
ditebak. Sebagian kita yang berlidah Melayu akan menjawab iya, untuk
menyempurnakan kemelayuan Hang Tuah sesuai tapal batas ilusi kognitif kita.
Sayangnya
Hang Tuah tak sempat merasakan pedasnya cabe, sebab cabe merah dengan nama
ilmiah Capsicum
annum L memiliki nenek moyang di Amerika Latin, dan baru tiba di Eropa
kemudian Asia secara pelan ketika Spanyol menaklukkan Meksiko.
Tuah
kemungkinan juga bukan pecandu kopi, meskipun biji kopi juga berasal dari tanah
Jawa, tapi budaya ngopi diturunkan
dari Timur Tengah dan Eropa. Hang Tuah lebih mungkin meminum teh, sebagai
budaya khas ras Mongoloid yang ditularkan dari daratan Tiongkok, beratus tahun
sebelum Eropa datang dengan budaya kedai kopinya.
Apakah
pakaian kebesaran Tuah sebagai laksemana memiliki jahitan yang halus dan bahan
tenun yang indah mengilap seperti tampak dalam sinema Cathay Keris Film
Production (1956 dan 1961) serta Puteri Gunung Ledang (2004),
bila kita tahu mesin jahit baru dipatenkan pada tahun 1807, oleh William dan
Edward Chapman di Inggris.
Pertanyaan
lain dari banyak pertanyaan yang bisa kita karang-karang, apakah sudah ada
kardus yang digunakan untuk menyimpan tanjak Tuah yang mulai usang? Pertanyaan
yang mengada-ada tentunya. Tapi mumpung kardus sedang naik tahta, menjadi
diskursus serius sekaligus kelakar politik semasa, kardus menjadi menarik untuk
dilibatkan. Kardus mungkin baru ada pada zaman Sultan Abdul Rahman II Muadzam
Syah, sebab ia digunakan pertama kali pada 1871 dan dipatenkan pada 1882 oleh
seorang Amerika bernama Robert H. Thompson.
Bila
kardus tak ada di zaman Tuah, bagaimana bila Tuah ditarik ke zaman kita? Sesuai
tipikalnya, apakah Tuah juga akan masih memihak petahana dan dengan hormat
diminta membantu tugas KPU, berpose di atas kardus dupleks untuk memastikan
tidak ada yang salah dengan kotak itu. Sebuah fenomena yang membingungkan
sebenarnya, mengapa harus kubu petahana yang melakukan pembelaan terhadap
kardus tapi oposisi tidak, bila itu sudah menjadi keputusan bersama.
Sebagai
perkakas pemilu, sosok kardus yang ringkih dinilai kontroversial, secara dengan
plat aluminium saja, kotak suara bisa diajak main akrobat, apatah lagi hanya kertas
dengan jendela dari plastik transparan. Bila kita bicara substansi, substansi
demokrasi lebih tua 2.500 tahun sebelum kardus memiliki substansi.
Demokrasi
hadir ke dunia, tidak bersamaan dengan kotak kardus, tapi adalah metafora Kotak
Pandora, yang membuat demokrasi pada akhirnya menjadi pesakitan. Di bawah
anasir-anasir politik yang kotor, jangankan kardus yang bisa diduduki, di dalam
peti besi titanium pun, kalau suara rakyat ingin dicurangi, maka dengan mudah
ia akan tercurangi.
Mengapa
publik sibuk mendebat soal teknis setingkat fisika anak SD, tapi melalaikan
esensi kemurnian demokrasi. Kecemasan terhadap kardus adalah refleksi dari
penuh kehati-hatian dan lunturnya kepercayaan kepada pemilu yang bersih. Kardus
yang diduduki sekelas pendekar sehebat Hang Tuah pun, tidak akan kuat menepis
kecemasan itu. ~MNT
Comments