Ilustrasi: www.couling.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Pemilu
dapat kita analogikan sebagai kontes ratu sejagat. Akan ada dua kategori yakni
ratu terbaik dan ratu favorit pilihan pemirsa. Karena negara ini tak punya
juri, maka logika kita dipaksa untuk menerima pemimpin berdasarkan tingkat
kesukaan mayoritas.
Selalu
ada rentang yang jauh di antara keduanya. Di belakang ratu terbaik, masih ada
terbaik dua, tiga dan seterusnya. Pemirsa nyaris tak pernah tahu apa yang
terbaik untuk mereka dan itu adalah keniscayaan demokrasi. Sementara kebenaran
tidak ditentukan oleh suara mayoritas.
Demokrasi
memiliki jebakan-jebakannya sendiri, salah satunya adalah elektabilitas atau
tingkat kesukaan publik yang kemudian berakhir di kotak suara. Ada sesuatu yang
disembunyikan atau bahkan refleksi kenaifan jika ada yang mengatakan bahwa si X
telah terpilih secara demokratis. Jika
memakai diksi yang kejam, demokratis yang dimaksud tak ubah seperti seorang
badut yang dijulang dari panggung sirkus hanya karena mendapat tepuk tangan
terbanyak.
Sudah berapa ribu lusin badut yang tertangkap korupsi atau sudah berapa banyak pemimpin dan anggota legislatif yang unfaedah atau tidak memberi nilai tambah kecuali membebani negara. Paling tidak kita mulai insyaf, bahwa elektabilitas tidak sama dengan hukum fisika.
Dua
kandidat yang berdiri di panggung sirkus demokrasi sekarang ini bukanlah mereka
yang terhebat, tapi adalah mereka yang berhasil melewati lubang jarum politik
elitis. Seperti kata penulis dan penyair Skotlandia, George E. MacDonald,
bukanlah hakikat politik bahwa orang terbaik harus terpilih. Orang yang terbaik
malah tak berpolitik karena tidak mau mengatur para pengikutnya.
Demokrasi
adalah penegasan kalau dunia ini tak lebih dari senda gurau. Sejak awal kita
menyerahkan hal-hal yang serius kepada politisi. Politisi adalah salah satu
profesi tertua sekaligus yang paling diminati. Sedangkan di dunia ini menurut
Groucho Marx, semua orang dilahirkan sama, kecuali para politisi.
Sejarah
adalah sejenis drama di mana setiap babak diikuti oleh paduan suara ketawa. Agar
politisi dapat menampilkan dirinya, maka kondisi negara dibuat seolah-olah
ruang hampa. Padahal tidak begitu, negara bisa membuat cetak birunya sendiri
dan dapat dijalankan secara kemudi otomatis.
Percayalah
bahwa politisi telah lama membangun mitos, untuk mambantah teori tersebut agar
selalu tersedia kursi panas yang bisa mereka pertengkarkan. Wartawan dan
kritikus budaya AS, Saul Bellow sampai berujar, merebut posisi presiden
sekarang adalah satu persilangan antara kontes popularitas dan debat anak SMA,
dengan ensiklopedi yang terutama berisi kata-kata klise.
Kontestasi
politik yang didesakkan oleh kalangan politisi agar terjadi sirkulasi elit
dengan berlindung di balik demokrasi, menyebabkan negara ini tak pernah
memiliki cetak biru. Padahal Negara –seharusnya- sudah punya sistemnya sendiri,
sampai kepada tingkat, pemimpin diberi ruang bicara untuk mengatur banyak hal,
di luar semata membaca teks pidato dan menggunting pita.
Di tahun politik ini kita akan melihat suatu pengulangan sinopsis bahwa demokrasi bekerja hanya untuk melayani sensasi, bukan substansi. Dengan hanya satu alat ukur yakni elektabilitas, maka ruang atmosfir demokrasi adalah perjudian. Tepatnya perjudian yang lucu.
Apa yang
disebut Rocky Gerung, bahwa momen konstestasi politik hari-hari ini seharusnya
adalah pertengkaran intelektual, bahkan menjadi tidak perlu atau hanya tersisa
sedikit jika negara sudah punya rumusan bakunya. Namun faktanya, jangankan
bertengkar secara intelek, kita terlalu gemar memakai cara Spartan: minus
literasi lebih banyak motorik. Dan negara (dengan
huruf miring) secara sengaja melakukan pembiaran.
Saya
menyebut negara karena
kita tidak punya malaikat langit untuk mendiktekan kebenaran. Jika demikian negara yang
dimaksud adalah sesuatu yang fiksi, untuk membuat pemisahan dengan kondisi
faktual dan ikon pembeda dari cara kerja politik.
Negara harus
punya rumusan bahwa yang tampil sebagai pemimpin adalah putera bangsa terbaik.
Jika tidak ditemukan yang terbaik dari semua, negara harus
tampil sebagai juri di antara kandidat yang berlaga. Jika suara negara tidak
didengarkan atas penjuriannya karena rakyat terlalu percaya diri mampu memilih,
maka negara harus
membuat validitas tentang semua informasi mengenai kandidat secara final, sehingga
informasi berbeda atau bertolak belakang dengan yang dirilis negara adalah
kebohongan atau hoaks.
Hal ini
guna mempersempit ruang untuk kampanye hitam dan manuver-manuver jahat dari
kedua kubu. Bahkan para kandidat tidak perlu lagi bersolek untuk memikat
publik, karena semua data dari A sampai Z, bisa diakses melalui satu ketukan di
layar pintar masing-masing.
Sehingga
semua hal yang dipertengkarkan oleh para Spartan serta seluruh waktu, energi
dan uang yang dikeluarkan oleh negara untuk
mendandani demokrasi dapat digunakan kepada hal-hal yang jauh lebih bermanfaat,
sekaligus untuk membungkam Julius Caesar
yang berkata: berilah
rakyatmu roti dan sirkus maka semua akan baik - baik saja. ~MNT
Comments