Alexander The Great: seriousfacts.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Iskandar
Zulkarnain atau mungkin Alexander
Agung (356 SM -323 SM) dari Macedonia, yang dimitologikan sebagai leluhur
raja-raja di tanah Melayu dan Minangkabau mestinya menjadi seorang filsuf.
Sebagian masa kecilnya dihabiskan untuk berguru kepada Aristoteles, tapi
gagasan-gagasan filsafat yang ia dapat tak menghentikan hasratnya sebagai raja
penakluk seluruh jazirah.
Raja
Macedonia atau Muqaduniah dalam kronik Melayu ingin memperluas kekuasaannya
hingga ke negeri matahari terbit. Jejak-jejak taklukannya terlihat di sebentang
jazirah Eropa, Asia dan Afrika, yang berpusat di Alexandria atau Iskandariah,
Mesir.
Zulkarnain
menjadi kontradiksi sepanjang peradaban, di antara teks-teks dalam Islam dan
sosok Alexander The Great yang dibicarakan di Barat, terutama soal agama yang
dianut Zulkarnain. Tapi dunia seolah tidak peduli, melihat asal usul dan jejak
penaklukannya mengarahkan keduanya sebagai orang yang sama.
Sebagai
pembeda, saya mengutip Ibnu Katsir yang menyebut bahwa Zul Qarnain atau
Zulkarnain hidup di masa Nabi Ibrahim, 2.000 tahun sebelum masa Alexander Agung
orang Macedonia, Yunani. Ibnu Katsir juga menuliskan dalam Kitab Al-Bidayah wa
an-Nihayah, bahwa Nabi Khidr adalah menterinya dan mengunjungi Mekah
dengan berjalan kaki. Ketika Ibrahim mengetahui kedatangannya, maka ia keluar
dari Mekah untuk menyambutnya.
Selebihnya
Zulkarnain mirip Iskandar atau Alexander yang mendirikan Iskandariah, atau
Alexandria di Mesir. Alexandria kala itu menjadi pusat peradaban dunia, sebagai
kota termegah setelah Roma. Penggabungan keduanya menjadi Iskandar Zulkarnain,
seolah semacam sintesis agar upaya glorifikasi tidak menajamkan kontradiksi itu.
Namun
pengaruh penaklukan Alexander membuat kehidupan filsafat redup selama 300
tahun, dan urusan bernegara digantikan oleh politik, yang menjadi awal mula
kekacauan di sana sini. Kehidupan sebagian masyarakat dunia di bawah taklukan
Alexander (untuk tidak menyebut Zulkarnain) memunculkan zaman Helenisme, yakni
sebuah paham hegemonik ketika orang di dunia berbicara, berkelakuan dan hidup
seperti Yunani.
Trauma
dunia atas sejarah penaklukan menyebabkan melambatnya sejarah pemikiran.
Filsafat terpencilkan di menara gading dan di sudut-sudut pertapaan segelintir
orang. Ketika itu muncul paham Neoplatonisme dan Stoikisme, namun tak memberi
perubahan. Stoikisme dengan dalil bahwa takdir telah diatur, mendorong sikap
fatalistik di tengah masyarakat.
Rakyat
yang terhegemoni maupun pemimpin – akibat kekosongan filsafat dan agama-
berbicara dan bertindak dalam konteks otak Reptil. Sebagai otak tertua manusia
yang bereaksi terhadap konflik dengan cara agresif atau melarikan diri. Sejarah
penaklukan menggunakan cara pertama, dalam geopolitik teritorial ia menjadi
sempurna dengan salah satu landasan dasar reptil yakni mementingkan diri
sendiri terutama tubuh (somatic or
survival) bagi kekuasaan.
Kita
langsung melompat ke abad pertengahan –melampaui masa 1.000 tahun- disebut juga abad kegelapan di
Eropa. Abad ini adalah pengantara zaman Helenisme dan Renaisans. Kehidupan di
Eropa kala itu berjalan datar, kecuali di Andalusia (Spanyol) ketika ia menjadi
pusat pikiran dunia dari Ibnu Rusyd atau Averros (1126 –1198) yang didahului oleh ilmuan dan filsuf Muslim seperti Al Farabi (870-950) dari Turki, kemudian dari Persia seperti
Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037) dan Al
Ghazali atau Algazel (1058-1111).
Ilmuan-ilmuan
Muslim umumnya berciri filsafat Aristoteles, sehingga begitu banyak buku
Aristoteles yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Arab. Dapat
disimpulkan, bahwa filsafat Aristoteles dilahirkan kembali di tanah Arab,
filsafat Neoplatonik (gabungan antara Plato dan Aristoteles) lahir di Eropa dan
filsafat Plato hidup di sebelah timur.
Kita
langsung kaitkan dengan tanah Melayu. Sejarah Melayu sesuai kroniknya muncul
pada abad ke 13 (bisa juga dimulai pada abad ke 12, Kerajaan Bentan, 1160).
Namun hubungannya dengan Alexander adalah adanya Prasasti Bukit
Siguntang atau kontrak politik pada 1294, antara Demang Lebar Daun
sebagai pribumi di Palembang dengan Sang Sapurba yang disebutkan dalam Hikayat Melayu adalah
keturunan Alexander.
Abad ke
13 berisi tahun – tahun penting di antaranya Magna Carta (1215)
yang melucuti sebagian kekuasaan mutlak Raja John di Inggris. Sementara Demang
Lebar Daun sudah melucutinya di awal dengan adanya prasyarat kepada Sang
Sapurba. Seperti menembus lorong waktu -kembali 16 abad sebelum itu- Sang
Sapurba adalah Alexander dan Demang Lebar Daun adalah Aristoteles.
Demang
Lebar Daun dapat dikatakan sebagai seorang filsuf. Dia melahirkan Filsafat Melayu yang
mampu mengikat secara moral dan memprediksi adanya kecenderungan hegemonik para
penguasa.
Pada abad ke 13, Kekaisaran Mongolia juga didirikan oleh
Jenghis Khan pada tahun 1206 untuk selanjutnya melakukan penaklukan kejam
di Baghdad pada 1258 di bawah pimpinan cucunya, Hulagu Khan. Baghdad, yang
berada di bawah Kekhalifahan Abbasiyah dihancurkan,
dan seluruh perpustakaan serta buku dibakar hingga menghitamkan sungai Tigris.
Para sarjana dibunuh bersama ratusan ribu warga lainnya. Runtuh pula warisan
keagungan para filsuf dan ilmuan Islam.
Malang
bagi Melayu, kerajaan ini lahir (dimulai dari Kerajaan Singapura, 1294) setelah
keruntuhan kejayaan Islam di Baghdad. Yang berarti tidak terjadi transformasi
ilmu dan filsafat secara masif. Hampir tidak ada buku-buku yang bisa
didatangkan hingga abad ke 19, ditambah aura feodalisme dan geopolitik khas
Alexander kontraproduktif bagi bertumbuhnya ilmu dan filsafat.
Padahal
secara geostrategik, posisi semenanjung Melayu dan Nusantara umumnya, sangat
diuntungkan karena diapit oleh filsafat Barat melalui Islam dan filsafat Timur
dari India Utara (Sidharta Gautama) serta Tiongkok (Konfusius). Hingga ada
alasan kuat saat memasuki zaman Renaisans, ketika buku-buku diburu dan
penyelidikan ilmu berkobar di penjuru Eropa, kita masih sibuk mengasapi keris
dengan kemenyan. ~MNT
Comments