Ratna Sarumpaet (F: bintang.com) |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Manusia
primitif menjalankan hidupnya dengan narasi mitos. Lalu datanglah filsafat
untuk mendebat mitologi yang dimulai oleh Thales. Filsuf mulanya tidak membabat
habis mitos itu, namun menyisakan sedikit untuk ruang keyakinan. Tapi begitu
ilmu pengetahuan datang, ia langsung mengatur jarak sejauh-jauhnya dengan
mitos, bahkan sampai ke ujung tapal batas, mereka membabat habis logos.
Manusia
yang terlalu memuja pengetahuan, akan sampai kepada eksistensialis-atheisme,
untuk menancapkan bendera sains di atas segalanya. Logos atau firman Tuhan
dijadikan sebagai bagian dari mitos belaka. Beberapa filsuf yang mendampingi
cara berpikir ini di antaranya Thomas Hobbes dan Karl Marx dengan
Atheis-Materialisme lalu Friedrich Nietzsche dengan Ateistik Eksistensialisme-nya.
Semisal
gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, ilmuwan geoscientist akan
punya argumentasi ilmiah terhadap sebab-sebab bencana itu, tapi para
tradisionalis mengembangkan narasi-narasi mitos dan secara dogma atau logos
pula, akan ada penjelasan tersendiri yang dikaitkan dengan murka dan azab Tuhan
atas dosa manusia.
Ketiga
sudut pandang ini tidak dapat disatukan sampai kapanpun, kecuali bila kita
menggunakan cara kerja filsafat. Namun tidak semua filsuf sampai ke taraf
kedewasaannya. Seperti dinyatakan oleh Dr. Stephen Palmquist dalam The
Tree of Philosophy, hanya Immanuel Kant yang memiliki tingkat
kedewasaan paling tinggi di antara pesatnya aliran-aliran filsafat Barat yang
umumnya egosentris.
Kant
berdiri di antara idealisme Plato dan realisme Aristoteles dengan menyetujui
bahwa manusia berada dalam pergerakan antara pengetahuan yang nirmustahil
dengan kebebalan niscaya. Kant mencetuskan filsafat analitik yang menjadi
penyeberang dari filsafat eksistensial yang pada puncak tertentu mereka menjadi
sangat sombong dengan eksistensi keilmuannya.
Bila
ilmuan sudah melalaikan logos -sebagai hasil dari kerja sembrono untuk
memisahkan fakta dengan imaji- maka sebenarnya ia sedang berada dalam
keterasingan modern.
Kant
ingin agar ada keseimbangan antara transedental (di luar akal) dengan empiris
(yang nyata). Sehingga inilah intisari filsafat yang merujuk pada
pencarian secara tak jemu-jemu kebenaran dan penerapannya yang pas pada
kehidupan manusia. Pencarian ini pasti berkobar dengan semangat ketakjuban
seperti taburan gagasan filosofis dalam Alice in Wonderland.
Palmquist
menyebut, sebagaimana perkembangan dari lahir sampai muda bertepatan dengan
pembangkitan benak bawah-sadar (unconscious) anak-anak, maka
perkembangan dari muda sampai dewasa pun memerlukan penajaman kesadaran (consciousness)
secara bertahap, sampai timbul keinsafan khas akan diri sendiri.
Adapun
orang yang sadar-diri (self-conscious) yang perkembangannya tidak
terselangi akhirnya masuk ke suatu tahap baru yang -karena ingin istilah yang
lebih baik- bisa kita sebut super-sadar (super-conscious).
Dari
penjelasan Palmquist, kita dapat menyimpulkan sebenarnya dalam diri
manusia sudah ada cara-cara kerja filsafat tanpa perlu kita bersusah-susah
untuk melepaskannya dan memindahkan beban tugas penyelidikan kesadaran kepada
filsuf semata. Langkah yang dilakukan adalah menggunakan metafisika.
Metafisika
adalah pisau bedah filsuf untuk menuntaskan tugas-tugas filsafatnya. Memang
agak terlalu menyepelekan kerumitan metafisis tersebut bila menggunakan pisau
bedah ini untuk sembarang awam, namun metodologi dan semangatnya bisa ditarik
ke ruang publik agar kita tidak sembrono dalam melihat fenomena.
Definisi
metafisika menurut The Stanford Encyclopedia of Philosophy adalah
cabang filsafat yang berkaitan dengan proses analitis atas hakikat fundamental
mengenai keberadaan dan realitas yang menyertainya. Secara umum topik analisis
metafisika meliputi pembahasan mengenai eksistensi, keberadaan aktual dan
karakteristik yang menyertai, ruang dan waktu, relasi antarkeberadaan seperti
pembahasan mengenai kausalitas, posibilitas, dan pembahasan metafisis lainnya.
Di era
post-modernis nan milenial serba ilmu macam sekarang, ketika semua fenomena
jagat raya bisa dipantau di layar gawai masing-masing, metode metafisika dapat
kita adaptasi guna mencegah ketergesa-gesaan tanpa melewati sedikitpun
penyelidikan. Metafisika mampu melakukan hal-hal yang tidak disanggupi
dijangkau atau malah ditepis oleh ilmu pengetahuan.
Fenomena
ruang maya kita di tahun politik ini ibarat dua bidang besar ruang gema (echo
chamber) yang diametral. Masing-masing penghuni dalam
ruang itu memiliki kertarikan dan minat yang sama atas rasa senasib
sepenanggungan dalam politik 2019. Siapa kita ini, ilmuan tidak, filsuf
apalagi? Maka yang muncul hanyalah kebisingan yang disponsori oleh politik
kotor.
Satu
ketukan bunyi -misalnya status pada facebook atau cuitan twitter- berita
penganiayaan Ratna Serumpaet dengan sangat cepat menelusup di antara dua ruang
gema untuk memperbanyak diri dan bersahut-sahutan dalam bilangan detik. Hampir
tidak ada berita sensasional yang melalui proses pengendapan perenungan yang
menyentuh metodologi metafisika.
Lalu
ketika Ratna membuat pengakuan dosa, ruang gema makin sembrono membangun
premis-premis permukaan, centrang prenang dan sangat tendensius berdasarkan
kemana arah politik mereka kelak.
Ratna
seperti membuka kotak pandora, di mana semua keburukan melompat dari kotak itu
untuk menjangkiti orang-orang. Ketika dua kubu dihadirkan di layar kaca untuk
berdialog, tidak ditemukan sintesis kecuali cerita-cerita ringan yang dibatasi
durasi.
Ruang
gema yang kekanak-kanakan di sosial media hanya dapat diendapkan dengan cara
filsafat metafisika. Hal ini bertujuan untuk menyentuh hakikat realitas
terdalam (ultimate reality). Kita harus mulai rajin memeriksa diri dan
fenomena di luar kita agar ruang maya tidak menjadi tong sampah, atau kita
sudah mulai menjadi sampah itu sendiri. Kehidupan yang tidak terperiksa
bukanlah kehidupan yang berharga (Sokrates). ~MNT
Comments