Ilustrasi: www.sostis.gr |
Oleh: Muhammad Natsir Tahar
Sayangnya demokrasi yang kita puja bukanlah jalan
kebaikan absolut. Bahkan dalam filsafat politik, demokrasi pernah dijebloskan
bersama kawanan sistem bernegara yang cacat. Mereka adalah tirani, diktator,
dan oligarki.
Demokrasi itu seperti Pandora, wanita ciptaan dewa yang
dikalungkan kepadanya semua estetika mitologis. Sampai di hari pernikahannya
bersama Epimetheus, para dewa Yunani menghadiahinya kotak yang indah. Kotak itu
adalah kotak larangan berisi teror terhadap kemanusiaan, tapi Pandora telah
membukanya.
Analogi demokrasi yang terbaik adalah ketika Pandora
tidak bersama kotak larangan itu. Demokrasi dan Pandora di awalnya tampak baik.
Wacana demokrasi demikian indah dan memiliki kekuatan magis untuk meruntuhkan
tirani. Tapi nyaris tidak satupun negara yang menganut demokrasi berhasil
mencegah agar Kotak Pandora itu tidak terbuka.
Semua sistem pemerintahan awalnya baik sampai ia jatuh
tertelungkup kepada penyimpangan hukum moral. Maka monarki berubah menjadi
tirani, republikan menjadi diktator, aristokrasi menjadi oligarki, dan politi
(sistem terbaik menurut Aristoteles) menjadi demokrasi. Dalam hal ini demokrasi
tidak dipersempit sebatas wacana kebebasan, yang justru adalah kanal kedunguan
dan kebrutalan publik.
Demokrasi akan menjadi sia-sia kepada bangsa yang tidak
siap untuk itu. Demokrasi hanyalah akar ketika rotan utopia tak teraih. Akar
yang kemudian menumbuhkan pohon distopia. Demokrasi di kita hingga sejauh ini
hanyalah sebentuk pertahanan yang seolah-olah ada daulat di tangan rakyat.
Nietzsche yang membapaki post-modernisme bahkan dengan
kejam menuduh rakyat pemuja demokrasi sebagai Apolinia yang memiliki mentalitas
ternak, mengorbankan kebesaran dirinya untuk menjadi pemuja kultus individu.
Demokrasi kita adalah demokrasi estetika, seperti rentak
tari penuh pretensi untuk berkuasa dari para elite dan kegirangan
nirkepentingan dari rakyat yang tak sadar di untung bahwa mereka adalah tuan
yang sesungguhnya. Seperti Kotak Pandora, terlalu mahal harga yang harus
dibayar untuk menyebut bahwa kita telah seolah-olah berdemokrasi.
Negara merogoh kantongnya dalam-dalam untuk
membayar mahal ritual episodik demokrasi. Rakyat dan politisi terlibat dalam
hubungan yang aneh dan mempertahankan logika yang tak kalah aneh. Mereka
menyebutnya: elektabilitas.
Narasi dan pertengkaran melarikan diri dari substansi. Di
tengah masyarakat yang tingkat literasinya di urutan terbawah dunia, demokrasi
hanyalah episode kedunguan. Kedunguan dimulai justru ketika menganggap
demokrasi -tanpa telusur- itu adalah segala-galanya.
Sedangkan demokrasi etis terbenam ke dalam fenomena
artifisialisasi. Etika dalam demokrasi bahkan dikenali sebagai penyusup karena
ia tampak begitu asing. Etika moral dipakai sekali-kali tanpa ada jaminan
hasilnya akan logis. Dalam hal ini, demokrasi seolah tampak bahwa: filsafat
moral Immanuel Kant terkalahkan oleh Utilitarianisme JS Mill, ketika kelihatan
baik dan bermanfaat, ya sudah.
Steven Palmquist menyebut filsafat politik adalah ranting
kecil dari keseluruhan pohon filsafat. Dengan demikian kita bisa menyebut
demokrasi sebagai hanya putik, apakah kemudian tumbuh menjadi buah yang manis
atau pahit menjadi sangat spekulatif. Namun sepanjang tidak ada jalan lain,
akar demokrasi harus kita muliakan. Untuk itu dibutuhkan akal logis agar kotak
pandora demokrasi agak sedikit terkatup.
Untuk memastikan demokrasi dapat dijalankan secara
genius, filsafat harus turun tangan, alih-alih lena dalam pertapaan yang
abstrak. Fenomena Rocky Gerung barangkali dapat diambil contoh. Anggap saja dia
sedang turun gunung atau turun tangga, dari filsuf menjadi sekadar akademisi
filsafat atau pengamat politik.
Seorang filsuf sejati barangkali akan melihat, kubu yang
sedang bertanding dalam Pilpres 2019 hanyalah dua keping cangkang yang sedang
terdampar di keluasan pulau filsafatnya. Namun ketika urusan kebangsaan belum
sampai kepada pijakan yang kokoh, filsafat dibutuhkan untuk memberi tahu di
mana yang tidak kena.
Demokrasi harus diabstrasikan secara pelan hingga
menyentuh realitas terdalam (ultimate reality). Sayangnya Rocky Gerung
bukanlah orang yang akan sabar untuk itu. Dia acap mengobarkan diksi-diksi yang
tidak semua bisa dicerap awam dalam upaya pelurusannya terhadap kegagalan
negara. Kadang-kadang ia adalah Zoon Politicon itu sendiri
yang genit di sosial media dan kejam di layar kaca.
Kita membutuhkan lebih banyak Rocky yang lain, mungkin
yang lebih permisif kepada tidak terpenuhinya kecerdasan elite dalam mengenali
esensi demokrasi. Namun sampai bila bangsa ini akan sampai ke tahap, ketika
demokrasi dapat dijalankan dengan elegan dan bermartabat serta tidak sebatas
memproduksi tirani mayoritas atau mungkin tirani minoritas.
Plato tidak percaya kepada siapapun untuk menjadi
pemimpin. Kecuali mereka datang dari filsuf yang sudah mencapai visi universal.
Sementara Aristoteles sudah meramalkan demokrasi sebagai sesuatu yang ekstrem
dan tidak akan berhasil. Untuk itu ia menawarkan Politi (Polity) yakni
campuran antara demokrasi dan oligarki (dua keekstriman) sedemikian rupa
sehingga unsur-unsur ekstrimnya akan saling membatalkan. Ini sebenarnya mirip
aristokrasi yakni negara dikendalikan oleh para elite yang memenuhi kecerdasan
dan akal budi tertinggi (aristos) dari keseluruhan yang ada.
Demokrasi perwakilan berpotensi memenuhi kriteria ini,
namun sejauh mana itu akan mungkin dan masuk akal di tengah begitu sulitnya
untuk memastikan mereka yang cerdas dan berakal budilah yang harus duduk di
parlemen. Sementara yang lain harus tahu diri dan segera menyingkir dari domain
politik, untuk menjadi cerdas dan baik terlebih dahulu.
Lalu sampai sejauh mana mesin demokrasi mampu bekerja
untuk menemukan presiden terbaiknya, akan menjadi hari-hari terpanjang bagi
bangsa ini. Distopia demokrasi, sampai kapan? ~MNT
Comments