www.cdn.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Konsep
Negara Kesejahteraan (Welfare state) mestinya menjadi sebuah kebenaran perenial
yang mencakupi zaman, agama, peradaban dan kebudayaan. Sayangnya hanya sedikit
negara di dunia ketiga yang mengimaninya. Bahkan beberapa negara gagal
menganggap bahwa welfare state hanyalah utopia yang diigaukan para jemaah
Platonik. Kita patut nyinyir untuk mengingatkan bahwa Indonesia secara falsafah
mutlak memiliki pijakan welfare state.
Dari
beberapa rezim selalu ada gejala untuk melemahkan daya juang welfare
state untuk menegaskan bahwa kita sedang terhubung kepada tatanan
global beraroma kapitalis-liberal.
Untuk itu
kita butuh kemampuan membaca gejala (symptomatic reading) terhadap
upaya-upaya rezim untuk membelakangi welfare state, yang berarti adalah
sebentuk pengkhianatan terhadap konstitusi.
Menjadi
alasan yang dibuat-buat bila liberalisasi ekonomi memunculkan pengabaian
terhadap hajat hidup rakyat. Faktanya, semakin terbelakang sebuah negara,
semakin jauh pula ia dari label welfare state.
Sejumlah
negara maju macam Inggris dan Selandia Baru menyediakan social security,
pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal (personal
social services) kepada rakyatnya.
Bahkan
Amerika Serikat memasukkan orang miskin, cacat dan pengangguran dalam daftar
penerima welfare tunai. Di Timur Tengah seperti Saudi, Qatar,
Uni Emirat Arab, atau Brunai Darussalam di Asia Tenggara memberikan limpahan
kesejahteraan kepada rakyatnya tanpa syarat.
Sosiolog
T.H. Marshall mengidentifikasi negara kesejahteraan sebagai gabungan demokrasi,
kesejahteraan, dan kapitalisme. Para pakar menaruh perhatian khusus pada cara
Jerman, Britania Raya dan negara-negara lain dalam mengembangkan sistem
kesejahteraannya secara historis.
Negara-negara
hebat yang menganut konsep welfare state itu meliputi negara
Nordik seperti Islandia, Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Mereka
menerapkan sistem yang dikenal dengan istilah model Nordik. Esping-Andersen
mengelompokkan sistem negara kesejahteraan paling maju menjadi tiga kategori:
Demokratik Sosial, Konservatif, dan Liberal. Artinya negara paling liberal
sekalipun tidak pernah abai terhadap isu-isu kesejahteraan publik.
Dalam
perspektif paling kini, negara kesejahteraan didefinsikan sebagai konsep
pemerintahan ketika negara mengambil fungsi penting dalam perlindungan dan
pengutamaan kesejahteraan ekonomi dan sosial warga negaranya, ketimbang hal-hal
lain yang bersifat simbolik.
Konsep
ini didasarkan pada prinsip kesetaraan kesempatan (equal oportunity),
distribusi kekayaan yang setara, serta tanggung jawab masyarakat kepada kaum
papa untuk memenuhi persyaratan minimal hidup layak. Istilah ini secara umum
bisa mencakup berbagai macam organisasi ekonomi dan sosial.
Gejala
pengingkaran terhadap welfare state segera tampak kasat mata,
bila negara tak mampu menyediakan paket-paket kesejahateraan berupa biaya hidup
terjangkau. Kemudian lenyapnya subsidi dan meningkatnya pungutan serta di
antara program yang berpotensi semakin menjauhkan rakyat dari sejahtera.
Berhentilah bicara soal-soal lain, jika ini tidak selesai.
Sebuah
negara yang dibangun tanpa landasan kecerdasan dan pengetahuan tak ubahnya
seperti istana pasir. Memetik Yudi Latief, ada semacam ilusi bahwa tindakan
bisa dijalankan secara benar tanpa pemikiran yang benar.
Gelombang
anti-intelektualisme ini sebagian merupakan arus balik dari pengkhianatan
intelektual karena desakan kebutuhan para elit di lingkar istana. Menyusul
semakin permisifnya jalan pintas menggapai kekuasaan di tengah kelemahan publik
membaca gejala-gejala.
Membangun
negara harus melalui cara bagaimana kedaulatan menyatakan dirinya dalam bidang
pengetahuan. Negara dapat dipandang sebagai mesin pengumpul kecerdasan (intelligence
gathering machine).
Dalam
kaitan ini, mestinya negara cerdas dan fokus kepada kesejahteraan masyarakat,
bukan malah menyusun premis-premis kocak-dangkal untuk membangun silogis bahwa
kita sudah berada di track yang benar.
Kita
telah lama memasuki zaman kelupaan, bahwa tindakan kebijakan yang berada di
luar garis welfare state hanyalah kegagalan, apapun alasannya. Mestinya semua
ikut nyinyir ketika welfare state makin tak menemukan pijakannya, kecuali UUD
1945 yang mengamanatkan soal itu telah terhapus.
Seperti
diingatkan Lyndon B Johnson: tugas terberat seorang pemimpin bukanlah
mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang benar. Tanpa
pengetahuan yang benar, ketangkasan bertindak hanya akan mempercepat
kegagalan. ~MNT
Comments