Sumber: dbs.ie
|
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Sebelum
Guttenberg, para wartawan menulis tangan dengan edisi sangat terbatas. Wartawan
zaman Aleksandria menerbitkan berita di atas gulungan kertas dari serat
tumbuhan yang disebut Phapyrus. Kemudian Julius Caesar dari Romawi
kuno merekrut sejumlah reporter untuk menulis di Acta Diurna, sebentuk
papan pengumuman atau majalah dinding.
Acta
Diurna diyakini sebagai surat kabar
harian pertama di dunia yang menjalankan fungsi-fungsi pers secara teroganisir.
Dari kata diurna berarti “harian” dalam Latin, muncul
kata diurnalis atau journalist. Tapi sejumlah
ahli sepakat, wartawan pertama tidak muncul dari sana, bila melepaskan definisi
pers sebagai hanya produk tulis.
Homer
adalah penulis pertama dunia dan sekaligus sebagai penulis pertama yang
mengalami kebuntuan ide saat menggarap Odyssey, tapi dia
bukanlah wartawan. Yang mendapat pangkat sebagai manusia pertama menyandang
profesi wartawan adalah Nabi Nuh. Alkisah, setelah terombang ambing 40 hari,
Nuh mengutus burung dara untuk menyelidiki keadaan air. Burung itu kembali
dengan membawa sepotong ranting zaitun. Nuh berkesimpulan bahwa air sudah surut
dan segera mengabarkannya secara oral kepada seluruh penghuni
kapal.
Berita
reportase mengenai hasil ekspedisi Christoper Columbus ke Benua Amerika pada
1493, menjadi peristiwa besar yang pertama kali diberitakan secara masif oleh
surat kabar. Berkat penemuan mesin cetak oleh Guttenberg pada 1450, surat kabar
cetak pertama dirilis pada 1457 di Nurenberg, Jerman.
Sebelum
itu beberapa surat kabar tulis tangan pernah muncul seperti pada 911 M di
Tiongkok terbit sebuah media bernama Kabar dari Istana, dan
mulai menjadi surat kabar mingguan rutin setelah 440 tahun.
Kemudian
di Venesia, Italia muncul Gazetta yang terbit berdasarkan
kepentingan kerajaan. Bila Acta Diurna adalah produk jurnalis
pertama, maka surat kabar cetak yang pertama kali terbit teratur setiap hari
adalah Oxford Gazzete di Inggris tahun 1665 M. Oxford
Gazzete adalah produk industrialisasi pers pertama yang memulai
lompatan peradaban dunia.
Pers
tidak hanya produk intelektual, tapi juga membonceng kepentingan politik
bangsawan, kebutuhan perang, pemilik modal sampai mafioso.Wartawan terjepit di
sana, tulisan mereka yang terbit kemudian seperti melewati leher botol yang
sempit. Ditekan oleh tiran hingga kolonial.
Tokoh
sejarah penting di negeri ini sebelumnya adalah para wartawan. Antara lain
untuk tidak menyebut keseluruhan: Soekarno, Hatta, DR Soetomo, Ahmad Dahlan,
Muhammad Natsir, Dowes Deker, Hos Tjokroaminoto, WR Soepratman, Agus Salim, Ki
Hajar Dewantara, Sutan Takdir Alisjahbana, Adam Malik, Hamka, Pramoedya Ananta
Toer, Harmoko, Rosihan Anwar, Muktar Lubis dan seterusnya.
Dimulai Medan
Prijaji (1907) yang dikenal sebagai surat kabar nasional pertama
berbahasa Melayu di bawah asuhan RM Djokomono Tirto Adhi Soerjo, sejarah pers
nasional telah berada di medan mencekam. Berita-berita yang masuk ke meja
redaksi melewati gertakan kompeni, diselundupkan dengan sangat hati-hati, jika
tidak ada yang ditulis berarti wartawannya sudah dicegat bedil.
Melewati
fase kolonial, wartawan berhadapan dengan politik rezim otoriter. Untuk dapat
hidup, pers bermain di wilayah pragmatis. Fungsi kontrol sosial dikemas dalam
bahasa eufemisme dan high context. Pers patriot berganti baju
menjadi pers industrialis.
Hingga
awal 2000-an, industri percetakan pers berada di papan selancar kejayaannya.
Namun begitu internet masif, ruang realitas publik beralih ke ruang maya.
Pelan-pelan surat kabar cetak berbayar dikesampingkan untuk memulai pencarian
sumber-sumber berlimpah dari media siber.
Media
siber yang tipis modal dan bebas hambatan, adalah sebab pertumbuhan wartawan
meningkat secara eksponensial deret ukur. Belum ditambah oleh warganet yang
menjalankan kerja-kerja serupa pers: menulis sendiri atau menggandakan
berita-berita dan foto tanpa melewati sensor standar jurnalisme. Banyak yang
sudah merasa membaca berita hari ini, hanya dengan menelusuri
lini massa pertemanan di sosial media.Fenomena citizen
jounalism yang sedang tren menyebabkan simbiosa antara publik dengan
sosok wartawan karir semakin longgar.
Dewan
Pers mencatat hanya 13.000 wartawan di Indonesia yang lulus uji kompetensi
(Muda, Media dan Utama), di antara hanya Tuhan yang tahu entah berapa juta
wartawan, yang hanya seolah-olah atau mendadak wartawan. Profesi wartawan tidak
lagi eksklusif bagai tempo dulu. Mungkin suatu saat dunia tak lagi butuh
wartawan karir, ketika publik makin tidak mempersoalkan atau tidak mampu
membedakan, apakah berita itu ditulis oleh wartawan profesional atau bukan,
sepanjang mereka sepakat bahwa itu adalah berita.
Ancaman
lain terhadap karir wartawan -jika boleh disebut ancaman- ketika tersiar kabar
tentang adanya mesin yang bisa menulis berita. Kecerdasan
buatan (artificial intelligence) kini telah merambah ke dunia
jurnalistik. Beberapa perusahaan media telah memanfaatkannya untuk menghasilkan
berita, sebut saja Los Angeles Time.
Surat
kabar papan atas Amerika ini sudah memakai layanan Quakebot untuk
membuat berita. Seperti ditulis Kompas dan Adica wirawan
di Kompasiana, Quakebot adalah mesin kecerdasan
buatan yang diciptakan oleh para wartawan Los Angeles Time dan
seorang programer bernama Ken Schwencke.
Quakebot berfungsi membuat dan memublikasikan berita pendek,
seperti tentang bencana alam. Sewaktu terjadi bencana seperti gempa bumi, mesin
itu akan langsung menelusuri sumber-sumber informasi yang dapat dipercaya, lalu
membuat berita sesuai format, dan memublikasikannya kepada masyarakat lebih
cepat dari manusia. Di dalam berita itu, tak hanya ditampilkan informasi yang
disertai kutipan sumber, tetapi juga gambar peta yang menunjukkan lokasi gempa
Quakebot adalah lompatan besar dalam sejarah jurnalistik, namun juga
adalah mesin pembunuh bagi profesi wartawan. Jika teknologi ini terus
disempurnakan, redaktur dan pemimpin redaksi kemungkinan besar akan memecat
seluruh reporter lapangan, sebelum mereka sendiri dipecat.
Untuk
menghindari human error atau problematika wartawan yang
kompleks, para pemilik modal yang membuka media baru barangkali sudah tidak
butuh tenaga manusia, bila robot-robot berita ternyata lebih sempurna. Ketika
hari ini banyak redaktur yang masih dipusingkan oleh teknis penulisan yang
tidak standar, kesalahan ketik dan berita-berita yang dikirim reporter tanpa
muatan news value, berisiko terhadap UU Pers dan Kode Etik
Jurnalistik, bisa saja sebuah media akan berpaling kepada tenaga
mesin.
Para
wartawan harus mulai memanfaatkan celah bila Quakebot sudah
menggila. Mesin ini sebenarnya hanya mampu menulis berita-berita stright
news yang kering sentuhan humanis, sastrawi dan sentuhan-sentuhan
emosi di dalamnya. Hanya wartawan berwujud manusialah – untuk sementara – yang
bisa melakukan itu. Tapi kembali lagi kepada kecenderungan minat baca milenial
yang tak begitu peduli dengan apa yang terjadi di dapur redaksi hingga sampai
ke layar sentuh mereka. Jangan sampai wartawan karir hari ini adalah wartawan
terakhir yang pernah ada. ~MNT
Comments