Moses and Aaron berfore Pharaoh: Dinteville Allegory |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Sihir selalu identik dengan kejahatan dunia hitam. Tidak
sedikit tukang sihir sudah dibakar atau disiksa. Trasmoz sebuah desa di Spanyol
telah dituduh sebagai surga para penyihir. Desa ini dikutuk, seluruh kastil
dibakar. Trasmoz menyisakan reruntuhan selama 13 abad, 10.000 ribu penduduk
lenyap, tersisa hanya 62 orang sebagai "penyihir terakhir".
Afrika pula menjadi benua yang memiliki ketakutan
berlebihan terhadap mitos sihir. Di Burkina Faso, orang-orang percaya bahwa
para penyihir selalu berkeliaran memakan daging dan jiwa manusia, serta meminum
darah mereka. Tuduhan sebagai penyihir tidak hanya dialamatkan kepada
orang-orang eksentris, tapi juga anak-anak dan hewan.
Tidak semua penyihir punya stigma jahat, setidaknya dalam Harry Potter,
tentang para penyihir putih berupaya mengalahkan penyihir jahat bernama Lord
Voldemort, yang berambisi untuk menjadi makhluk abadi dan berkuasa penuh.
Namun, paling menggemparkan, ketika ribuan penyihir hitam bertobat serentak.
Mereka adalah para penyihir suruhan Fir'aun untuk membungkam Musa.
Selain sisi spritual mereka yang tercerahkan, ada sisi
lain yang menarik yakni tentang etika dan kesantunan. Sebagai penyihir hitam
yang begitu banyak bilangannya, serta berada di sisi penguasa terbesar imperium Mesir,
mereka tidak langsung menghantam Musa yang tanpa pangkat apapun. Para penyihir
Fir'aun memulainya dengan dialog yang santun.
Ahli-ahli sihir berkata, hai Musa,
kamukah yang akan melemparkan lebih dahulu ataukah kami yang akan melemparkan
lebih dahulu, ataukah kami yang akan melemparkan (membantu melemparkan tongkat
Musa)? Musa menjawab, lemparkanlah (lebih dahulu)! (QS al- Araf:115-116).
Diriwayatkan, para penyihir Fir'aun kemudian melemparkan
tongkat dan tali yang kemudian menjelma menjadi ular-ular menakutkan. Lalu
giliran Musa melempar tongkatnya yang berubah menjadi ular raksasa, kemudian
memakan semua ular jelmaan yang ada.
Mereka serentak membelakangi Fir'aun biarpun diancam
dengan hukuman yang pedih. Tangan dan kaki para ahli sihir yang sudah takluk
oleh Musa akan dipotong dengan keadaan terbalik. Firaun pun akan menyalip
mereka di tiang kurma.
Dari dialog antara tukang sihir dan Musa, kita dapat
memetik pelajaran tentang pentingnya etika dan kesantunan. Menyusul hari ini,
dari memanasnya suhu politik, etika dan tatakrama yang tersisa hanya sedikit. Talkshow atau
gelar wicara yang dimunculkan oleh kapitalisme televisi dan disiarkan secara live tidak
mampu mem-filter orang-orang yang terbakar emosinya, lalu merusak etika.
Menjadi preseden buruk bagi jutaan masyarakat televisi.
Debat-debat politik dalam talkshow hari-hari ini ibarat
main cakar-cakaran. Yang satu belum selesai, yang lain sudah menimpa. Terkadang
mereka bicara serentak dengan nada tinggi. Ada yang menjerit dan
menuding-nuding hidung lawan bicaranya. Tidak ada dialektika, kecuali
memenangkan debat dan secepatnya menguasai panggung.
Talkshow terkadang berujung seperti kita melihat
pembicaraan tanpa pokok dalam tradisi Adda di Kolkata, India. Masih lumayan,
karena Adda adalah bual kelakar dengan suhu rendah. Tapi debat politik dalam talkshow televisi
Indonesia terlihat kacau ketika yang hadir adalah kaum reaksioner versus sumbu
pendek temperamental.
Tidak ada tempat di mata Tuhan bagi orang-orang yang
berbicara dengan nada tinggi penuh bara api, bahkan kelembutan tetap ditujukan
kepada makhluk sia-sia yang mengaku sebagai diriNya: Fir'aun. Tuhan menitahkan
kepada Musa dan Harun untuk menemui Fir'aun dengan lidah yang lembut, bahkan
ketika Fir'aun sedang berada di puncak kedurhakaannya. "Maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut". (QS. Thaahaa: 44)
Tidak terlihat adanya martabat dan kelas pada setiap
teriakan dalam bicara. Mereka yang bicara dengan lembut, santun dan pilihan
kata yang terukur akan membuat sejuk hati siapa saja, biarpun yang berkata itu
sesosok drakula penghisap darah. Mari perhatikan dialog-dialog santun lagi
elegan saat dua kumpulan vampir yang siap berlaga dalam The Twilight Saga:
Breaking Dawn--Part 2.
Debat tanpa konsensus, bukanlah debat. Sesuai dengan
namanya: talkshow,
hanya berisi orang-orang yang berbicara dan mampu menyedot perhatian jutaan
pasang mata. Konsensus bahkan sintesa menjadi tidak penting, sepanjang mereka
memiliki sisi entertainment.
Ada 560 orang anggota DPR, tapi yang diundang berbicara
di televisi mirip kontrak dalam sinetron kejar tayang: itu ke itu saja.
Demikian juga dengan pengamat, komentator bahkan juru bicara pemerintah,
menyerupai sirkulasi arisan kumpulan kecil, lalu menghasilkan titik temu yang
dangkal, atau tidak sama sekali.
Demi tampil menawan di talkshow mereka
berlatih mempertajam argumennya yang sebenarnya tidak holistik, berlatih
menyusun kata yang bahkan tidak berkaitan dengan sebuah diskursus. Mirip para
gladiator di Roma klasik, yang lebih mementingkan tepuk tangan riuh ketimbang
untuk apa itu diadakan.
Mestinya para peserta dialog atau debat politik dapat
mempertahankan etika dan kesantunan macam tukang sihir Fir'aun lalu sempurnakan
isinya, tidak asal teriak dan kosong. Seperti kata presenter Najwa Shihab: Berbicara politik
sebagai debat kebijakan, bukan kasak-kusuk elit berebut kekuasaan. ~MNT
Comments