Oleh Muhammad Natsir Tahar
Mereka
sedang mengepung istana negara. Mereka datang bukan untuk menjadi volunter atau
pekerja sosial, tapi demi kekuasaan. Apakah yang sedang memihak petahana atau
oposisi, itu sama saja: untuk menjadi tuan mereka menampilkan dirinya sebagai
pelayan.
Demi
kebebasan berpikir, kosongkan semua hasutan kampanye dari pikiran kita. Karena
banyak dari mereka mula-mula datang dengan untaian janji sebentuk puisi, untuk
kemudian setelah memerintah mereka menggunakan prosa dan menjelaskan bahwa
janji itu tidak bisa ditunaikan.
Mereka telah sekian lama membuat keadaan tampak rumit agar
mereka punya alasan untuk berpuisi. Tapi kenanglah kata-kata Martin L.
Gross: kita hidup di sebuah dunia di mana politik telah mengganti
filsafat. Saya akan sependapat jika ada yang mengatakan, bila
seseorang sedang mendekati filsafat maka ia sedang menjauhi politik.
Narasi-narasi dalam politik tidak jujur untuk sesuatu yang
mereka sembunyikan. Bahwa politik tak kan sanggup menyentuh semua seperti
filsafat melakukannya. Di dunia nyata filsafat tampak seperti igauan
orang-orang tua berjanggut yang sering bertapa di Acropolis, Yunani kuno. Tapi
demi kebaikan dan ketinggian akal budi, filsafat harus dijalankan, apatah lagi
ketika dogma semakin dianggap sebagai alat belaka.
Di bawah payung demokrasi, satu, dua, tiga partai dan
seterusnya selalu mencurahkan energinya yang terbesar untuk mencoba membuktikan
bahwa partai lain tidak cocok untuk memerintah. Partai lain dari kelompok lawan
juga melakukan hal yang sama. Jika mereka sedikit berfilsafat, mereka akan
sadar bahwa semua itu adalah produk bualan karena negara dapat dijalankan
begitu saja dengan Cetak Biru.
Kerahkan
seluruh orang-orang hebat, pakar, begawan, super ahli ini itu dari seluruh
disiplin ilmu dalam satu wadah. Tugasi mereka memaksimalkan potensi
tertingginya untuk merumuskan Cetak Biru atau blueprint Indonesia
dengan tingkat keakuratan mendekati 100 persen. Jika plan A gagal,
maka ada plan
B, atau C dan seterusnya hingga negara ini paripurna. Tanpa harus
menunggu banyak hal yang tidak penting melompat dari mulut juru kampanye.
Seperti yang diucap Plato ribuan tahun lalu, mereka yang
terlalu cerdas untuk terlibat dalam politik dihukum melalui pemerintahan oleh
mereka yang lebih bodoh. Orang-orang cerdas yang berpotensi menciptakan Cetak Biru Indonesia
mungkin saja telah dijungkal karena politik menolaknya. Maka sebaiknya Cetak Biru itu
dirumuskan dan diadopsi menjadi haluan negara, untuk memastikan bahwa negara
ini menemukan utopia-nya meskipun demokrasi kita –hampir selalu- gagal
menemukan pemimpin yang tepat.
Biarlah para pengepung Istana Negara membentuk sejarahnya
sendiri-sendiri seperti paduan suara orang-orang yang sedang ketawa serentak,
namun biarkan negara ini berjalan secara auto pilot melalui
karya agung Cetak
Biru-nya. Dan biarkan kaum milenial di bawah atas permukaan, memuaskan
olok-olok dan debat parsialnya yang nirfaedah, sampai
hidayah itu tiba.
Indonesia hari ini seperti Laut Merah yang dibelah Musa.
Mereka yang di seberang sini dan di seberang sana, para elit-nya hanya punya
satu tujuan yakni kekuasaan dan kenikmatan-kenikmatan di dalam istana. Apakah
di pihak petahana atau oposisi, itu adalah soal seni melempar dadu atau susunan puzzle. Politik
aliran bahkan mulai terlihat seperti instrumen belaka untuk membuat
perebutan kekuasaan tampak dramatis dan paling bersejarah.
Tugas kita yang di bawah sini adalah mesti selalu awas,
ketika kumpulan rubah sedang menunjukkan minatnya untuk memperpanjang umur
unggas yang menjadi santapannya. Tugas kita bukan berdebat dan
mengagung-agungkan orang lain yang kita junjung, dalam politik bahkan tokoh
sekelas nabi pun bisa diciptakan.
Yang kita perlu waspadai ketika para pengepung istana
melaksanakan strategi ghost protocol atau
ketika kekacauan tidak bisa ditebak siapa pelakunya dan demi apa, sementara
kita telah larut dengan narasi-narasi yang bertolak belakang dengan fakta di
bawah permukaan.
Filsafat dan politik akan menjadi dua hal yang kontra
ketika politik yang dijalankan semata-mata demi kekuasaan. Filsafat adalah
pemahaman tentang kenyataan yang diperoleh secara logis, kritis, rasional,
ontologis dan sistematis. Sedang politik terlihat seperti gimmick, trik
dan intrik.
Para filsuf era modern mulai Thomas Hobbes, Machiavelli,
John Locke, Jean-Jacques Rousseau, John Rawls, serta Jurgen Habermas telah
memikirkan bagaimana filsafat dan politik bisa disandingkan, sehingga kita
mengenal istilah Filsafat Politik.
Ini akan menjawab masalah-masalah bertema kebebasan,
keadilan, hak milik, hukum, pemerintahan, dan penegakan hukum oleh otoritas
yang dapat dijalankan di luar Cetak Biru. Namun
akan selamanya sulit diwujudkan ketika para penghuni Istana Negara bukanlah
pecinta kebijaksanaan dan tidak memiliki minat khusus untuk menyelami kebutuhan
rakyat pada tempat dan saat yang tepat.
Selama musim kampanye, angin terisi penuh dengan
pidato-pidato – dan sebaliknya pidato hanya berisi angin (Anonim). ~MNT
Comments