Ilustrasi: https://gacsach.com |
Oleh Muhammad
Natsir Tahar
Cebong dan Kampret, mereka ini dua makhluk super ajaib.
Bayangkan, dari 8,7 juta spesies hewan yang ada di muka bumi ini, Cebong dan
Kampret beradu viral di republik milenial bernama Indonesia. Di mana letak
istimewanya?
Cebong alias Kecebong alias Berudu adalah anak-anak katak
yang menghabiskan masa kecilnya di air. Cebong makhluk ajaib karena berada di
dua alam dalam siklus amfibia. Pada tahap akuatik, Cebong bernafas dengan
insang seperti ikan dan kebanyakan memakan alga atau tumbuhan lainnya. Ini dari
jenis herbivora, ada lagi dari jenis omnivora yang pemakan segala.
Selama disebut Cebong mereka tetaplah kanak-kanak, entah
kapan berubah ujud menjadi Kodok Bangkong Bertanduk (Megophrys
Montana) yang gahar serupa batu atau Katak Pohon Bergaris (Polypedates
Leucomystax) yang bercorak indah lagi lincah.
Jika masih ingat tokoh klasik Peter Pan yang tak pernah
tumbuh dewasa dalam keajaiban Neverland, Cebong serupalah dengan itu. Bedanya
Peter Pan beradu pedang dengan Kapten Hook, Cebong pula berselawan dengan
Kampret, fauna yang terbang rendah di langit-langit malam. Di alam nyata,
mereka sejatinya sangat payah bersua.
Komunitas ilmiah menyebut Kampret sebagai berasal
dari kingdom Animalia, Filum Chordata, kelas Mammalia, Ordo Chiroptera,
Subordo Microchiroptera. Disebut juga sebagai Echolocating
Bats, tak kalah ajaib dengan Cebong, mereka bisa terbang dalam gulita
dengan memungsikan suara (echo) untuk bergerak dan mencari makan.
Kampret keluar di malam hari, layaknya kelelawar lainnya,
dan menggunakan sistem navigasi biosonar. Kampret mengenali
lingkungannya dari pantulan suara -sejenis gelombang ultrasonik- yang ia
keluarkan dan dikembalikan oleh benda di sekitarnya.
Bila Cebong tidak besar-besar, Kampret juga kecil sendiri
di antara klan Microchiroptera. Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) mencatat Kampret sebagai kelelawar kecil pemakan serangga, yang
hidungnya berlipat-lipat.
Hewan kecil ini entah di mana salahnya (karena ia pemakan
serangga bukan buah seperti kelelawar), sampai muncul aksioma orang dulu-dulu
yang menjadikannya sebagai metafora ujaran kebencian, untuk menyebut seseorang
yang berperangai minor.
Kini kedua fauna kecil ajaib ini menjadi ikonik dalam
perang urat syaraf (psywar) antarkubu, dengan sukarela menjadi
tentara-tentara digital. Di antara Cebong dan Kampret ada yang dikaryakan
secara profesional layaknya Peter Pan, kanak-kanak ajaib ahli pedang dan para
Kampret yang dipersenjatai ala Batman.
Mereka seakan menjalankan misi suci untuk
membungihanguskan lawan politik pada 2019 dengan strategi perang urat
syaraf. Psywar (Psychological Warfare) atau biasa disebut
perang urat syaraf adalah suatu bentuk serangan propaganda yang dilancarkan dua
atau lebih pihak yang saling bertentangan.
Salah satu batasan akademiknya, psywar adalah
suatu tindakan yang dilancarkan menggunakan cara-cara psikologi dengan tujuan
membangkitkan reaksi psikologis yang telah terancang terhadap orang lain.
Psywar merupakan
salah satu strategi yang sering digunakan dalam peperangan. Berbeda dengan
perang-perang konvensional yang bermodalkan senjata atau berbagai peralatan
fisik lainnya untuk mengalahkan musuh, psywar memanfaatkan
sisi psikologis dan pemikiran lawan agar bisa dipecah konsentrasinya.
Lebih jauh dari itu, psywar yang
dimainkan oleh para Cebong dan Kampret adalah untuk mempengaruhi psikologi
massa, membentuk bahkan memanipulasi opini publik, melancarkan pembunuhan
karakter, dan cara-cara apapun baik yang terlihat tidak elegan, dan lebih
banyak kekanak-kanakan, menebar hoaks-hoaks terburuk yang mereka punya, sampai
remeh temeh non substansial lainnya.
Lini pertemanan di media sosial oleh para Cebong dan
Kampret ini menjadi serupa film Hollywood berjudul Contagion.
Mereka menabur virus mematikan yang bisa menular hanya dengan sentuhan saja
(pada keypad atau keyboard). Virus yang
diterminologikan dengan MEV-1 ini menyerang pusat sistem saraf dan dapat
membunuh hanya dalam waktu dua hari: ketika hoaks menjadi viral.
Virus ini menjadi endemi yang menjangkiti para Cebong
tanpa dosa yang hidup di telaga jernih dan Kampret yang bergelantungan di
pohon-pohon suci dan belum terkontaminasi. Mereka keluar dari habitat penuh
damai untuk menjadi tentara-tentara paruh waktu tanpa upah.
Akhir-akhir ini fenomena itu makin menakutkan. Mereka
menghabiskan waktu untuk menjadi pengoceh dan pengujar kebencian, penabur dan
penyambung hoaks suka-suka. Waktu-waktu efektif mereka sudah terbunuh dan
terkubur ke dalam lini masa.
Ketika perang usai, para pemenang dari kelas Cebong dan
Kampret profesional alias buzzer lah yang akan memungut harta
pampasan. Tentara-tentara Peter Pan atau Batman itulah yang akan jaya
mengelilingi singgasana.
Sedangkan Cebong dan Kampret paruh waktu, mungkin akan
hanyut sejenak dalam glorifikasi semu. Lalu kembali ke habitat aslinya,
melakoni hidup sedia kala: tidak bekerja keras tidak makan. Tidak ada beras
gratis dari istana, siapapun junjungannya. Mereka saja hidup dari utang dan
pajak rakyat.
Para Cebong dan Kampret paruh waktu bahkan mungkin
dianggap tak pernah ada, kecuali untuk saat ini, dan lima tahun lagi. Akhir
kisah Cebong versus Kampret adalah lini massa di sosial media sudah terlanjur
menjadi tampungan sampah raksasa penuh hasutan dan kebencian. Ini akan tercatat
sebagai sejarah kelabu Indonesia di zaman milenial. ~MNT
Comments